Perubahan diksi RUU Perampasan Aset tidak akan banyak berpengaruh tanpa keberanian dan komitmen nyata dari negara dalam menindak para pelaku korupsi dengan tegas.
Oleh. Vega Rahmatika Fahra, S.H.
(Tim Penulis Inti NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Pemerintah Indonesia tengah membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset yang mencakup perubahan penting pada istilah yang digunakan dalam proses penanganan aset terkait tindak pidana korupsi. Salah satu perubahan signifikan yang diusulkan adalah penggantian kata perampasan menjadi pemulihan.
Diksi ini dipilih karena dianggap lebih sesuai dengan prinsip-prinsip internasional tentang pengembalian aset negara yang hilang akibat tindakan ilegal, seperti yang diatur dalam United Nations Convention Against Corruption (UNCAC). UNCAC adalah sebuah konvensi antikorupsi dari PBB yang telah diratifikasi oleh Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006. Berbagai ketentuan dalam UNCAC dianggap perlu diadopsi ke dalam hukum domestik, termasuk istilah-istilah yang sesuai dengan pedoman internasional tersebut. (cnnindonesia.com, 10-11-2024)
Pada prinsipnya, RUU Perampasan Aset dirancang sebagai payung hukum untuk memudahkan negara dalam mengambil kembali aset-aset yang dihasilkan dari tindak pidana korupsi yang selama ini sulit dijangkau oleh peraturan perundang-undangan yang ada. Dalam RUU ini, pemerintah ingin memastikan bahwa proses pengembalian aset korupsi lebih efisien, efektif, dan sejalan dengan prinsip hukum internasional yang transparan dan akuntabel. Diksi pemulihan dianggap lebih mencerminkan proses pengembalian aset negara yang dirampas tanpa kesan yang terlalu keras atau agresif sehingga menyesuaikan dengan istilah yang digunakan di dalam UNCAC, yaitu asset recovery atau pemulihan aset.
Pemerintah berargumen bahwa istilah pemulihan lebih sesuai untuk menggambarkan tujuan akhir dari proses hukum ini, yaitu mengembalikan atau memulihkan aset negara yang telah hilang akibat kejahatan korupsi dan pencucian uang. Penggunaan diksi perampasan dipandang dapat menimbulkan kesan bahwa pemerintah akan mengambil aset tanpa melalui proses hukum yang jelas yang bisa berujung pada ketidakpastian hukum dan kekhawatiran akan terjadinya penyalahgunaan kekuasaan.
Selain itu, perubahan diksi ini didukung oleh pertimbangan bahwa proses pengembalian aset hasil tindak pidana perlu dilakukan secara legal dan mengikuti ketentuan internasional agar Indonesia mendapat dukungan dari komunitas global dalam pemulihan aset di luar negeri. Banyak aset hasil korupsi yang disembunyikan atau dialihkan ke luar negeri oleh para pelaku sehingga upaya pemulihan harus sejalan dengan ketentuan internasional agar negara-negara lain dapat mendukung proses pengembalian aset tersebut.
Penggunaan istilah pemulihan juga dirancang untuk menunjukkan bahwa proses pengembalian aset tidak dilakukan secara sepihak oleh negara, melainkan melalui mekanisme hukum yang melibatkan bukti, pengadilan, dan hak bagi pelaku untuk melakukan pembelaan. Dalam hal ini, pemerintah berusaha menunjukkan bahwa RUU ini bukanlah instrumen untuk mengambil alih properti secara paksa, tetapi untuk memulihkan aset negara melalui jalur hukum yang sah.
Kritik Pengamat terhadap Perubahan Diksi
Meski pemerintah memiliki alasan-alasan untuk melakukan pergantian diksi, banyak pengamat yang khawatir bahwa perubahan ini dapat mengurangi semangat tegas pemberantasan korupsi di Indonesia. Diksi perampasan dianggap lebih mencerminkan sikap tegas negara terhadap tindak pidana yang merugikan publik.
Pengamat hukum, Pieter Zulkifli menyampaikan kritik tajam terhadap rencana penggantian diksi ini. Menurutnya, perubahan ini tidak hanya soal pemilihan kata, tetapi dapat berdampak serius pada efektivitas pemberantasan korupsi di Indonesia. Pieter menilai bahwa penggantian istilah ini berpotensi menghilangkan esensi dasar dari tujuan undang-undang tersebut yang seharusnya menunjukkan ketegasan negara dalam mengambil kembali aset negara yang telah dirampas oleh para pelaku korupsi. (tribunnews.com, 09-11-2024)
Bagi Pieter, kata perampasan menunjukkan sikap tegas yang harus diambil negara terhadap tindak pidana korupsi. Istilah ini menyiratkan bahwa negara siap melakukan tindakan kuat, bahkan tindakan paksa jika diperlukan untuk memastikan aset yang diperoleh secara tidak sah dapat dikembalikan kepada negara. Sebaliknya, kata pemulihan dinilai Pieter terlalu lunak dan kurang mencerminkan sikap tegas. Kata pemulihan menurutnya bisa mengurangi semangat penegakan hukum dan malah memberikan kesan bahwa proses pengembalian aset dapat dilakukan secara administratif yang berpotensi memberi peluang bagi pelaku korupsi untuk menghindari hukuman yang seharusnya mereka terima.
Pieter juga mengungkapkan kekhawatiran bahwa penggantian istilah ini dapat melemahkan efek jera. Dalam hal pemberantasan korupsi yang kompleks dan menghadapi tantangan besar di Indonesia, istilah perampasan diperlukan sebagai simbol keberanian negara untuk bertindak tegas terhadap kejahatan yang berdampak luas pada masyarakat. Menurutnya, pemberantasan korupsi bukan hanya soal mengembalikan aset, tetapi juga soal memberi pesan kuat bahwa negara tidak akan menoleransi tindakan pencurian aset negara. Dengan demikian, penggantian diksi ini seharusnya ditinjau ulang agar tidak mengurangi makna esensial dari RUU Perampasan Aset sebagai alat penting dalam pemberantasan korupsi.
Perubahan Diksi, Apakah Solusi?
Penggantian diksi perampasan menjadi pemulihan dalam RUU Perampasan Aset didasarkan pada aturan dalam United Nations Convention Against Corruption (UNCAC), sebuah konvensi internasional yang diikuti oleh banyak negara, termasuk Indonesia. UNCAC memberikan panduan bagi negara-negara anggota untuk menerapkan mekanisme pemulihan aset secara adil dan transparan dengan tujuan mengembalikan aset yang dirampas akibat tindak pidana korupsi. Dalam upaya menyelaraskan hukum domestik dengan konvensi internasional ini, pemerintah Indonesia berusaha mengadopsi standar UNCAC ke dalam undang-undang terkait pemberantasan korupsi.
Namun, keberhasilan perubahan ini sangat bergantung pada keberanian dan komitmen pemerintah untuk memberantas korupsi secara nyata. Meski selaras dengan standar internasional, penggantian istilah saja tidak akan efektif jika pemerintah tidak menunjukkan ketegasan dalam pelaksanaannya. Tantangan terbesar yang dihadapi pemberantasan korupsi di Indonesia bukan sekadar soal peraturan, melainkan soal penegakan hukum yang konsisten dan tidak tebang pilih.
Tanpa keberanian untuk menindak para pelaku korupsi, terutama yang memiliki pengaruh politik dan kekuasaan, perubahan diksi ini berisiko hanya menjadi langkah kosmetik yang tidak membawa perubahan signifikan. Banyak kasus korupsi di Indonesia yang menunjukkan bahwa proses hukum sering kali melemah ketika berhadapan dengan kepentingan politik atau ekonomi yang kuat. Dengan kata lain, standar internasional seperti UNCAC hanya akan efektif jika disertai dengan komitmen kuat pemerintah dalam memastikan bahwa tindak pidana korupsi diberantas tanpa kompromi.
Tanpa penegakan hukum yang konsisten dan ketegasan dalam memulihkan aset dari pelaku korupsi, diksi yang digunakan dalam regulasi ini hanya akan menjadi jargon semata. Sejauh ini, proses pemberantasan korupsi di Indonesia masih dipengaruhi oleh berbagai faktor politik dan ekonomi yang sering kali melemahkan upaya untuk menindak pelaku korupsi secara tegas.
Oleh karena itu, meskipun istilah pemulihan dianggap lebih sesuai dengan standar internasional, perubahan diksi ini tidak akan berarti banyak jika negara tidak menunjukkan keberanian untuk menindak para pelaku korupsi dengan hukuman yang adil dan setimpal.
Hukum Islam dalam Pemberantasan Korupsi
Berbeda dengan sistem kapitalisme, Islam memiliki pandangan yang tegas dalam menanggulangi korupsi dan menjaga para pejabat dari perilaku korup. Islam memberikan penekanan kuat pada moralitas pejabat dan pemimpin dalam menjaga amanah yang diberikan dan menetapkan sanksi tegas bagi siapa saja yang melakukan korupsi.
Islam menegaskan bahwa setiap pemimpin harus bertanggung jawab atas setiap amanah yang diberikan kepadanya dan berkomitmen menjaga hak masyarakat. Dengan demikian, hukum Islam bukan hanya memberikan sanksi tegas, tetapi juga bertujuan untuk mencegah terjadinya korupsi melalui pembentukan moralitas yang kuat dan ketakwaan.
Ada beberapa dalil yang menunjukkan ketegasan Islam dalam memberantas korupsi, antara lain dalam surah Al-Baqarah ayat 188, “Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan cara yang batil dan janganlah kamu menyuap untuk membawa diri kepada pengadilan, padahal kamu mengetahui (kesalahannya).”
Ayat ini dengan jelas melarang praktik-praktik korupsi, baik berupa suap maupun mengambil harta secara batil. Islam melarang setiap bentuk pengambilan hak milik orang lain atau negara dengan cara yang tidak sah dan menyebutnya sebagai perbuatan dosa yang merusak hubungan sosial dan menimbulkan ketidakadilan.
Baca juga: Aset Dirampas Akankah Korupsi Bisa Dilibas?
Dalam sistem hukum Islam, korupsi dipandang sebagai pelanggaran berat karena melibatkan pengkhianatan terhadap amanah publik, ketidakadilan, dan pengambilan hak orang lain secara tidak sah. Hukuman bagi koruptor adalah takzir, yaitu hukuman yang jenis dan kadarnya diserahkan sepenuhnya kepada hakim. Bentuk takzir bisa teguran, penjara, denda, hingga yang paling berat adalah hukuman mati.
Hukuman takzir ini bersifat jawabir, yaitu menebus dosa pelaku dan zawajir, yaitu mencegah orang lain melakukan hal yang serupa. Selain sanksi takzir, koruptor wajib mengembalikan seluruh harta yang diperoleh secara tidak sah kepada negara. Pengembalian ini bertujuan untuk memulihkan kerugian yang dialami negara.
Selain aspek kuratif berupa hukuman, Islam menekankan pendidikan sebagai aspek preventif yang sangat penting. Penanaman akidah, akhlak, sikap amanah, dan ketakwaan sejak dini ditujukan untuk menciptakan masyarakat yang anti terhadap korupsi. Pejabat negara dan pemimpin harus memiliki rasa takut kepada Allah dan komitmen moral yang tinggi untuk menjaga amanah dan tanggung jawabnya.
Khatimah
Perubahan diksi dari perampasan menjadi pemulihan dalam RUU Perampasan Aset adalah upaya untuk mengikuti ketentuan UNCAC dan standar internasional. Namun, kritik muncul karena perubahan ini dianggap dapat mengaburkan esensi ketegasan dalam pemberantasan korupsi. Selain itu, perubahan diksi ini tidak akan banyak berpengaruh tanpa keberanian dan komitmen nyata dari negara dalam menindak para pelaku korupsi dengan tegas.
Islam menawarkan panduan yang jelas dan tegas dalam memberantas korupsi melalui penegasan moral dan hukum yang memberikan efek jera. Dalam Islam, pejabat dituntut untuk menjaga amanah dengan sebaik-baiknya dan perilaku korup dinilai sebagai pelanggaran serius terhadap keadilan dan kemanusiaan. Wallahua’lam bishawab. []