Prahara Cinta(part 5)

Negeri kita memang kaya raya, Kak.  Tapi sayang, rata-rata dikelola oleh asing. Jika bukan asing, maka pemilik modal lah yang mengelola sumber daya alam.  Sehingga tidak heran jika di negeri ini, yang kaya semakin kaya , yang miskin semakin miskin.  Berbeda dengan aturan Islam, Kak


Oleh : Solehah Suwandi

Bagian5. Kemiskinan

NarasiPost.COm-Maryam masih berzikir di atas ranjang, kebiasaan yang  membuat hati gadis itu tenang. Sebelum beraktifitas,  selalu ia sempatkan membaca zikir  pagi maupun sore.

Ash-bahnaa wa ash-bahal mulku lillah walhamdulillah, laa ilaha illallah wahdahu laa syarika lah, lahul mulku walahul hamdu wa huwa ‘ala kulli syai-in qodir. Robbi as-aluka khoiro maa fii hadzal yaum wa khoiro maa ba’dahu, wa a’udzu bika min syarri maa fii hadzal yaum wa syarri maa ba’dahu. Robbi a’udzu bika minal kasali wa su-il kibar. Robbi a’udzu bika min ‘adzabin fin naari wa ‘adzabin fil qobri.

Setelah berzikir, ia mempersiapkan diri karena hari ini Aleena akan mengajak ke perumahan kumuh nan miskin di Tanjung Karang.  Aleena akan memberikan seluruh uang hasil haramnya untuk orang-orang tidak mampu di sana. 

Tidak membutuhkan banyak waktu untuk bersiap-siap. Ia tidak butuh makeup  dan semacamnya, hanya taburan tipis bedak bayi yang menghias wajahnya.

Maryam bergegas ke kamar Aleena.  Ia mengucap salam lalu disambut senyuman Aleena.

Maryam,  lihat, aku pantes nggak, sih?  Dandananku kemenoran, nggak?“ tanya Aleena. Matanya tak lepas memandangi wajahnya di cermin. 

Aleena belum percaya diri dengan penampilannya yang sekarang.  Di kampus, dia belum berani memakai kerudung. Maryam tersenyum lalu mendekati Aleena,  sama sama menatap diri di cermin.

Kak,  jika kita mencari penilaian manusia,  tentulah akan kerepotan.  Kenapa?  Karena kadang ada manusia yang seneng kita nandan menor,  ada yang suka dandan sederhana saja.

Mau cari yang pasti,  ya, pakai penilaian Allah.  Allah melarang kita tabbaruj, Kak.  Contohnya seperti apa? Pakai lipstik semerah darah begini,  alis  ditebel-tebelin, pipi dimerah-merahin, lalu berpakaian mencolok di antara pakaian yang biasa-biasa saja.  Kita boleh berdandan, Kak.  Tapi di depan suami kita nanti.“

Maryam tersipu saat menjelaskan itu. Diam-diam ia menanyakan pada Tuhannya di dalam hati,  siapakah lelaki yang akan melengkapi separuh agamanya?

Emh,  jadi gimana, dong?“

Ditipiskan saja, Kak, lipstiknya dan bedaknya!  Terus, kerudungnya agak dipanjangin,  sampai menutup dada!”

Emh, baik lah.  Oh, iya.  Makasih, ya, untuk baju gamisnya, pas banget di badanku hehe.

Aleena nampak bahagia sekali.  Setelah berdandan sewajarnya, Aleena dan Maryam bergegas keluar menggunakan motor Aleena.  Tidak lupa mereka membawa semprotan cabai di saku pakaian mereka. 
*

Sepanjang jalan, mereka bercerita soal agama.  Aleena sangat senang mendengar penjelasan Maryam yang masuk akal.

Emh,  ternyata semuanya ada, ya Mar, aturannya di dalam Islam. Aku semakin yakin,  bahwa Allah pasti ada. Bener, ya,  kalau kita memikirkan alam,  kehidupan dan manusia, lalu mengaitkan dengan kehidupan sebelum dan kehidupan sesudah, maka tergambar dengan jelas,  siapa pencipta kita sehingga  tujuan hidup kita jelas. Ah,  kapan kita mulai kajiannya, Mar? Rasanya jadi gak sabar deh.“

Insyaallah rabu siang, ya, Kak. Soalnya, hari itu Maryam free gak ada kuliah maupun kajian.”

Oke Mar.”

Perjalanan mereka jadi terasa singkat.  Tujuan sudah berada di depan mata. Kondisi perkampungan kumuh sangat memprihatinkan.  Rumah -rumah kecil berjejer, menempel di beton flayover yang menghubungkan jalanan perkotaan. Sampah-sampah bertumpuk di mana-mana. Bocah-bocah berlarian telanjang kaki dengan pakaian dekil yang kebesaran.

Terlihat mereka berbisik melihat kedatangan dua wanita yang berjalan jinjit itu.   Sesekali mereka meloncat untuk menghindari tanah becek. Motor mereka dititipkan di masjid dekat perkampungan itu.

Bau menyengat ditambah sinar mentari yang mulai memanas membuat Aleena ingin muntah.  Sedangkan Maryam,  sudah agak terbiasa sebab dia sering mengunjungi rumah belajar di kampung ini. 

Mereka mendatangi rumah Pak RW.  Setelah berbincang dan menyerahkan uang, Aleena dan Maryam diajak sekalian membagikan amplop berwarna putih itu.  Total per amplop bekisar tiga juta rupiah. Ada dua puluh amplop yang akan dibagikan. 
Pak RW memilih warga yang paling membutuhkan.

Sebenarnya semua warga di sini hidup di bawah garis kemiskinan. Pak RW mampir di rumah pertama,  sebuah gubuk dari triplek berukuran 3x4 meter.  Mereka memberi salam. Dua manusia tua renta dari dalam menjawab pelan.  Mereka dipersilakan masuk. 

Wah,  pak RW,  masuk Pak, silakan!“ kata kakek sambil membereskan nasi yang masih tersisa di piring plastik.

Keromantisan pun tampak di depan mata,  saat nenek mengambil sebutir nasi di pinggir pipi sang kakek.  Maryam dan Aleena tersenyum.

Silakan, teruskan makannya, Mbah,  kami akan menunggu! Maaf, malah mengganggu waktunya!“ ucap Pak  RW sopan.

Ah,  tidak apa-apa.  Ini juga sengaja kami sisakan untuk makan nanti malam, Cu.“ Si Benek menyahut, sambil menunjukan satu gigi yang tersisa.

Wanita tua itu tersenyum ramah. 
Pak RW menjelaskan maksud kedatangan mereka. Ia juga mengenalkan Maryam dan Aleena  pada dua orang tua itu, lalu menyerahkan amplop putih.

“Ini Mbah,  ada sedikit bantuan dari seseorang melalui kedua gadi ini.  Diterima, ya, Mbah!“ kata Pak RW sambil menempelkan amplop putih di tangan keriputnya. Mata sang kakek berkaca-kaca, jua dengan istrinya.

Astagfirullah,  alhamdulillah.  Makasih banyak, Cu.  Alhamdulillah, ya, Allah!

Sang kakek mengusapkan amplop di wajahnya. Berkali-kali ia mengucap hamdalah.  Air matanya tak mampu dibendung. Terlebih saat mengetahui nominal uang tiga juta.  Rasanya mereka mau menyembah ketiga tamunya.  Si kakek memeluk istrinya penuh  cinta. Rasa syukur yang luar biasa terlihat jelas di mata mereka.

Makasih, Neng.  Makasih, Pak RW.“

Suara Kakek bergetar.  Mereka terisak. Maryam dan Aleena juga tak kuasa menahan air mata. Selama ini,  Aleena selalu menghamburkan uang tanpa peduli pada orang miskin ataupun anak-anak yatim. Bagi Aleena, nominal yang diterima pasangan ini  tidak ada apa-apanya dibanding kehidupannya selama ini.  Uang sebesar itu hanya untuk jalan saja. 

Tapi lihat,  dua pasangan ini,  makan saja cukup nasi putih, yang penting bisa untuk mengganjal perut di sisa masa senjanya. 

“Terimakasih banyak, ya, Cu.”

Tak henti-hentinya, si nenek berterimakasih,  dengan air mata beranak sungai.  Bagi mereka, uang tiga juta sangat besar. Seumur-umur, baru pertama lali bisa memegang uang sebanyak itu di dalam genggaman tangan.

Alhamdulillah.

Suara kakek kembali terdengar sambil meraupkan amplop ke wajahnya.  Maryam menyeka air mata. Hati gadis itu bertakbir kepada Rabb yang menciptanya. Sungguh Allah memang Maha Adil.

Mungkin bagi orang kaya, uang sebesar itu tidak ada artinya,  tak mampu membuat bahagia. Namun, lihatlah,  betapa kebahagiaan terpancar di wajah-wajah sayu nan keriput  itu.

Setelah dari rumah kakek-nenek itu, mereka melanjutkan ke rumah-rumah yang memprihatinkan lainnya.  Ucapan terimakasih dan rona bahagia terpancar dari wajah-wajah mereka.  Hingga semua terbagi rata, tentunya diiringi dengan air mata yang berderai-derai. 

Maaf,  kenapa Bapak tidak ambil amplopnya, Pak?“ tanya Aleena hati-hati saat kembali ke rumah Pak RW.

Dari tadi Pak RW hanya bersemangat memberi untuk orang lain,  tapi untuk dirinya, dia tidak mengambil bagian.

Engga, Neng,  saya masih mampu.  Saya dapat gaji per bulan dari kerja bersih-bersih.  Selain itu,  saya itu pemimpin di sini,  sudah sewajarnya mengutamakan anggota warga saya,” jawab Pak RW tersenyum.

Semoga Allah selalu lapangkan rezeki Bapak Munarwan dan keluarga!“ doa Maryam.

Aamiin,  makasih, Neng. “ Pak Munarwan menangkupkan tangan di wajah.

Setelah cukup berbincang, kedua gadis itu berpamitan, dengan hati yang tak menentu.  Aleena tidak mengharapkan banyak dari uang haram yang ia sedekahkan. Melihat orang-orang tadi bahagia,  sudah cukup membuat hatinya bahagia pula.  Dia berjanji suatu saat akan sodaqah dengan uang halal. 
**
Perjalanan ini begitu berati bagi Aleena karena ia bertemu langsung dengan orang-orang yang hidup jauh dari kata layak. Bukankah negerinya kaya raya? Bahkan di beberapa titik daerah terdapat sumber daya alam yang melimpah ruah. Lihatlah,  hutan kita yang luar,  potensi lautan yang luar biasa, minyak bumi, baru bara, gas alam yang tersebar dari sabang sampai merauke? Mengapa masih ada kemiskinan yang sangat mengiris hati?  Banyak pertanyaan di benak yang akhirnya ia tanyakan kepada Maryam.

Negeri kita memang kaya raya, Kak.  Tapi sayang, rata-rata dikelola oleh asing. Jika bukan asing, maka pemilik modal lah yang mengelola sumber daya alam.  Sehingga tidak heran jika di negeri ini, yang kaya semakin kaya , yang miskin semakin miskin.  Berbeda dengan aturan Islam, Kak

Negara Islam sangat mengatur sumber daya alam sehingga menjadi kekayaan negara yang akan digunakan untuk kemakmuran rakyatnya.

Rasulullah saw. bersabda:

"Kaum muslimin berserikat (memiliki hak yang sama) yaitu air, rumput,  dan api." Riwayat Ibnu Majah.

Artinya apa Kak? Rumput,  itu seperti hasil hutan, sedangkan air adalah kekayaan lautan, dan api seperti batu bara,  emas,  gas alam dan kekayaan lainnya. Semua  ini adalah milik ummat yang dikelola oleh negara.  Tidak boleh individu mengelolanya,  apalagi dikelola oleh asing. 

Jadi, tidak heran jika negara Islam menjadi negara adidaya manakala syariat Islam diterapkan secara sempurna dalam kehidupan. Perekonomian menerapkan sistem halal haram.  Ah, pokoknya pasti baik kalau syariat Allah diterapkan dalam kehidupan, “ jelas Maryam.

“Jadi kebayang, ya, Mar,  rakyatnya akan makmur, “ sahut Aleena sedih. 

Tak terasa, motor yang mereka kendarai sudah sampai di sebuah Mall. Aleena mau membeli beberapa gamis dan kerudung.  Dia akan memantapkan hati seiring dengan bertambahnya staqofah Islam dengan mengaji pada Maryam. Tentunya dengan uang halal kiriman orang tuanya yang selama ini iatabung.

Mata Aleena bersinar saat melihat model pakaian muslimah itu cantik-cantik sekali. Tapi Maryam mengingatkan untuk membeli gamis yang longgar, tidak ketat, tidak transparan dan tidak mencolok dari segi warna ataupun hiasannya.

Aleena mengangguk paham.  Di saat memilih pakaian,  tak sengaja tangannya bersentuhan dengan seorang wanita muslimah saat memegang pakaian yang sama.  Wanita itu cantik. Jari jemarinya bening. Wajahnya putih bersih. Bibirnya merah alami. Hidungnya bangir. Alis matanya tebal alami. 

Eh, Masyaallah, pilihan  kita sama, Ukhti, “ kata wanita itu. Suaranya lembut dan senyuman tak lepas dari bibirnya.

Eh, iya.  Silakan kalau kamu suka!“ jawab Aleena melepaskan pakaian itu.

Gadis di depannya berterimakasih.  Ia berpamitan untuk membayar.  Mata Aleena tak lepas memandangi wanita anggun itu. Pakaiannya sama sepertinya,  juga memakai koos kaki, terlihat begitu indah saat berjalan. Kekagumannya membuncah  di dalam hati.  Namun, tiba-tiba hatinya seperti tersentak, saat seorang lelaki mengambil pakaian itu lalu berjalan beiringan  ke meja kasir.

“Hasan? “ suara Aleena tercekat, membuat Maryam yang sedari tadi menekuri ponselnya mendongak sebentar,  mengikuti manik mata Aleena. Maryam kembali memastikan, melihat dengan seksama.

Siapa wanita itu?  Kenapa dekat sekali dengan Hasan?  Jika pacar Hasan anti pacaran?  Atau soudarinya?  Atau mungkin jangan-jangan itu istrinya?“ gumam hati kedua gadis itu. 

Bersambung[]


Photo : Penulis
Disclaimer: Www.NarasiPost.Com adalah wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya. NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Kontributor NarasiPost.Com Dan Pegiat Pena Banua
Solehah Suwandi Kontributor NarasiPost.Com
Previous
Pejuang Mulia
Next
Pentingnya Muhasabah di Tengah Ragam Musibah
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram