Bergetar tangannya membuka kotak itu. Berkaca netra Bena menatap ukiran itu. "Bait-bait Cinta, Bersamanya Aku Bahagia!"
Oleh : Afiyah Rasyad
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-"Wanitaku, istri seorang ksatria itu memiliki samudera kesabaran yang tak terbatas. Jika ini tugas terakhirku, aku relakan kau mencari nakhoda lagi. Semoga kau selalu diberkahi Allah Swt."
Deg… hati Bena terasa dicubit. Panggilan wanitaku hanya terucap saat suaminya sedang gundah. Tak seperti biasanya, kali ini wejangan suaminya sangat berbeda. Tugas terakhir apa yang dimaksud? Bahkan, saat lelaki jangkung di hadapannya itu mau bertugas ke Timor-Timur, tak sampai sedramatis itu pesannya. Bena segera mencium tangan suaminya takzim.
"Jaga diri, pelihara sabar yang panjang, tunggu aku di sini." Pesan ini yang biasa dia dengar dari suaminya.
Relung hati Bena terasa kosong sejak Civic yang dikendarai suaminya menghilang dari pandangan. Bena merasa separuh hatinya dibawa oleh imamnya itu. Ini hanya tugas kecil saja, mengajar tim untuk latihan terjun payung di kota dingin ini. Ingin sekali Bena menelpon suaminya agar kembali pulang.
Bena seharian menyibukkan diri dengan aktivitas kajian Islam. Dia baru hijrah sepuluh bulan, mengikuti jejak suaminya. Dia diantar putra semata wayangnya yang sudah duduk di bangku kuliah. Bena bersyukur, lewat putranya, dia dan suaminya mengenal Islam kafah.
"Ada area yang kita kuasai, ada area yang tidak kita kuasai. Area yang tidak kita kuasai seperti bentuk wajah, lahir dari orang tua siapa, tanggal berapa, tempat di mana, mati kapan tak ada yang tahu. Adapun di area yang kita kuasai, kita bisa memilih, jalan keimanan atau kemaksiatan. Misalnya, rezeki kita sudah ditetapkan oleh Allah, tetapi akankah kita memilih jalan yang haram? Tentu tidak."
Rasa gelisah tumpah ruah saat Bena mengikuti kajian. Fokusnya terganggu. Dia tidak bisa konsentrasi mendengarkan penjelasan ustazah. Justru, angannya melambung pada dua puluh satu tahun silam.
Saat itu, Bena masih pengantin baru. Ia hamil tiga bulan setelah pernikahan. Dia harus rela ditinggal suaminya yang dikirim ke Timor-Timur. Kesunyian saat itu tak membuatnya gelisah ataupun sedih. Meski dia trisemester pertama kehamilan dengan gastritis parah, Bena mampu menikmati kehamilannya tanpa suami dan orang tua.
Episode kebersamaannya dengan suami menari-nari di pelupuk mata. Betapa suaminya bahagia saat memandang putranya yang sudah lahir ke dunia.
Bena merasa menjadi wanita sempurna. Tak pernah sekali pun Ia mendapat perlakuan buruk selama menjadi istri tentara. Kemesraan, kebaikan, dan kelembutan suaminya melimpah. Apalagi, saat sang suami sudah hijrah. Kemesraannya semakin bertambah.
Namun, kali ini berbeda. Hati Bena dikuasai rasa sakit yang mendera. Darahnya terasa panas di seluruh tubuh. Bena bingung, kenapa hal itu bisa terjadi.
"Bu Benazir, ada apa?" Bena tersentak saat ustazanya bertanya dengan lembut.
"Oh, tidak ada Mbak'e," terpatah-patah Bena menjawab pertanyaan ustazahnya sambil mengusap air mata.
"Saya perhatikan, Ibu seperti kurang sehat, lemes, dan tidak fokus." Rasa khawatir tampak pada raut wajah ustazah.
"Ceritalah, Bu! Ceritakan saja jika ada yang mengganjal."
Bena hanya menggeleng. Dia mencoba untuk berkonsentrasi mendengarkan penjelasan ustazah. Dia mulai mencatat poin penting dari penjelasan kitab yang dikajinya. Dia tak ingin mendua lagi pada forum itu. Dia berusaha mengusir rasa gelisah yang mendominasi hatinya.
"Assalamu'alaikum, Mama!" Karim menjemput lebih awal.
"Afwan, Ustazah. Mungkin saya lancang. Saya izin menjemput mama lebih awal. Ada sedikit keperluan," Karim memohon izin dengan sopan.
Bena semakin khawatir. Kalau putranya sudah mulai puasa berbicara, berarti ada urusan yang gawat. Lisannya tak berhenti merapalkan kalimat thoyyibah. Hatinya semakin tak enak saat motor yang ditumpanginya masuk ke pelataran. Di sana sudah ada pagar betis para tentara muda.
"Silakan, Bu!"
Bena berjalan dengan dirangkul Karim. Hatinya menelisik dan menerka, peristiwa apa yang telah terjadi? Kenapa para tentara itu begitu tegang? Hanya suara derap sepatu yang mengiringi langkahnya.
"Innalillahi wainna ilaihi rojiun!"
Kalimat itu keluar bersamaan dari lisan Bena dan putranya saat mereka mengetahui yang sesungguhnya. Bena merasakan rangkulan Karim semakin kencang. Dia dibimbing duduk di sisi kanan jenazah suaminya.
"Maafkan kami, Bu! Parasut Bapak bermasalah saat terjun HAHO. Tadi kami sudah berusaha menolong, tapi takdir berkata lain." Tentara bernama Harry itu menjelaskan.
Separuh hati Bena terasa hilang bersama tulang punggungnya yang telah wafat. Entah kenapa, rasa sakit yang dirasa sejak tadi lenyap, saat melihat senyum suaminya. Dia dan Karim langsung membaca surat Yasin.
"Bapak tadi menitipkan ini sebelum beliau gugur, Bu!"
Bena menerima kotak itu dengan berkaca-kaca. Dia tahu kotak itu, tempat suaminya menyimpan surat-surat mereka saat LDR. Bergetar tangannya membuka kotak itu. Berkaca netra Bena menatap ukiran itu. "Bait-bait Cinta, Bersamanya Aku Bahagia!"
"Terimakasih, Mas! Sudah mengajariku bersabar…! Aku ikhlas Mas pulang sekarang,"
Bena segera mengabari sanak keluarga dan kerabat. Dia sepenuhnya memahami qodlo Allah itu tak bisa diubah. Meski rasa kehilangan meronta, tetapi dirinya sudah mengikhlaskan belahan jiwanya.[]
photo: pinterest
Disclaimer: Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya. NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]