"Posisi janda dalam kehidupan masyarakat ibarat mahkota tanpa nakhoda. Apalagi jika anak yang diasuhnya adalah yatim karena ayahnya meninggal dunia. Mereka layak disantuni negara dan hartanya dijaga, terlebih jika ia dalam keadaan miskin, semisal terputusnya nafkah dari jalur ayah, maka kewajiban negara untuk merawatnya."
Oleh. Maman El Hakiem
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Kehadiran ayah dan ibu bagi anak dalam rumah tangga sangat memengaruhi karakternya di masa depan. Tidak salah jika ada ungkapan buah jatuh tidak akan jauh dari pohonnya. Pohon yang bertunas tentu mengharapkan buah yang ranum sebagai idaman semua orang. Pun dalam kehidupan rumah tangga, adanya pelanjut keturunan yang lebih baik adalah cita-cita berkeluarga.
Namun, kehidupan rumah tangga tidak selamanya berlayar di lautan yang tenang, sekalipun rumah tangga itu dibangun berdasarkan rasa cinta dan kasih sayang dengan saling rida. Riak ombak, bahkan badai ujian dalam berbiduk bahtera sering pula menghempaskan hingga terjadinya perceraian membuat keluarga kehilangan nahkodanya.
Jika istri kehilangan suami karena perceraian, maka statusnya sebagai janda sering direndahkan, bahkan dianggap hina. Padahal, di pundak seorang istri memikul beban pengasuhan terhadap anak-anak buah cinta dari suaminya. Sementara sang suami hanya terikat hak menafkahi anak-anaknya.
Status janda memang batu ujian yang harus dihadapi dengan penuh kesabaran, apalagi di tengah kehidupan sekuler yang serba materialistis. Dalam berbagai kasus perceraian terjadi bukan hanya karena faktor eksternal, melainkan kurangnya sifat kanaah atas pemberian nafkah dari suami dan disharmoni hubungan suami istri karena ketidakpuasan syahwat , terlebih bagi pasangan yang salah satunya divonis sakit atau mandul.
Fenomena Perceraian
Sungguh memprihatinkan jika menilik tingginya angka perceraian di negeri ini. Sebut saja Wonogiri sebagai salah satu daerah yang memiliki angka perceraian tinggi, seperti berita yang dilansir detik.com, 7/7/2022, Ketua Pengadilan Agama (PA) Wonogiri Aris Setiawan, menyampaikan data hingga Juni 2022, PA Wonogiri sudah menerima 694 pengajuan perkara cerai gugat dan 258 pengajuan cerai talak. Secara keseluruhan jumlahnya 953 perkara masuk.
Pihak pengadilan sangat kesulitan untuk mendamaikan mereka yang ingin bercerai, hingga berinisiatif untuk memberikan reward menginap di hotel gratis bagi pasangan yang mau membatalkan gugatan cerainya.https://narasipost.com/2022/03/29/satu-bahtera-dua-nakhoda-mampukah-sampai-pada-tujuannya/
Selain faktor ekonomi, perceraian diakibatkan dari tidak tercapaiannya tujuan dari menikah, yaitu adanya rasa tenteram yang sama-sama dirasakan pasangan suami-istri. Percekcokan bukan karena ketidakcocokan, melainkan gagalnya meraih tujuan pernikahan. Tujuan pernikahan salah satunya adalah untuk melanjutkan keturunan, menjaga kemuliaan nasab manusia.
Karena itu sebelum menikah, salah satu hal yang harus diperhatikan, bahkan boleh menjadi kriteria calon istri adalah yang masih perawan dan subur. Sebagaimana sabda Nabi saw.:
عَلَيْكُمْ بِالْأبْكَارِ فَإِنَّهُنَّ أَعْذَبُ أَفْوَاهًا وَأَنْتَقُ أَرْحَامًا وَأَرْضَى بِالْيَسِيْرِ
Makna hadis riwayat Ibnu Majah tersebut adalah nikahilah gadis-gadis, sesungguhnya mereka lebih manis tutur katanya, lebih banyak keturunannya, dan lebih menerima dengan sedikit pemberian (kanaah)
Menjaga Kehormatan Janda
Ada hal yang menarik dari isi hadis tersebut, bahwa gadis menjadi pilihan karena manis tutur katanya, peluang untuk banyaknya keturunan dan adanya kanaah atas nafkah dari suaminya. Kondisi tersebut tentu bukan berarti status janda tidak menawan untuk dinikahi. Sebagaimana diketahui istri-istri Rasulullah saw. semuanya janda, kecuali Aisyah r.a. Hal ini menunjukkan nilai kemuliaan seorang janda di mata Rasulullah saw. Adapun banyaknya istri beliau yang lebih dari empat merupakan kekhususan yang diberikan Allah Swt.
Sebut saja istri kedua setelah Khadijah ra. wafat adalah Saudah bintu Zam’ah bin Qais. Seorang janda dari Sukran bin Amr yang nasabnya bertemu dengan Nabi Muhammad pada kakeknya yang bernama Luaiy bin Ghalib. Rasulullah saw. melangsungkan akad nikah dengan Saudah di Makkah dengan nilai maharnya 400 dirham.
Nilai mahar yang sama diberikan kepada ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, meskipun Aisyah yang masih gadis belia sudah tentu lebih menarik hatinya, apalagi Aisyah adalah putri dari Abu Bakar Shiddiq, sahabat setia yang pertama kali mengimani peristiwa Isra Mikraj dan menemani perjalanan hijrah Rasulullah saw. ke Madinah.
Abu Bakar sendiri yang menikahkan putrinya, Aisyah dengan Nabi Muhammad di usianya yang baru berumur 6 tahun, meskipun begitu Nabi berkumpul dengan ‘Aisyah di umurnya yang ke-9 tahun. Dengan demikian, Aisyah menjadi satu-satunya perawan yang dinikahi Nabi semasa hidupnya.
Nabi saw. yang beristri lebih dari empat adalah kekhususan dengan ibrah berupa pelajaran berharga mengenai syariat Islam di kemudian hari, seperti tidak dijadikannya sekufu sebagai syarat menikah, hukum mubahnya poligami, kebolehan menikahi saudara sepupu karena bukan mahram dan tentunya mengangkat kehormatan janda dengan menikahinya.
Hal tersebut dicontohkan Rasulullah dengan menikahi para janda yang ditinggal suaminya karena gugur di medan perang, menjadi tawanan perang atau dalam rangka meringankan beban dalam pengurusan anak-anak yang kehilangan ayahnya.
Posisi janda dalam kehidupan masyarakat ibarat mahkota tanpa nakhoda. Ketika diamanahi banyak anak dalam asuhannya tentu beban berat, dibutuhkan curahan kasih sayang dan kehangatan suasana dalam hubungan keluarga. Apalagi jika anak yang diasuhnya adalah yatim karena ayahnya meninggal dunia. Mereka layak disantuni negara dan hartanya dijaga, terlebih jika ia dalam keadaan miskin, semisal terputusnya nafkah dari jalur ayah, maka kewajiban negara untuk merawatnya.
Sistem Islam sangat memperhatikan kehidupan rumah tangga, terlebih pengasuhan anak yatim, bukan hanya kewajiban ibunya, melainkan juga negara berusaha memberikan solusi dengan kebolehan poligami, memudahkan urusan menikah dan tercukupinya kebutuhan primer seluruh individu rakyatnya dengan distribusi kekayaan yang menyejahterakan, bukan dimonopoli kelompok tertentu.
Banyaknya kasus perselingkuhan pejabat yang ditengarai karena mudahnya fasilitas dan akses ekonomi, sementara poligami seolah dipersulit membuat pergaulan bebas semakin merajalela, terlebih sekularisme menilai manfaat di atas segala-galanya, menjadikan pemenuhan naluri syahwat sebagai komoditas yang bersifat komersil.
Tidak mengherankan kalau kehidupan rumah tangga tidak dilirik sebagai tanggung jawab moral negara, nasib para janda terlantar dan dibiarkan mengais nafkahnya sendiri di sektor nonformal, bahkan lebih menyedihkan lagi sampai menggadaikan nilai kehormatannya sebagai wanita. Mahkota tanpa nakhoda semakin ternoda dalam sistem kapitalisme karena terkikisnya nilai ketakwaan dan abainya peran negara terhadap urusan moral rakyatnya.
Wallahu'alam bish Shawwab.[]
Ya Allah, tulisan ini merupakan gambaran kehidupan rumah tangga di sistem kapitalis.
Miris, sedih, kpn ya hukum Islam bisa segera dilaksanakan?