"Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan." [TQS Al A'raf ayat 96]
Oleh. Fani Ratu Rahmani (Aktivis Dakwah dan Pendidik)
NarasiPost.Com-Keberadaan Transgender (Waria) di Indonesia sudah dikenal cukup lama. Secara historis, eksistensi kelompok ini berkembang di berbagai isu, seperti perkumpulan kelompok seni ludruk di Jawa Timur, perkumpulan yang bergerak dalam bidang kesehatan seperti penanggulangan HIV AIDS dan isu sosial dan income generating.
Di antara kelompok LGBT (Lesbian, Gay, Bisexual, Transgender) di Indonesia, kelompok transgender keberadaannya lebih dulu eksis dibanding tiga kelompok lainnya. Dan kelompok transgender menjadi perhatian karena epidemi HIV dan AIDS di kalangan kelompok ini cukup tinggi di Indonesia. (Kemenppa.go.id, jurnal ilmiah Pandangan Transgender dan Persamaan HAM)
Melihat populasi yang cukup signifikan dari tahun ke tahun, pemerintah akhirnya berinsiatif mengeluarkan sebuah kebijakan terhadap kaum transgender ini. Direktorat Jenderal Pencatatan Sipil (Ditjen Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Zudan Arif Fakrulloh mengatakan, pihaknya akan membantu para transgender mendapatkan KTP Elektronik (KTP-el), akta kelahiran dan Kartu Keluarga (KK). Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) pun akan turun tangan membantu membuatkan KTP elektronik ini. (kompas Nasional, 25/4/2021)
Namun, Zudan Arif mengatakan, di dalam KTP-el tersebut tidak akan ada kolom jenis kelamin "transgender". Karena pada dasarnya hanya ada dua jenis kelamin dalam kolom e-KTP, yakni laki-laki dan perempuan. Tentu, akan menjadi sorotan apabila pemerintah justru bersikeras memasukkan kolom transgender dalam kolom e-KTP mereka.
Keluarnya kebijakan ini pada dasarnya bukan tanpa sebab. Melihat fenomena banyaknya transgender yang tak memiliki kartu identitas. Menurut Ketua Dewan Pengurus Perkumpulan Suara Kita, Hartoyo, para transgender kerap menemui hambatan saat mengurus administrasi terutama untuk mengakses layanan publik.
Di sisi yang lain, adanya upaya pengakuan eksistensi dan penyediaan fasilitas bagi kalangan mereka merupakan bentuk kebijakan global. Pada umumnya kelompok LGBT masih mengalami banyak kekerasan dan diskriminasi dalam kesempatan kerja dan tempat tinggal, pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan [UNDP,2014].
Ditambah pula, LGBT sulit mengakses pekerjaan, terutama pekerjaan di sektor formal, karena banyak pemberi kerja yang homophobic dan karena lingkungan tidak ramah terhadap kaum LGBT. Sementara, mereka yang berhasil mendapatkan pekerjaan juga kerap mengalami perlakuan diskriminatif seperti dihina, dijauhi, diancam, dan bahkan mengalami kekerasan secara fisik. (ILO,2014)
Berbagai upaya telah dilakukan oleh kaum LGBT untuk mendapatkan hak-haknya. Kita sering melihat berbagai aksi mereka pada di momen tertentu, yakni menyuarakan kesetaraan gender, termasuk pengakuan gender mereka. Contoh aksi pada momen Hari Perempuan Internasional, Pengesahan RUU PKS, atau pada peringatan HAM dunia. Belum lagi eksistensi mereka di dunia hiburan Indonesia maupun jejaring media sosial. Melihat hal ini sebenarnya kita bisa pahami bahwa liberalisme begitu kuat mewarnai sendi-sendi kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Liberalisme yang melahirkan Hak Asasi Manusia menjadi tameng untuk kaum LGBT menyuarakan hak mereka. Dan juga dijadikan dasar berpikir negara dalam membuat kebijakan. Semua berlandaskan liberalisme yang memuja kebebasan, mulai dari kebebasan berakidah, berpendapat, memiliki, dan berperilaku.
Meskipun negara berdalih kebijakan E-KTP ini untuk kemudahan akses, secara tidak langsung negara mengakui eksistensi mereka meski tidak berpayung hukum yang resmi. Alasan memudahkan bantuan atau layanan publik sejatinya adalah bentuk penyesatan di tengah masyarakat. Ini sama halnya mengajak masyarakat untuk menerima keberadaan kaum LGBT ini. Masyarakat diminta hidup bersama dengan kaum yang sebenarnya jelas berbuat kerusakan di negeri ini.
Padahal telah terbukti bahwa penyebaran angka HIV/AIDS kerap ada di kalangan mereka. Inilah potret sebuah negara yang menjadikan sekularisme sebagai asasnya dan mengokohkan demokrasi sebagai sistem politiknya. Bagaimanapun, kebijakan yang dikeluarkan tidak akan mempertimbangkan pandangan agama karena memang agama dijauhkan dari aspek kehidupan. Dan apapun kebijakannya akan menjamin kebebasan individu, salah satunya kebebasan berperilaku, yang dibentengi dalam demokrasi. Negara dengan asas sekularisme tidak akan memperhitungkan kerusakan pemikiran dan perilaku masyarakat, yang terpenting adalah terpenuhinya kepentingan kalangan tertentu.
Dan sesungguhnya Indonesia pun tidak bisa berbuat banyak untuk mengeliminasi eksistensi kaum LGBT, karena Indonesia hanyalah negara yang mengikuti kebijakan dan kesepakatan global. Indonesia adalah daulah at tabi'iyah (negara pengikut) yang hanya akan mengikuti kebijakan negara adidaya. Sehingga wajar, berbagai program selalu dikerjakan dan diawasi perwujudannya. Termasuk, program terhadap kaum transgender ini.
Sungguh miris sebenarnya, di saat negara yang seharusnya menghentikan gelombang kerusakan yang ditimbulkan kaum LGBT, justru kini mengeluarkan kebijakan keblinger. Ini akan menuai kontroversi di masyarakat, dan mirisnya masyarakat yang mayoritas muslim ini diminta untuk menoleransi dan memaklumi. Itu sama saja kita telah mengkhianati syariat Islam itu sendiri yang jelas melaknat kaum LGBT, termasuk transgender ini.
Sebenarnya, akan lebih bijak dan benar jika negara mengedukasi dan mendorong taubat kaum transgender ini. Mereka harus disadarkan bahwa perbuatan mereka itu salah, batil di mata Islam. Bukan sekadar bertentangan dengan budaya ketimuran, tapi mengundang murka dari Allah ta'ala. Sebenarnya apabila negara mau berbuat sesuai hukum syara', maka keberadaan mereka tidak akan tumbuh subur dan mereka akan lebih mudah untuk diajak ke arah yang lebih baik. Dan selama proses mengajak mereka ke jalan yang benar, mereka harus diasingkan agar tidak memengaruhi masyarakat. Ini berguna untuk dua hal, di satu sisi agar kaum LGBT ini jera akan perbuatannya, dan masyarakat juga terjaga dari pemikiran liberal yang diembuskan oleh mereka. Ini bentuk kebijakan yang patut, dicoba.
Namun, apabila keberadaan mereka telah menimbulkan banyak mudhorot, seperti kasus HIV/AIDS, kasus sodomi, dan sebagainya maka negara harus mengambil langkah tegas. Dalam syariat Islam, maka hukuman bagi mereka hanyalah hukuman mati. Hukuman yang berlaku bagi dua pihak, si pelaku dan kawan pelaku, guna memutus mata rantai perilaku merusak itu secara tuntas.
Demikian langkah yang bisa diambil di level negara sebagai bentuk tanggungjawab untuk urusan masyarakat. Oleh karena itu, hanya dengan kembali pada Islam, maka ragam masalah bisa diselesaikan. Namun, negara yang bisa mewujudkan syariat Islam kafah hanyalah Khilafah, yakni sebuah negara independen yang tidak membebek pada Barat atas kebijakannya, menerapkan syariat Islam dengan sempurna, serta mengemban dakwah Islam ke seluruh dunia. Mari menyongsong khilafah islamiyyah sebagai peradaban untuk seluruh manusia di dunia.
"Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan." [TQS Al A'raf ayat 96]
Wallahu a'lam bis shawab.[]
Photo : Google
Disclaimer: Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya. NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]