"Menepilah lara, karena ku tak ingin hanyut bersama duka yang hampa!"
Oleh: Reni Cipto Pamungkas
NarasiPost.Com-"Menikahlah dengan Adnan, Miranti!"
"Maaf, Ma, Miranti tak bisa."
"Miranti, lihat ayahmu dan kehidupan kita! Apakah kau tak kasihan pada ayahmu? Ayahmu stroke, Miranti, dan kita miskin!"
Kembali suara Sumini menggelegar memenuhi gendang telinga Miranti.
Gadis itu menangis, tak banyak yang bisa dia lakukan. Terbayang tubuh lemah sang ayah. Kemiskinan yang mendera, tak membuatnya sanggup membawa ayahnya berobat ke rumah sakit yang layak.
"Pikirkanlah ayahmu yang terbaring lemah! Jika hanya mengandalkan gajimu sebagai seorang guru ngaji, takkan mungkin kita bisa mengobatinya.
Jangan, egois! Jika kamu menikah dengan Adnan, mama bisa memperoleh modal untuk melanjutkan bisnis mama. Kita akan bangkit dari kemiskinan ini, Mira! Pikirkanlah!"
Sumini berlalu meninggalkan sebuncah rasa tak terjawab dan segaris luka di hati Miranti.
Gadis itu menangis. Apakah dia egois jika menolak perjodohan ini? Apakah dirinya tak berhak bahagia? Apakah memang garis jalan ini yang harus ia lalui?
Beribu tanya memenuhi benak Miranti, membarengi sedu sedan air matanya.
"Menepilah lara, karena ku tak ingin hanyut bersama duka yang hampa!" sebait puisi tertulis dalam lembar diary Miranti.
Kemudian dia menutupnya, dan bergegas menemui ibunya.
Pesta yang cukup meriah tergelar di rumah Miranti. Tadi pagi, dengan lancar Adnan menyebutkan ijab kabulnya, seperti orang yang sudah terbiasa mengucapkan. Beberapa tamu berbisik, sepertinya mereka pernah melihat Adnan.
Sendu menggayut di wajah Miranti, tergantikan pucat dan senyum kaku saat melihat ibunya melotot ke arahnya.
Hari ini terasa sangat melelahkan. Hari itu juga Adnan membawa Miranti ke rumahnya.
Rumah yang mewah, tapi terkesan tertutup dengan pagar-pagar yang menjulang, dihiasi dengan kawat berduri. Rumah yang sangat besar, dan Adnan segera memintanya memasuki sebuah kamar yang berada di samping ruang keluarga.
Banyak pintu yang terlihat, mungkin setiap ruangan memiliki pintu yang tertutup … atau memang jumlah kamar yang sangat banyak.
Miranti ketakutan. Tak henti-henti bibirnya mengucap salawat dan zikir. Hatinya masih belum ikhlas menikah dengan Adnan. Memang tak ada yang ia tunggu, tapi dirinya pun masih belum siap untuk menikah.
Adnan tak banyak bicara. Dia hanya memerintahkan Miranti untuk berganti pakaian.
"Astaghfirullohal'adzim!" pekik Miranti.
Baju yang sangat ketat dengan belahan dada yang sangat terbuka. Baju itu pun sangat pendek, membuat Miranti sangat risih untuk memakainya.
Tapi bukankah kini Adnan adalah suaminya? Dan berdosa jika sampai menolak permintaanya. Kemudian Miranti meminta untuk berganti pakaian di kamar mandi yang ada di dalam kamar tersebut.
Satu persatu khimar panjangnya dilepaskan, kemudian gamis yang senantiasa melindungi tubuhnya selama ini.
"Astaghfirullohal'azim!" Sekali lagi terdengar Miranti memekik.
Banyak kamera yang sudah siap menunggunya. Beberapa orang karyawan Adnan pun terlihat di kamar itu.
Miranti ketakutan, segera ingin kembali ke kamar mandi, tapi ada seseorang yang mencekal lengannya, menariknya kasar dan melemparkannya ke tempat tidur. Cahaya kamera memenuhi ruangan berkali kali, Miranti hanya bisa menangis tak berdaya.
"Ya, Allah, tolong! Astaghfirullohal'adzim, Bang Adnan, tolong … tolong Miranti, Bang…."
Miranti berusaha bersembunyi, berlari hingga terjerembab tak berdaya. Kemudian kamar itu menjadi gelap. Orang-orang telah meninggalkannya, termasuk Adnan.
Miranti menggigil, ada rasa jijik, marah dan sesal yang bertumpah.
Rasanya seperti tak berharga, saat tubuhnya terbuka untuk banyak mata yang bukan mahram.
"Owh, ibu … inikah perjuanganku, tahukah engkau, ibu … pilunya hatiku!" ratap Miranti.
Apakah ini hanya mimpi? Mimpi yang sangat buruk. Miranti terus tersedu meratapi nasibnya yang malang. Kini Miranti, terpasung dalam kamar gelap Adnan.
Miranti masih menangis hingga pintu kamar terketuk pelan. Wajah yang tak asing menyembul dari balik pintu. Rasuna, yang datang menghampirinya. Rasuna adalah anak Bik Surti, yang dulu pernah bekerja di rumah Miranti saat kebangkrutan belum merenggut roda ekonomi keluarga Miranti.
Miranti kembali meraung pilu.
Rasuna berbisik, "Sabar, ya, Neng Mira! Kita akan keluar dari tempat ini!"
Dipakaikannya khimar dan baju hijab Miranti. Miranti tersedu tak menjawab.
Rasuna kembali berbisik, "Aku akan mencari bantuan, kau bersiaplah, jangan membuat ulah! Jangan sampai tuan Adnan ingin segera menjualmu!"
Bergidik Miranti mendengar kata-kata Rasuna. "Astaghfirullohal'azim, Yaa Allah hanya kepada Engkaulah aku berpasrah dan meminta pertolongan!"
Rasuna, mengajak Gendot pengawal kepercayaan Adnan untuk mengantarnya ke pasar dekat rumah.
Rasuna tidak ingin terlihat mencurigakan, untuk bepergian sendiri sekalipun hanya untuk membeli sepotong terasi.
Setelah membeli sayur-mayur, Rasuna mengajak Gendot ke warung Ustad Fajar. Di sana Rasuna membeli beberapa bungkus mie instan dengan harga yang pas.
Rasuna sengaja, membeli barang seharga lima puluh ribu. Sengaja juga lembaran itu ia berikan terbuka, di lipat jarinya tertulis SOS.
Ustad Fajar, yang semula tidak memahami segera tanggap. "Hafalkan surat ini, ayat ini! Resapi dengan artinya!" kata Ustad Fajar.
Rasuna mengangguk, mengucapkan terima kasih dan salam.
Gendot curiga dan bertanya, "Apa yang kalian bicarakan?"
"Owh, Pak Fajar memberikan aku ilmu untuk mengatasi gelisah di hatiku. Terus terang, aku kangen emak, Kang," jawab Rasuna.
Kemarahan dan perih di hati Miranti mulai mereda, teringat dulu nasihat Ustad Fajar.
Miranti mulai menata hati dan berfikir, bagaimana caranya untuk melarikan diri dari tempat yang mengerikan ini.
Salawat dan zikir tak pernah putus dari bibirnya, kemudian Miranti membaca Surah yang tadi diberikan Ustadz Fajar. Di akhir bacaan, Miranti menambahkan ساعدنا, كنا محبوسين yang artinya tolong kami, kami disekap.
Miranti terus membacanya dengan keras.
Gendot hendak melarang Miranti, tapi Rasuna menghentikannya. "Biar, Kang, dia hanya mengaji saja!"
Untunglah Gendot dan yang lainnya tidak memahami bahasa Arab.
Ibu Miranti terkejut, melihat berita televisi hari ini. Adnan, menantunya adalah seorang bos perdagangan manusia.
Adnan tewas tertembak saat melawan petugas. Pagi itu, Ustad Fajar dan rombongan polisi menggerebek rumah Adnan. Sudah lama polisi mencurigai aktivitas di rumah Adnan.
Rasuna, Miranti dan beberapa orang wanita yang juga disekap berhasil diselamatkan.
Sumini meratapi nasib Miranti, sangat menyesal karena telah memaksanya menikahi Adnan karena hartanya. Sumini juga menyesal telah menolak Ustad Fajar, yang hendak mengkhitbah Miranti.
Harta Adnan menyilaukan matanya, hingga berpikir takkan menguntungkan memiliki Ustad Fajar yang berjualan di pasar sebagai menantu.
Setahun berlalu. Setelah selesai mengikuti terapi psikologis, Miranti dapat kembali beraktivitas di pesantren Ustad Fajar. Sumini pun belajar mendalami Islam.
Saat Ustad Fajar menyatakan keinginannya untuk mengkhitbah Miranti, Sumini pun setuju. Miranti juga setuju.
Pernikahan sederhana digelar. Dalam balutan hijab putih, Miranti tersenyum. Miranti percaya, bukanlah harta yang akan membuatnya bahagia, tapi bait-bait adab dalam pernikahan ini, dan Ustad Fajar adalah imam yang tepat untuk keluarganya.[]
Photo : Pinterest