Abang memiliki optimisme untuk taadud. Ilmu seputar fiqh poligami dikajinya. Istri tercinta sering diajak diskusi terkait hal itu. Abang menjumpai kerelaan dari pandangan sang istri.
Oleh : Afiyah Rasyad
(Kontributor Tetap NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-"Jika demikian putusan Adek, Abang undur diri. Abang batalkan khitbah ini."
Kesunyian menyelimuti ruangan bercat krem pastel itu. Wajah gelisah mendominasi yang hadir, kecuali Guru Bajang yang tampak tersenyum dalam bingkai emas kokoh itu. Hati Abang plong dengan keputusannya. Lontaran kata-kata yang keluar dari lisannya meruntuhkan jutaan ton beban yang bergelayut manja di pundaknya selama ini.
Kesunyian itu pecah oleh lelehan air mata. Namun, Abang tetap pada pendiriannya. Tiga bulan waktu yang cukup baginya menanti keputusan Adel, janda yang dikhitbahnya dulu. Awalnya wanita itu menyetujui permintaan Abang sebelum khitbah. Namun, rupanya lisan Adel luput.
Kala itu, Abang memiliki optimisme untuk taadud. Ilmu seputar fiqh poligami dikajinya. Istri tercinta sering diajak diskusi terkait hal itu. Abang menjumpai kerelaan dari pandangan sang istri.
Melalui proses yang tak sebentar, Abang menambah jam terbang berkholwat dengan Sang Pemilik hati, Allah Swt. Proses yang mudah pada awalnya, tetapi ternyata susah di ujung waktu khitbah. Ababg telah memenuhi permintaan Adel untuk meluluhkan putra kesayangannya. Namun, ternyata Abang tak mendapatkan apa yang diharapkan. Adel menolak untuk mengkaji Islam secara intensif.
Bagi Abang, Arifah, istrinya adalah tolak ukur calon istrinya. Jika ada wanita yang berkenan jadi istrinya, minimal dia mau ngaji Islam kafah.
"Adel minta maaf, tidak bisa penuhi permintaan Abang untuk ngaji Islam secara kafah. Adel tidak mau nanti ada dalam bayang-bayang, Teteh. Maaf, Adel baru bisa sampaikan sekarang!"
Pernyataan Adel itu mengirim alarm ke relung hati Abang. Dia taadud demi mengemban dakwah Islam agar tersebar lebih luas. Abang sadar betul bahwa menikah bukan semata menyatukan dua insan, tapi dua keluarga besar dalam aturan, perasaan, pemikiran yang sama, yakni Islam.
Demi mendengar pernyataan Adel, Abang rela gagal nikah. Dia langsung membatalkan khitbah dengan begitu ringan. Aliran darah menghangat di sekujur badan, Abang merasakannya.
"Abang tega membatalkan khitbah. Bagaimana dengan keluarga Adel?"
"Maaf, Dek! Mungkin aku tidak begitu paham dengan yang dimaksud bayang-bayang. Demi Allah, istriku bahkan tidak pernah berkomentar dan mengajukan keberatan saat aku hendak taadud. Dia hanya berpesan agar Abang senantiasa menikah di jalan dakwah, siapa pun akhwatnya. Sebelum mengkhitbah Adek, Abang sudah bertanya berulang perihal permintaan Abang. Adek menyetujuinya, Bapak dan Ibu juga masih ingat, nggih?"
Anggukan kepala bapak dan ibu Adel menjawab pertanyaan retoris Abang. Bagi Abang, ingkarnya Adel sudah cukup menjadi alasan, sebelum melangkah lebih jauh. Dengan penuh kesopanan, dia pamit pada bapak dan ibu Adel. Suara isak tangis Adel mengiringi langkah Abang yang mantap. Langkah kakinya disambut semilir angin yang berdansa dengan rintik hujan.
Abang kembali menyulam rumah tangga hanya dengan Arifah. Hatinya kembali menghangat tatkala Arifah melontarkan pertanyaan, "Abang, bukannya bulan ini hari pernikahan Abang? Sudah disiapkan maharnya? Abang mau fitting baju? Kalau mau pakai yang dulu, sudah kusiapkan. Toh, badan Abang gak melar. Sundrang juga sudah kususun dan siap buat hantaran."
Duhai, meleleh hati Abang demi mendengar pertanyaan itu. Sayangnya, dia gagal nikah. Abang menatap istrinya dengan tatapan lembut yang menenangkan. Dia menurut saja tatkala Arifah menarik lembut tangannya ke samping musala. Tampak berjejer rapi aneka sundrang untuk hantaran.
"Tinggal dipastikan, kapan dan di mana tempat walimahnya?" Arifah menatap Abang.
Abang mendapati manik hijau istrinya itu berbinar-binar. Ketulusan terpancar pada setiap tutur kata dan perilakunya. Abang mendekap Arifah erat seraya berbisik, "Abang gagal nikah. Dia gak mau ngaji."
Arifah sempat tertegun sejenak, tetapi dia kembali santai dan menguatkan hati Abang. Entah harus sedih atau senang, Arifah langung memcium punggung tangan suaminya takzim, sembari menguatkan hati ayah dari keenam putrinya itu.[]
Photo : Google
Disclaimer: Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya. NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]