Di Batas Kebimbangan

"Ya Allah, bimbinglah hamba ke jalan yang benar. Berilah hamba petunjuk dan jalan keluar. Lunakkanlah hati hamba, agar bisa menerima kebenaran dari Engkau, aamiin."


Oleh: Ida Royanti

NarasiPost.com - Pertengkaran antara aku dan Mas Ilham tidak bisa dihindarkan. Entahlah, lelaki sabar dan penyayang itu tiba-tiba saja bersikap kolot, diktator dan menyebalkan.

Lima belas tahun lebih aku mengabdikan diri untuk keluarga. Aku tidak pernah minta yang aneh-aneh. Aku selalu melayani suami dan anak-anak dengan baik dan sepenuh hati. Kupendam cita-citaku sedalam mungkin untuk bisa berkiprah di tengah masyarakat. Meski sesungguhnya, aku ingin menyumbangkan ilmu agar berguna bagi orang banyak. Semua kulakukan hanya untuk keluarga.

Namun, saat ini, aku memiliki kesempatan untuk berkarya. Berawal dari seringnya aku menulis status di media sosial tentang isu-isu kekinian, seorang teman dari salah satu partai menghubungi dan menawarkan padaku untuk maju di pilkada. Tentu saja aku sangat senang. Bagiku, ini adalah kesempatan langka. Toh, anak-anak sudah pada besar semua, tidak terlalu banyak membutuhkanku.

"Justru karena anak-anak sudah mulai memasuki usia remaja, mereka membutuhkan perhatian lebih dari kita, Ma. Jangan sampai, mereka mencari pelarian di luar hanya karena merasa terabaikan," tutur Mas Ilham. Tentu saja aku tidak terima.

"Kalau aku masuk parlemen, bukan berarti aku tidak peduli lagi sama anak-anak, Mas. Justru ini kesempatanku untuk memperjuangkan nasib wanita dan anak-anak yang selama ini sering terabaikan dan mengalami tindak kekerasan. Apalagi, saat ini peluang wanita untuk masuk ke parlemen cukup besar, loh.

Mas tahu, kan, keterwakilan perempuan di parlemen belum memenuhi kuota lima puluh persen. Itu berarti, kesempatan menang untukku cukup besar," sahutku penuh semangat.

Aku berharap, lelaki yang selama ini menjadi pendukung dan pengayomku itu sepakat. Namun, apa yang kudapat ternyata sebaliknya. Bukanya dukungan yang kudapat, malah kata- kata memojokkan.

"Ma, tidak bisa dimungkiri, saat ini, banyak tindak kekerasan menimpa wanita dan anak-anak. Namun, Mama harus tahu, kaum lelaki juga banyak yang mengalaminya. Artinya apa? Berbagai macam ketimpangan ini terjadi secara merata. Tidak hanya itu, kemiskinan, kriminalitas, konflik sosial dan sebagainya sudah melanda secara komunal. Dan hal itu tidak bisa diselesaikan hanya dengan kuota perempuan lima puluh persen saja. Ini sudah sistemik, Ma. Jadi, solusinya juga harus melalui sistem juga. Coba kalau negeri kita tercinta ini menerapkan aturan Islam secara kaffah, tentu karut-marut ini bisa terselesaikan," jelas Mas Ilham panjang lebar.

Aku semakin mendongkol. Selalu begitu. Tidak pernah ada titik temu saat berdiskusi dengannya. Mas Ilham selalu bisa membalikkan argumenku. Puncaknya, ia tidak merestuiku untuk maju. Padahal, batas waktu pendaftaran sudah semakin dekat. Aku tidak mau terlambat.

Karena itulah, sekarang aku berada di sini, di rumah Ibu. Kutumpahkah semua unek-unekku. Kuadukan semua kelakuan Mas Ilham pada Ibu. Aku berharap, Ibu mendukungku dan mau bicara dengan Mas Ilham. Toh, selama ini Mas Ilham selalu nurut dan mendengar kata-kata Ibu. Namun, secara tak terduga, ternyata Ibu malah membela Mas Ilham. Aku sangat kecewa.

"Nisa akan tetap maju di pilkada ini, Bu, dengan atau tanpa persetujuan Mas Ilham," kataku sambil menatap wajah ibu. Wajah teduh itu tampak muram

"Pertimbangkan lagi, Nak. Sebenarnya apa yang kamu cari? Hidup kalian sudah mapan. Ilham juga tidak pelit sama kamu. Ibu lihat, ia juga sangat perhatian sama kalian. Apa yang kurang, coba?" kata Ibu dengan raut muka penuh kesedihan.

"Ini bukan masalah harta, Bu. Ini masalah eksistensi dan jati diri Nisa. Nisa tidak ingin menyia-nyiakan potensi besar yang Nisa miliki. Percuma sekolah tinggi-tinggi sampai S2 kalau tidak dipakai ilmunya. Ini kesempatan emas, Bu. Mumpung sudah ada partai yang mencalonkan Nisa. Ini semua juga untuk membahagiakan Ibu. Kalau Nisa punya penghasilan sendiri, Nisa bisa membantu Ibu lebih baik lagi."

"Nisa sayang. Kebahagiaan Ibu bukanlah karena kamu memiliki banyak harta. Ibu justru merasa bahagia jika kamu menjadi anak yang salehah. Kamu sudah tahu, kan, bahwa doa anak yang salehah itu pasti diijabah oleh Allah. Namun, kedudukan itu hanya bisa didapat jika kamu taat pada Allah dan rasul-Nya.

Puncak kebahagiaan tertinggi adalah ketika mendapat rida dari Allah. Bagi seorang wanita yang sudah berkeluarga, rida itu akan didapat jika suami juga rida pada kita. Kalau tidak, semua yang kita lakukan akan sia-sia," jelas Ibu panjang lebar.

"Tapi, Bu …." Aku mencoba membantah

"Satu lagi, Nak. Ibu ingin bertanya, kamu datang ke sini tadi apa sudah mendapat izin dari Ilham? Kalau belum, sebaiknya kamu pulang! Nisa sudah paham, kan, ketika seorang wanita meninggalkan rumah tanpa izin dan rida dari suami, maka malaikat akan terus melaknatnya. Ibu tidak ingin terkena laknat juga karena bersekongkol denganmu dalam kemaksiatan."

Aku terhenyak. Kata-kata itu menghunjam sangat dalam di lubuk hatiku. Ibu sudah terang-terangan mengusirku, mana bisa aku tetap berada di situ. Mau pulang ke rumah, rasanya tidak mungkin. Aku masih marah sama Mas Ilham karena tidak mengizinkanku maju dalam pilkada tahun ini.

Tapi ini sudah malam, aku harus ke mana? Tidak mungkin aku tidur di penginapan. Selain risih karena hanya sendirian, aku juga tidak terbiasa menginap di tempat umum seperti itu. Akhirnya, aku tetap menginap di rumah Ibu meski wanita terkasih itu mendiamkanku.

Malam itu aku tidak bisa tidur. Kata- kata Ibu dan Mas Ilham selalu terngiang di benakku. Apa iya, aku telah melakukan kesalahan besar yang mengundang laknat? Bukankah menyumbangkan pikiran untuk kebaikan umat itu juga berpahala?

"Perempuan memang harus berkiprah di masyarakat, Ma. Hanya saja, caranya juga harus benar. Mama bisa menggunakan kepintaran Mama untuk mencerdaskan umat, biar mereka paham dan tercerahkan, terutama dengan pemikiran-pemikiran Islam. Dengan begitu, umat akan sadar dan tidak takut lagi pada Islam. Kalau sudah begitu, umat akan mendukung dan merindukan syariat Allah ini diterapkan. Saat itulah, seluruh persoalan di lini kehidupan ini bisa terselesaikan.

Insyaallah, ilmu Mama tidak akan sia-sia. Dengan kecerdasan Mama, Mama bisa mendidik anak-anak kita menjadi generasi Robani yang mulia. Inilah yang akan kita pertanggungjawaban di hadapan Allah kelak. Jadi, bukan melalui parlemen."

Sekali lagi aku terhenyak. Kata-kata Mas Ilham itu masih menancap kuat di benakku. Ya, Allah … Benarkah aku telah melakukan suatu kesalahan? Sungguh aku tidak ingin mengundang laknat dan murka Allah. Namun, keinginan untuk berkiprah di parlemen itu sangat besar. Apakah aku terlalu egois?

Sampai lepas tengah malam, aku belum juga bisa memejamkan mata. Akhirnya, kuambil wudhu untuk bermunajat kepada-Nya.

"Ya Allah, bimbinglah hamba ke jalan yang benar. Berilah hamba petunjuk dan jalan keluar. Lunakkanlah hati hamba, agar bisa menerima kebenaran dari Engkau, aamiin."

Lama aku terpekur, mencoba untuk ikhlas dengan segala ketetapan dari Allah. Kini aku merasa lebih tenang. Aku mulai menyadari kesalahan dan kesombonganku. Dalam hati aku berjanji, untuk meminta maaf pada Ibu dan Mas Ilham. Aku sadar, pada dua orang itulah, muara surgaku menanti.

Picture Source by Google


Disclaimer: Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya. NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Previous
Amarah Bicara
Next
Produk Luar NO, Tapi Impor YES, Dagelan Kapitalisme?
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram