Sikap masa bodohku mengubah rasa lelah mereka menjadi amarah. Akibatnya, perdebatan pun tak terelakkan dan yang tersisa setelahnya hanyalah dua pihak yang sama-sama terluka. Kini kutersadar, semua ini salahku. Seharusnya aku lebih peka terhadap perasaan orang-orang di sekitarku, seperti ayah yang menjadi lebih sensitif karena dalam kondisi jiwa raga yang lelah, selepas mencari nafkah.
Oleh : Fatin
NarasiPost.Com-" Ma… Pa… aku membenci kalian!" jeritku pada ruang hampa di hadapanku.
Aku tersenyum sendu. Semilir angin menerpa wajah, menerbangkan air mata ini. Kutundukkan kepalaku.
"Kalau aku terjun bebas ke bawah sana, apa aku juga akan bebas dari neraka ini?" batinku. "Oh tidak, aku tidak boleh berpikir seperti ini! Aku mungkin bisa bebas dari neraka dunia ini, namun, bagaimana dengan neraka akhirat yang penderitaannya pasti jauh lebih parah?" Segera kutepis pikiran konyol itu.
Sayup-sayup terdengar suara azan dari masjid sekolah. Aku pun memutuskan untuk pulang, ketempat yang disebut "Rumah". Namun, bagiku tempat itu tak ubahnya tempat perdebatan demi perdebatan terjadi dan teriakan demi teriakan saling bersahut-sahutan. Kalau perang itu sudah dimulai, aku akan melarikan diri ke toilet. Pengecut bukan? Tapi biarlah, yang penting selamat.
Begitu sampai, aku langsung bermain HP hingga ayam mulai berkokok. Keesokan harinya, kujalani hari seperti biasa. Tapi entah mengapa, kepalaku rasanya pusing sekali.
"Apa karena begadang? Ah masa sih, aku kan sering begadang. Ah, aku tau, pasti karna aku ga sarapan, nih. Huft! habisnya bosen, tiap hari makan mie dan nuget," gerutuku dalam hati.
Ketika mentari sudah berada tepat di atas kepala, rasa pusing itu semakin menjadi-jadi.
"Ugh…" keluhku lirih, teman-teman sekelas pun mulai bertanya tentang keadaanku dan aku pun menjawab sekenaku. Lama-kelamaan mereka mulai membujuk tuk pulang, bahkan ada yang menawari untuk mengantar, tapi aku tetap bergeming.
"Nanggung, tinggal dua mapel," elakku.
"Tapi keningmu panas sekali."
"Iya, kamu pulang aja, nanti tambah sakit," bujuk mereka bertubi-tubi.
Akan tapi, lagi-lagi aku tak bergeming. Akhirnya, karena teman-teman tak bisa membujuk, kini guruku yang turun tangan. Beliau langsung mengambil langkah ekstrim, yaitu menelfon ibuku.
"Mama kan masih di kantor, pasti lagi sibuk, mana mungkin pulang cuman buat menjemputku," kataku dalam hati.
"Ibumu sedang di jalan, tunggu sebentar, ya, Nak," kata guruku.
Aku hanya mengangguk, tapi dalam hati bersorak senang, walaupun agak bingung juga sih dengan sikap ibu. Tak berapa lama kemudian, ibu datang, masih lengkap dengan seragam kantornya.
Setelah berbincang sedikit, kami pun pamit. Ibu langsung mengantarku ke puskesmas dekat sekolah. Sesampainya di sana, aku langsung diperiksa dan diberi obat.
"Obatnya diminum sekarang aja, Nak" kata ibu sambil tersenyum.
Aku menurut. Entah karena sedang sakit, atau karena senyuman lembut ibu, obat yang kuminum tak terasa pahit.
Sepanjang perjalanan pulang, aku merenung, "Apa ibu memang selalu seperti ini?" batinku.
Tiba-tiba pikiranku melayang, kembali ke tahun-tahun yang telah berlalu, di mana kulihat diriku yang sedang menertawakan candaan ayah, sambil memuji masakan ibu.
Lalu pikiranku kembali ke masa kini, di mana wajah ayah dan ibu yang lelah sepulang bekerja dan aku yang sibuk dengan HP. Mereka memanggilku, namun aku tak menggubris panggilan mereka karena terlalu asyik dengan HP. Padahal, mereka hanya ingin melepas penat dengan berbincang santai, atau dipijit sejenak.
Namun, sikap masa bodohku mengubah rasa lelah mereka menjadi amarah. Akibatnya, perdebatan pun tak terelakkan dan yang tersisa setelahnya hanyalah dua pihak yang sama-sama terluka. Kini kutersadar, semua ini salahku. Seharusnya aku lebih peka terhadap perasaan orang-orang di sekitarku, seperti ayah yang menjadi lebih sensitif karena dalam kondisi jiwa raga yang lelah, selepas mencari nafkah.
Atau seharusnya aku lebih peduli terhadap lingkungan. Melihat kesibukan ibu, harusnya aku membantunya, seperti memasak dan sebagainya. Aku tersadar, ternyata alasan Ibu memasak sarapan berupa mie dan nuget hampir setiap hari, karena beliau tidak punya cukup waktu untuk memasak masakan lain.
Sebenarnya aku tahu akan hal itu, tapi lagi-lagi aku pura-pura tidak tahu dan alih-alih membantu, aku hanya mengeluh bosan karena setiap hari, lauknya itu-itu saja.
Seharusnya aku tidak menyalahkan keadaan karena keadaan ini juga akibat ulahku. Perlahan rasa benci yang dingin di hatiku sirna, tergantikan dengan hangatnya rasa cinta. Aku tersenyum lebar dan dengan lantang kuucap " Ma… Pa… Aku mencintai kalian!"~*~
Sayangi dan hormatilah orang tuamu. Mereka sangat mencintamu, bahkan marahnya pun adalah tanda kasih sayangnya padamu. Seiring berjalanya waktu, tak bisa dimungkiri bahwa banyak hal yang berubah. Kebersamaan yang semakin singkat, perbuatan tanda sayang yang semakin jarang, maupun perkataan cinta yang semakin berkurang tiap harinya. Namun percayalah, walaupun tak menunjukkannya, tapi jauh di lubuk hati mereka, mereka sangat mencintaimu.[]
Photo : Google
Disclaimer: Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya. NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]