Cinta di Ujung Waktu

Bunda Ochi terharu atas niat dan perjuangan Faris. Gadis yang dirawatnya kini menjadi anak menantu. Lebih dekat lagi hubungan itu. Sungguh, cinta di ujung waktu begitu syahdu bertemu. Mudah bagi Allah menumbuhkan rasa cinta pada putra semata wayangnya.


Part #2

Oleh: Afiyah Rasyad

NarasiPost.com - "Siapa yang telah melamar Zaara? Selama ini, aku mempercayakan kepada, Kakak!" ujar Mamak berusaha tegar.

"Bunda yang melamar Zaara untukku," jawab Faris cepat.

"Sejak dulu Bunda bilang, tidak ingin berpisah dari Zaara. Aku semakin memahaminya saat mereka berbincang di dapur. Dua perempuan yang menjadi cahaya di rumah ini tak dapat dipisahkan. Aku tadi sudah menghitung seluruh tabungan. Insyaallah, akan kujadikan mahar untuk Zaara."

"Kamu serius, Nak?" Bunda Ochi berkaca-kaca.

"Serius, Bunda. Kapan aku pernah membohongi kalian? Terkait utang kepada Dendy, Alhamdulillah, aku akan melunasinya."

"Dari mana kaudapat uang itu, Nak?" tanya Bunda setengah tak percaya.

"Dari Allah pastinya, Bun," Faris mengerlingkan mata.

"Bang Faisal mau, kan, jadi wali bagi Zaara? Lima belas menit lagi, pak penghulu datang, kita siap-siap ke masjid. Bunda, Bulek, dan Bang Faisal, sebentar lagi akan ada yang mengantar busana. Zaara … pakailah busana yang sudah kusiapkan di kamarmu."

"Bagaimana mungkin secepat ini?" Zaara akhirnya bersuara.

Pertanyaan Zaara dijawab oleh datangnya catering, penata busana, dan berbagai sundrang. Semua langsung bergiat diiringi melodi keharuan yang membahana. Zaara baru percaya akan menikah saat musrifah dan teman ngajinya datang. Farislah yang merencanakan semua.

Musrifah Zaara menjelaskan perihal ilmu setelah aqad nikah dengan singkat, padat, dan jelas. Di masjid telah berkumpul para tamu dari tetangga, saudara, dan kolega. Zaara mengakui selera bercanda Faris memang berkelas, kecuali yang satu ini, Faris harus menjelaskan segalanya nanti.

"Zaara, menikahlah karena Allah. Bisa jadi, kau sekarang belum memiliki rasa cinta pada lelaki yang kauanggap kakak itu. Tapi, percayalah, Allah akan sematkan sedikit demi sedikit ataupun secara langsung rasa itu dalam sanubarimu, Dek." Atikah mencoba menenangkan Zaara.

"Sesaat lagi, kau akan menjadi seorang istri, biidznillah. Raih tangan suamimu, cium takdzim tangannya, laksanakan salat bersama dua rakaat. Pernikahan itu adalah perjanjian yang agung. Tugas kalian berbeda, namun harus ada sinergi dalam melaksanakan ketaatan pernikahan sebagai konsekuensi keimanan. Bersyukurlah, Dek! Calon suamimu adalah orang yang paham mabda Islam. Insyaallah, visi misi pernikahan keluarga ideologis akan mudah dirajut dan ditenun dengan akidah Islam."

Zaara mendengarkan petuah musrifah yang disayanginya itu. Genangan air menghiasi mata Zaara. Segera dia melap dengan tisu. Dadanya berdebar tak karuan. Rasa malu akan bertemu Faris menari-nari dalam hati. Rasa jengkel merasa dipermainkan ikut berdansa. Rasa bahagia tak ketinggalan menyemarakkan segenap rasa di dada Zaara.

Jilbab putih dari saten berpadu dengan brokat pink menjadikan Zaara berbeda. Raut muka kemerahan menahan segala rasa menampakkan secercah bahagia. Semua begitu cepat dirasa. Rasa remuk di hatinya entah pergi ke mana. Ia menghilang saat Faris membuat kejutan tak terduga.

"قبلت نكاحها وتزويجها على المهر المذكور ورضيت بهى والله ولي التوفيق"

Gema doa terdengar dari serambi utama masjid. Hati Zaara semakin tak karuan. Antara percaya dan tidak, kini yang dikatakan musrifahnya benar. Lelaki jangkung yang baru saja menjadi suaminya sudah berada di depan mata. Zaara melakukan apa yang disampaikan Atikah.

Pernikahan kilat dan singkat itu terjadi dengan lancar tanpa kendala. Walimah dilakukan ba'da Isya bersama para jamaah tetap masjid dan tamu undangan. Seluruh warga kompleks diundang. Tausiyah walimah disampaikan oleh Abah, seorang ulama arif.

Usai tamu pulang, Bunda Ochi segera mengumpulkan Mamak, Bang Faisal, Faris, dan Zaara. Air mata Bunda Ochi mengalir deras. Zaara memeluknya.

"Kautahu, Nduk? Ini air mata bahagia. Bunda tidak menyangka akan seindah ini, Fabiayyi alaa-i robbikuma tukadzdziban. Faris, jelaskan semuanya, Nak! Jelaskan sekarang!"

"Apa yang harus aku jelaskan, Bunda? Oh, niat nikah?" Faris menghela nafas dan menatap Zaara yang masih tertunduk.

"Maafkan saya Mamak, jika saya tidak sopan dan lancang. Saya tidak rela jika Zaara menikah dengan laki-laki seperti yang Mamak ceritakan. Lalu, rasa memiliki tumbuh begitu saja saat Zaara dan Bunda bercengkrama di dapur. Rasa cinta tiba-tiba datang di ujung waktu. Ia menyeruak ke relung kalbu. Hasratku untuk menikahi Zaara muncul saat itu."

Semua menyimak masygul. Buliran bening menetes di kedua pipi Zaara.

"Sungguh, aku tidak berbohong. Mahar itu hasil kerja kerasku yang selalu Bunda tolak. Katanya, untuk calon istriku. Aku simpan dalam bentuk emas agar jika aku menikah, tak lagi merepotkan Bunda. Kemudian uang buat bayar utang pada Dendy, alhamdulillah, Allah memberiku proyek besar untuk mengisi perusahaan multinasional. Feenya ditransfer sore tadi sebesar utang itu dan biaya walimah. Allahu Akbar!"

Meledaklah tangis Mamak dan Bang Faisal. Mamak memeluk Faris. Doa-doanya terjawab lewat saudara angkat putrinya. Dia tak menyangka jika keseriusan Faris bertanya terkait ihwal utang itu menjadi dorongan kuat untuk menikahi Zaara. Sungguh, Mamak malu sekaligus bangga pada Faris. Kelu rasanya lisan Mamak. Namun, doa-doa mengangkasa dan mengetuk pintu langit.

"Bagaimana kau menghubungi penghulu, hantaran, catering, dan lainnya sesingkat itu?" Bunda Ochi masih heran.

"Oh, kalau penghulu, Abah yang menghubungi. Pak penghulu tidak bisa menolak Abah. Catering, ya, aku pesan di resto teman ngaji. Alhamdulillah, katanya sejak jam sepuluh hanya ada lima pengunjung. Aku minta bergegas dengan menambah porsi. Hanya dua menu, kan, tadi? Lalu hantaran, aku minta tolong Mbak Atikah dan teman-teman Zaara ngaji. Alhamdulillah, Allah mudahkan."

Bunda Ochi terharu atas niat dan perjuangan Faris. Gadis yang dirawatnya kini menjadi anak menantu. Lebih dekat lagi hubungan itu. Sungguh, cinta di ujung waktu begitu syahdu bertemu. Mudah bagi Allah menumbuhkan rasa cinta pada putra semata wayangnya. Bunda Ochi kemudian mempersilakan semuanya istirahat.

"Nona, suamimu ini ikut, ya? Kamarku ditempati Bang Faisal, tuh!" Faris berbisik.

Zaara kembali dibuat merah merona. Sementara Faris cuek saja sambil menggamit Zaara. Bunda Ochi hanya tersenyum geli melihat tingkah mereka berdua. Doa-doa mengangkasa dari dua lisan ibu tercinta. Mamak dan Bunda Ochi tak henti berlomba melafadzkan doa-doa untuk kebaikan mereka berdua.

Tamat

Picture Source by Google


Disclaimer: Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya. NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Previous
Seperempat Kilogram Terigu
Next
Hadirmu, Membangun Sabarku
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram