Bukan era Siti Nurbaya yang segala sesuatunya orang tua memaksakan kehendaknya kepada anaknya termasuk dalam sebuah perkawinan.
Perkawinan tanpa landasan keikhlasan dan keimanan tidak akan terbentuk indah.
Oleh: Ida Royanti
NarasiPost.Com-“Dengar, Nur! Kalau sampai kau menolak menikah dengannya, kudoakan kamu tidak akan pernah menikah untuk selamanya!” Jari telunjuk dengan bau bawang merah itu menempel tepat di ujung hidung.
Nurlela gelagapan. Leher gadis itu serasa tercekik. Ia tidak bisa bernapas. Bukan karena aroma sengak yang terus-menerus menusuk laring hidungnya, tapi kata-kata wanita yang sesungguhnya sangat ia hormati itu tertelan dan berhenti di tengah kerongkongan. Ia tidak bisa bicara.
Sementara, mata kucing itu masih mendelik tajam, mengintimidasi benteng kebanggaan dan hayalan keremajaan yang telah ia semai, merobek dengan sangat ganas tanpa kenal ampun. Hancur sudah, tak ada yang tersisa, kecuali sayatan menganga tak kasat mata. Gadis itu tak berdaya.
“Jawab, Nur!” desis Lilik pelan, tapi mendominasi.
“Nur harus jawab apa? Apa Nur punya pilihan?” tanya Nurlela pasrah.
“Tidak!” jawab Lilik cepat. Wanita itu lalu pergi ke ruang tamu. Dengan rasa membuncah di dada, ia mengabarkan kesediaan Nurlela untuk menerima pinangan Marzuki, bujang lewat matang dari desa sebelah.
“Apa aku punya pilihan? Benarkah aku tidak punya pilihan? Harusnya pilihan itu ada. Bukankah setiap persoalan itu pasti ada jalan keluarnya?” Pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar-putar di ruang benak Nurlela. Kali ini, seolah-olah ia dipaksa untuk memasukkan benang ke jarum tak berlubang, buntu, tak ada satu pun jalan meski itu terjal dan berliku.
Ipat-ipat itu sudah terlanjur keluar dari mulut suci seorang ibu. Mungkin alam sedang bersiap-siap untuk menjalankan titah Sang Penguasa Jagad agar mengabulkan lisan bertuah itu. Sekali lagi Nurlela bergidik. Ia tak mau menjadi durhaka seperti dalam dongeng Si Malin Kundang yang nenantiasa ia dengar sebagai pengantar lelap di waktu malam.
Diam-diam, gadis delapan belas tahun itu mengintip dari balik tirai yang menghubungkan antara ruang tamu dan ruang tengah. Dua manik mata itu tepat membungkus sosok yang digadang-gadang akan bersanding dengannya, seumur hidup. Saat itu, sosok tambun berambut keriting itu sedang tertawa renyah. Di sebelahnya ada wanita tua dengan pakaian adat jawa, yaitu jarit dan kebaya berkuthu baru agak rendah. Kerudung persegi panjang menyerupai selendang yang digunakan, hanya menutupi sebagian kepala, kemudian dililitkan di seputar leher.
Dan mata laki-laki itu.., ya, matanya itu yang membuat Nurlela merasa nelangsa. Mengapa sang ibu tega sekali melakukan itu padanya. Sepasang manik tanpa cahaya, berpayung rambut alis menyisir ke bawah. Tak ada secuil pun tanda-tanda kecerdasan di sana. Nurlela, gadis bintang sekolah dengan nilai di atas rata-rata, tiba-tiba merasa sengsara. Ya, ibunya baru saja menjatuhkan gadis itu ke jurang tanpa dasar, hanya dengan bekal sebutir buah simalakama.
*
“Nur, apa kamu tidak melanjutkan sekolah?” tanya Bu Nyai Rahma suatu ketika.
“Mboten, Nyai. Insyaallah Nur akan bekerja dulu. Setelah tabungan Nur cukup, baru mau melanjutkan kuliah,” jawab Nur sopan.
Saat itu, sesosok tinggi tampan berkopyah putih sedang melintas. Dialah Ibrahim, putra tunggal Bu Nyai Rahmah yang kuliah di salah satu Universitas Islam di Kota Bakso, Malang. Saat ini ia sedang liburan. Sambil menunduk hormat, pemuda itu melempar senyum tipis ke arah uminya. Tak lupa segores lirik mata ditujukan pada Nurlela.
Gadis itu merasa mulas. Tak bisa dipungkiri, ada desiran halus yang menyapu hati secara tiba-tiba. Tapi gadis itu hanya bisa menundukkan kepala. Jangankan untuk bergerak, napas pun coba ia tahan saking takutnya sama Nyai Rahma.
“Sebentar lagi Ibrahim akan menikah sama putrinya Yai Sholeh. Kamu bisa bantu kan, Nur, di acara mereka?” tanya Nyai Rahma halus.
Nurlela mengangguk ta’zim. Ia tahu bahwa apa yang disampaikan oleh sang guru adalah sebuah pesan halus agar ia tidak berharap terlalu banyak pada Ibrahim. Kabar burung yang ia dengar, Ibrahim sempat menolak perjodohan itu karena telah lama pemuda itu menaruh hati pada Nurlela. Itulah yang membat Nyai Rahmah tidak terlalu suka pada gadis itu. Padahal ia tidak tahu apa-apa meski sekolah sekaligus mondok di tempat itu. Waktu itu, ia baru kelas X.
Ibrahim memang tipe lelaki idaman. Selain wajah rupawan, ia juga smart dan cemerlang. Sorot mata yang selalu bercahaya bagai bintang kejora, itulah yang disukai Nurlela. Tapi gadis itu tidak pernah berharap untuk bisa bersanding dengannya. Jangankan dalam kehidupan nyata, dalam hayalan pun ia tidak berani. Ia cukup tahu diri.
*
Nurlela menghela napas. Ini adalah hari pernikahannya. Ia tidak boleh merasa sedih, pamali. Karena itu, ia berusaha untuk tersenyum bahagia. Meski tak dapat dipungkiri, kekecewaan itu begitu besar mencengkeram hingga perasaanya terasa tawar. Ia telah mati rasa.
Sungguh gadis itu masih belum bisa menerjemahkan perasaannya setiap kali menatap wajah bahagia sang ibu. Ia masih belum bisa menalar, apa sesungguhnya yang dipikirkan wanita yang telah mengantarkan dia hadir di dunia ini saat memaksa dirinya menikah dengn Marzuki. Ia tahu, sesungguhnya sang ibu sangat menyayanginya. Satu kata yang sama-sama mereka kejar, bahagia. Tapi karena pemaknaan dari kata itu berbeda, akhirnya ia harus merelakan ibadah seumur hidupnya itu dengan seseorang yang jauh dari ruang hayalnya. Apa terlalu muluk jika ia berharap bisa bersanding dengan seseorang yang pintar dan berwawasan? Meski bukan Ibrahim, setidaknya orang itu bisa dia ajak berdiskusi untuk menatap masa depan.
“Jangan hanya melihat tampang, Nur! Cobalah menerima ia apa adanya! Kalau kamu ikhlas, segalanya pasti terasa lebih mudah!” kata Lilik suatu ketika.
Benarkah ia terlalu berprasangka buruk? Beberapa waktu yang lalu, Nurlela berkesempatan mengobrol dengan Marzuki. Bapak dan ibunya duduk agak terpisah, tapi masih dalam satu ruangan. Ingin rasanya Nurlela berteriak. Atau kalau bisa, lenyap saja saat itu juga.
Tadinya ia sudah menata hati untuk menerima apa adanya. Tapi mau bagaimana lagi, lelaki itu seperti… apa ya? Nurlela sendiri sampai bingung bagaimana menerjemahkannya. Yang jelas, obrolan mereka sama sekali tidak nyambung. Nurlela membayangkan, beberapa menit saja seperti ini, bagaimana kalau seumur hidup?
Di satu sisi, ia paham bahwa putus asa itu dosa. Tapi di sisi lain, realita telah membawanya untuk membuka mata, bahwa apa apa yang dia hadapi ini bukan main-main dan harus ia jalani seumur hidup? Ia takut, apakah ia nanti mampu menjalani dengan ikhlas? Nurlela hanya bisa mengurut dada.
*
“Kamu sudah makan, Nur?” tanya Lilik ketika Nurlela bertandang ke rumah.
“Nur puasa, Bu. Tapi anak-anak belum sarapan,” jawab Nurlela sambil menurunkan Yusuf, balita tiga tahun itu di atas tikar.
“Sudah hampir zuhur seperti ini, anak-anak belum kamu kasih makan? Lah dari tadi kamu ngapain aja? Jangan biasakan seperti itu, Nur! Kamu sudah berumah tangga. Bagaimanapun, suami dan anak-anak adalah yang paling utama,” kata Lilik sambil mengomel.
“Tidak ada yang dimasak, Bu. Dari pagi Nur cari pinjaman tidak ada,” jawab Nurlela pelan. Itu adalah kali pertama ia keceplosan berbicara tentang kehidupan rumah tangganya pada ibunya.
“Cari pinjaman uang? Lah suamimu bagaimana?” tanya Taufik, ayah Nurlela. Wanita muda itu hanya diam saja.
“Nur?” tanya Taufik lagi. Nurlela masih tetap diam.
“Mbak Nur itu jarang dikasih uang belanja, Pak. Kalau habis gajian, Cak Marzuki ngasihkan uang itu ke orang ibunya. Semuanya, Pak,” jelas Nisa, adik Nurlela yang juga ada di sana. Selama ini, hanya gadis itulah yang menampung segala keluh kesah Nurlela.
“Sek.. sek.. ta. Kamu selama lima tahun menikah, hampir tidak pernah dikasih uang belanja? La terus kamu makan sama apa?” tanya Lilik sedikit terkejut. Selama ini Nurlela tidak pernah berkeluh kesah. Ia mengira, putri bungsunya itu sudah hidup bahagia dan berkecukupan di rumah mertuanya.
“Mbak Nur kan ngasih les ngaji Bu, di tetangga-tetangganya,” jelas Nisa lagi. Sementara Nurlela masih tetap tidak membuaka suara.
“Walah, ngelesi ngaji aja, dapat berapa, Nur?” tanya Taufik.
“Alhamdulillah, cukup, Pak. Yang penting anak-anak bisa makan. Kadang, anak-anak makan di neneknya, kok,” jawab Nurlela pelan.
“Makan kok kadang-kadang. Lah kalau kayak gini ini, sudah hampir zuhur mereka belum makan sama skali. Lak ya kasihan, Nur. Wes ndang kana, ambilkan makan!” kata Taufik cemas. Nurlela segera beranjak. Ia lalu menyuapi kedua anaknya.
“Kamu kok gak pernah cerita sama Ibu, Nur?” tanya Lilik sambil menghempaskan napas.
“Buat apa, Bu? Lagian, apa Ibu bakalan percaya, kalau Mbak Nur cerita?” jawab Nisa.
“Bukan begitu Nis, kita ini kan keluarga. Kalau kakakmu tidak bahagia, ibu kan juga sedih,” sahut Lilik.
“Lah, bukannya dulu Ibu yang memaksa Mbak Nur nikah sama si Marzuki?” jawab Nisa lagi.
“Ibu gak maksa, Ibu menanyai Kakakmu, kok. Dan dia setuju untuk menikah dengan Marzuki,” bantah Lilik.
“Bu, dari awal Mbak Nur itu sudah tidak suka sama Cak Zuki. Tapi karena ibu sudah ipat-ipat, Nbak Nur ya gak punya pilihan lain,” jelas Nisa.
“Ipat-ipat apa, Nis?” tanya Taufik.
“Ibu bilang, Mbak Nur gak bakalan nikah seumur hidup kalau tidak mau menikah dengan Cak Zuki.”
“Astghfirullah, betul itu Lik? Mulut seorang ibu itu bertuah, jangan main-main, kamu! Dari awal aku sudah curiga, pasti ada apa-apanya. Kok bisa Nurlela mau menerima lamaran itu, ternyata kamu yang memaksa?” teriak Taufik pada istrinya.
“Pak, maksud Ibu itu baik. Bapak lihat kan, Murtini hidupnya nyaman berkecukupan setelah menikah dengan keluarga mereka? Ibu ingin Nurlela juga begitu,” bela Lilik.
“Dan nyatanya?” tanya Taufik sambil beranjak meninggalkan ruangan itu.
Lilik terhenyak. Ia baru ingat, dulu ia pernah mengancam anak kebanggaannya itu agar mau menikah. Sungguh tak ada niat dalam hatinya untuk menjerumuskan Nurlela. Bagaimana ia bisa tenang sekarang?
Sementara itu, Nurlela masih tetap diam tak bersuara. Buat apa? Toh laki-laki yang sedang mereka bicarakan itu sekarang ini adalah suaminya, ayah dari anak-anaknya. Berbicara sampai berbusa pun, tidak akan mengubah kenyataan itu. Sesekali mata ibu dan anak itu bertatapan. Namun, seperti biasa, tak ada rasa apa pun yang terpancar di sana. Tak ada kesedihan, tak ada kebencian, tak ada kebahagiaan. Yang ada hanya datar dan tawar. Lilik jadi merasa bergidik. Jauh di lubuk hatinya ia menyesal telah menjerumuskan Nurlela.
*
Hari ini genap tujuh hari meninggalnya Taufik. Suara yasin dan tahlil masih terdengar dari ruang depan. Keluarga Nurlela memang masih memegang kuat tradisi itu. Nurlela tak dapat menyembunyikan kesedihan. Satu hal yang membuatnya miris, sampai detik itu Marzuki belum menampakkan batang hidung. Lelaki itu hanya terlihat sekilas saat pemakaman. Setelah itu, ia pulang dan belum datang lagi.
Kalau boleh berharap dengan jujur, ia ingin lelaki itu tak pernah lagi menjemputnya. Semua perlakuan buruk padanya bisa ia terima, namun secara tidak langsung, apa yang ia lakukan itu ternyata membuat sang ayah kepikiran dan sedih berkepanjangan. Menurut Lilik, Taufik memang berkali-kali ingin dikunjungi Nurlela dan anak-anaknya. Tapi karena saat itu Marzuki tidak mengizinkan, akhirnya Taufik semakin kepikiran, sampai sakit berkepanjangan. Inilah yang membuat Nurlela menyesal.
“Maafkan Ibu, Nur! Sungguh ibu tidak pernah berharap kamu menderita. Ibu hanya ingin kamu bahagia,” kata Lilik tulus.
Nurlela tersenyum. Kali ini ada warna di matanya, tidak tawar seperti biasa. Meski abu-abu, bagi Lilik itu sudah cukup. Ini pertanda bahwa si sulung telah mulai memaafkannya. Ya, Nurlela memang tidak pernah membenci ibunya. Ia hanya enggan dan malas untuk berbagi rasa. Namun, hari ini ia benar-benar telah membuka hati untuk menerima maaf dari sang Ibu. Ia sadar, bisa jadi kebekuan yang selama bertahun-tahun ia pendam itulah yang menjadi kunci tertutupnya rahmat datang padanya sehingga ia tidak merasa bahagia.
-Tamat-