Rintihan Pekerja Migran dalam Cengkeraman Kapitalisme

"Menurut laporan lembaga Internasional Migrant Forum in Asia, sistem kafala membuat para buruh migran secara hukum terikat dengan pemberi kerja/sponsor individu/majikan (kafeel) untuk periode kontrak mereka. Sistem ini dianggap sebagai perbudakan modern yang membuat TKI terikat dengan majikan, tak bisa pindah kerja atau meninggalkan negara dengan alasan apapun tanpa izin tertulis dari majikan"


Oleh: Nurjamilah, S.Pd.I.

NarasiPost.Com-TKI (Tenaga Kerja Indonesia) atau pekerja migran didaulat sebagai pahlawan devisa negara karena kontribusinya mengalirkan remitansi. Remitansi adalah sejumlah uang yang dikirim pekerja migran yang bekerja di luar negeri. Sayangnya kontribusi yang diberikan tidak sebanding dengan kisah pilu yang menggelayuti karir mereka.

Problem pekerja migran khususnya pekerja perempuan bukan sekadar urusan perlindungan. Tapi soal cengkeraman Kapitalisme pada negeri ini, sehingga negeri ini kehilangan visi misi untuk melindungi dan mengurusi rakyatnya. Perempuan tercerabut fitrahnya dan meninggalkan keluarga demi sesuap nasi.

Dilansir dari news.detik.com, 19/21/2021, puluhan keluarga di Indonesia melaporkan kehilangan anggota keluarganya yang bekerja menjadi TKI di Arab Saudi. Laporan ini mencuat dari sejumlah grup di facebook. Salah satu yang dilaporkan adalah Sopiah, setelah hampir sebelas tahun hilang, ia akhirnya dipulangkan majikannya pada Oktober 2020 karena gerakan di media sosial itu.
Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) menguatkan fakta itu, TKI yang hilang kontak dengan keluarga biasanya karena disekap atau kabur dari majikan di tengah pemberlakuan sistem kafala.

Menurut laporan lembaga Internasional Migrant Forum in Asia, sistem kafala membuat para buruh migran secara hukum terikat dengan pemberi kerja/sponsor individu/majikan (kafeel) untuk periode kontrak mereka. Sistem ini dianggap sebagai perbudakan modern yang membuat TKI terikat dengan majikan, tak bisa pindah kerja atau meninggalkan negara dengan alasan apapun tanpa izin tertulis dari majikan. Sistem ini muncul pada era 1950an yang mengatur hubungan antara pekerja dengan majikan di negara-negara Asia Barat. Dalam praktiknya sistem kafala ini menjadikan majikan memegang penuh kendali atas pekerja rumah tangga. Misalnya: menahan kelengkapan administrasi, membatasi penggunaan telepon seluler dll.

Mulai Maret 2021, pemerintah Arab Saudi menghapus kebijakan sistem kafala, tapi hanya untuk pekerja profesional, tidak berlaku bagi pekerja rumah tangga. Rasanya mustahil bagi mereka menghapus sistem kafala pada pekerja rumah tangga karena warga setempat masih menjaga imunitas kearifan lokal.

Masih banyak lagi tumpukan masalah yang menimpa pekerja migran, diantaranya ada yang habis kontrak tapi tak juga dipulangkan oleh majikannya, kasus penganiayaan hingga pembunuhan oleh majikan, tidak betah bekerja, habis kontrak namun gaji tidak dibayarkan, dll. Nahas, ternyata bukan hanya bermasalah dengan majikan, bahkan dengan lembaga yang memberangkatkannya juga. Ketua Umum SBMI, Hariyanto mengungkap beberapa kasus PJTKI yang memeras buruh migran dengan adanya overcharging (pembebanan biaya yang berlebihan), kasus PJTKI yang menahan dokumen buruh migran sebagai jaminan (tempo.co, 10/10/2019).

Kapitalisme Biang dari Nestapa Pekerja Migran

Dalam konteks global, penerapan sistem kapitalisme digadang-gadang menjadi penyebab kemiskinan struktural negara-negara berkembang, krisis moneter dan resesi. Dampaknya lapangan pekerjaan semakin sempit, PHK besar-besaran apalagi di masa pandemi ini. Tak hanya itu krisis pangan dan energi yang menyebabkan harga-harga kebutuhan pokok semakin meroket. Pada kondisi inilah masyarakat miskin harus bertahan hidup. Berjuang sendiri tanpa sokongan dari negara. Akhirnya untuk membantu perekonomian keluarga, perempuan terpaksa diberdayakan untuk membantu para suami memenuhi kebutuhan keluarga, padahal urusan domestik pun tak kalah mumet. Salah satu opsi yang menggiurkan adalah menjadi buruh migran, mengundi nasib di luar negeri, sekalipun berisiko tinggi. Dengan rata-rata bermodal nekad saja dan skill yang pas-pasan, akhirnya terbang jauh merenda asa. Bertahun-tahun meninggalkan keluarga yang dicintai, hanya memiliki pilihan sebagai ART, baby sitter, perawat lansia/orang sakit bahkan PSK pun akhirnya dilakoni. Minim sekali yang bisa menduduki pekerjaan profesional seperti dokter, perawat, dll.

Secara individu, menjadi pekerja migran tetap lebih menjanjikan kesejahteraan dibanding bekerja di dalam negeri. Walau penuh risiko, harus meninggalkan keluarga, hidup di negeri asing yang berbeda budaya, juga tak ada perlindungan hukum dari negara. Faktor ekonomi lah yang menyebabkan mereka nekat mengundi nasib di negeri lain.

Negara pun ikut andil dalam tingginya angka pengiriman buruh migran ke luar negeri. Pahlawan devisa ini mampu meningkatkan PDB negara dan remitansi yang fantastis, yakni mencapai Rp218 triliun pada 2019. Bahkan menjadi sumber pemasukan nomor dua setelah migas. Jika dibandingkan dengan Tax Amnesty, dana remitansi lebih besar dan lebih pasti.
Wajarlah walaupun banyak kasus menimpa pekerja migran, namun seolah hilang tak berbekas. Walau ratusan nyawa melayang, pengiriman pekerja migran tidak dihentikan. Jika pun terjadi kasus, hanya diselesaikan dengan dibuatnya MoU antara negara pengirim dan penerima buruh migran. Kepentingan ekonomi nampak yang paling menyeruak, sedangkan kepastian hukum yang berisi jaminan perlindungan hak pekerja migran sama sekali tidak ada.

Bukan kapitalisme namanya jika tak bisa mengambil keuntungan dari berbagai kondisi, segala upaya dilakukan bahkan walaupun perempuan yang menjadi korbannya, demi mempertahankan hegemoninya. Perempuan dieksploitasi sebagai mesin penggerak ekonomi dengan dalih pemberdayaan perempuan yang menjadi jargon dari kesetaraan gender.

Khilafah Memberi Kesejahteraan dan Keamanan pada Perempuan

Negeri ini bahkan juga dunia membutuhkan suatu aturan yang bisa menjaga fitrah dan melindungi keselamatan manusia. Tentu saja aturan yang tidak dirasuki nafsu keserakahan demi kepentingan ekonomi, aturan yang memiliki supremasi hukum dan sanksi yang jelas dan tegas. Sebab sejatinya negara yang berdaulat tak akan mengorbankan harkat martabat rakyatnya demi remitansi.

Islam hadir membawa aturan yang paripurna. Aturannya dijamin sesuai dengan fitrah, memuaskan akal, dan menentramkan jiwa. Karena aturan ini berasal dari Sang Maha Pencipta yang mengetahui secara pasti dan detail terkait seluk beluk, kelemahan dan kekurangan dari makhluk ciptaan-Nya, termasuk manusia. Islam menjamin kebutuhan seluruh masyarakatnya, termasuk perempuan. Ada sosok-sosok 'berani mati' yang siap menjamin nafkah perempuan dan anak-anaknya yaitu suami, wali (bapak, kakek, saudara laki-laki dll), masyarakat juga negara. Sehingga perempuan tidak perlu repot-repot bermigrasi demi mengais rezeki. Selamanya tulang rusuk tak akan menjadi tulang punggung.
Sehingga perempuan dapat menjalankan tugas utamanya sebagai ummun warabbatul bait, penyangga keluarga dan penopang peradaban. Ikhlas mengurus suami, anak-anak dan mencerdaskan umat demi tegaknya peradaban yang luhur, Islam kafah dalam naungan Khilafah.

Islam akan memastikan pemenuhan kebutuhan pokok individu (sandang, pangan, dan papan) melalui mekanisme tidak langsung melalui kewajiban memberi nafkah yang dibebankan pada pundak laki-laki. Juga pemenuhan kebutuhan pokok kolektif (pendidikan, kesehatan, dan keamanan) melalui mekanisme langsung, negara yang menyediakan pelayanannya secara luas, murah, bahkan gratis. Islam juga akan bertindak tegas dan memberikan sanksi bagi segala bentuk kejahatan, termasuk penganiayaan dan pembunuhan dengan menerapkan qishas.
Akan tetapi semua itu hanya akan terwujud bila Islam diterapkan secara kafah dalam naungan Khilafah. Hal ini akan menjamin terselenggaranya berbagai komponen sistem kehidupan yang saling terkait. Tegaknya Khilafah adalah kewajiban sekaligus keharusan, demi terurainya berbagai problematika yang mendera negeri dan dunia ini. Marilah ikut ambil bagian dalam perjuangannya.
Wallahu ‘alam bi ash-showwab[]


Photo : Pinterest

Disclaimer: Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Previous
Perlunya Edukasi Kedisiplinan Berlalu Lintas
Next
Sadarilah Wahai Pemuda, Melek Politik Islam itu Wajib!
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram