Maafkan, Izinkan Aku untuk Memuliakanmu!

"Keridan istri ada pada suami, keridaan suami ada pada ibunya. Aku ingin engkau menjadi wasilah, agar aku mendapat keridaan ibuku"

Oleh: Farihah

NarasiPost.Com-Sedari tadi Wida memeriksa ponsel, tak ada satu pun chat berasal dari suaminya. Waktu semakin larut. Jam menunjukkan pukul 21.30. Namun, Henri belum juga menghubungi. Kecemasan menghampirinya, menerawang, membuka aib yang selama ini tertutupi.

Wida mengakui, selama ini kurang perhatian, bahkan terkesan menghindari ibu mertuanya, Bu Mira. Ia merasa tak kuat mendengar kata-kata yang dia anggap sebagai omelan.

Padahal, jika dicermati dengan kepala dingin, kata-kata Bu Mira merupakan nasihat, wejangan, dan masukan. Bu Mira memang mertua yang perfect. Segala sesuatu harus dipersiapkan dengan baik dan sempurna, terlebih untuk anak tercintanya yang semata wayang, Henri.

_"Nak Wida, lain kali biarkan suami pulang dulu, jangan dibiasakan minta tolong sebelum suami pulang ke rumah!" Terngiang kata-kata Bu Mira, ketika Wida meminta tolong pada Henri untuk dibelikan keperluan rumah yang habis.

"Mumpung Kang Henri di luar, Bu. Lagi pula, barangnya habis."

Wida berpikir, sepertinya Bu Mira tidak mau anaknya direpotkan, padahal Henri sendiri tak pernah menolak permintaan sang istri.

Belum lagi soal masakan, selalu saja dianggap kurang. Kurang ini, kurang itu, apalagi soal kesukaan Henri. Bu Mira merasa tahu betul apa kesukaan lelaki itu. Wida merasa, apalah dirinya, seorang ibu muda yang masih harus belajar. Sampai akhirnya, Henri mendatangkan seorang pembantu, Bi Inah. Ditambah, Wida pada waktu itu dalam kondisi hamil.

Wajar sih, pikir Wida, seorang ibu mencintai anaknya, yang dia rawat dari kecil hingga dewasa, dia sayangi dari mulai mengandung sampai dewasa. Pengorbanan itu tak lekang oleh waktu, apalagi Bu Mira sebagai single parent. Sejak Henri duduk di kelas tujuh SMP, ayahnya meninggal. Bu Mira berjuang sendiri demi Henri. Sedangkan Wida dipertemukan dengan Henri dalam pernikahan baru enam tahun yang lalu. Kesukaan, hobi, kebiasaan, baru meraba-raba. Kadang jika kurang komunikasi, ia salah menerka.

Satu hal yang tak bisa dipungkiri, Henri adalah suami yang baik dan penyayang. Walaupun kata cinta tak pernah terucap dari bibir lelaki itu, namun, sudah cukup dengan apa yang telah dia lakukan untuk Wida dan Alif, terlebih pada ibunya. Lantas apa yang salah, nikmat mana yang harus didustakan?

Bukankah, di balik pemimpin rumah tangga seperti Henri, ada sosok di belakangnya, yaitu sosok yang tangguh dalam mendidik dan membimbingnya?

Bu Mira adalah ibu yang luar biasa. Lantas, dengan alasan apa Wida harus berlaku tidak adil pada sang mertua? Air mata Wida tak dapat dibendung. Perasaan bersalah menyesakkan dada. Wida tersungkur pada sajadah, memohon ampunan penuh ikhlas dan memohon kesembuhan ibu mertuanya.

*

[Assalaamu'alaikum, Mi, maafin Abi baru menghubungi! Ponsel tertinggal di mobil, sedangkan Abi sibuk mengurus administrasi dan lain-lain yang dibutuhkan ibu.]

[Bagaimana keadaan umi dan Alif?]

[Mi, mohon do'anya untuk kesehatan ibu! Ternyata ibu mag kronis. Ibu masih dalam kondisi kritis. Maafkan ibu jika ada salah!]

Chat yang ditunggu-tunggu Wida, akhirnya muncul, memberi sedikit perasaan lega pada wanita itu. Namun, semakin menambah duka. Wida berpikir, begitu parah penyakit sang mertua, akibat kelalaiannya. Wida pun menangis untuk kesekian kali. Ingin rasanya segera bertemu dengan Bu Mira, untuk meminta maaf.

[Tidak usah ke sini dulu, jaga Alif! Biar Abi yang menunggu dan merawat ibu di sini!]

Jawaban chat terakhir Henri, setelah Wida menjawab chat-chat dari lelaki itu.

*
Perasaan bersalah terus menghantui. Terbayang, Wida sibuk mengantar sekolah Alif, sibuk ikut acara di sekolah, melakukan pendekatan pada ibu-ibu, kegiatan pengajian, belum pengajian rutin Sabtu-Ahad. Sedangkan Bu Mira di rumah makan sendiri, entah apakah makan atau tidak. Terngiang juga kata-kata Henri, di awal menikah dulu.

"Aku menikahimu, karena kecintaanku pada Allah, dan kecintaanku pada ibu adalah karena kecintaanku pada-Nya. Keridan istri ada pada suami, keridaan suami ada pada ibunya. Aku ingin engkau menjadi wasilah, agar aku mendapat keridaan ibuku. Agar kelak, kita menuju surga karena rida ibu. Aku tidak meminta engkau menganggap ibuku adalah ibumu. Namun, perlakukan ibu seperti ibumu! Sayangilah, hormatilah dan perhatikanlah beliau agar aku rida padamu!"

"Mi, ibu meninggal…"

"Innalillahi…ibu…" Wida terbangun, ternyata hanya mimpi.

*

"Maafkan Wida, Bu!" kata Wida sambil mencium tangan Bu Mira yang masih lemah, karena baru tersadar dari kritis.

Bu Mira memberi isyarat dengan senyuman. Henri mendekat, menyimpan tangannya di bahu Wida. Wida pun mencium tangan Henri, berucap sama dengan yang dia sampaikan kepada ibu mertuanya.

"Maafkan Umi, Bi…" Kata-kata itu terus dia ucapkan.

Wida hanya berharap keridaan suaminya, berazam untuk tidak menyia-nyiakan kesempatan yang diberikan Allah untuk memuliakan ibu mertua, ibu dari suaminya. Keridaan ibu suaminya adalah kesuksesan keluarga mereka meraih Rida Allah.[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Farihah Kontributor NarasiPost.Com
Previous
Pretend Love
Next
Kidung Nestapa
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram