"Ironis, perbandingan ASN dan tenaga honorer bagai anak kandung dan anak angkat dalam kacamata negara. Padahal pekerjaan mereka sama-sama untuk kepentingan negara, yakni memberikan pelayanan untuk rakyat."
Oleh. Ita Harmi
( Kontributor Tetap NarasiPost.Com )
NarasiPost.Com-Sungguh malang hidup menjadi pekerja di lembah demokrasi. Bekerja di instansi pemerintahan zaman sekarang memang menjadi sebuah kebanggaan. Bahkan tak sedikit orang tua yang berharap anaknya akan menjadi pegawai negeri saat lulus sekolah dan kuliah. Hal ini dipicu karena adanya tanggungan gaji yang akan diterima setiap bulan seumur hidup, bahkan setelah tidak bekerja pun alias pensiun, biaya hidup masih ditanggung negara. Siapa yang tidak tergiur?
Namun, hal di atas hanya terjadi bila seseorang berstatus menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) setelah melewati masa seleksi dalam sebuah tes calon ASN. Kemudian diangkat secara sah oleh negara melalui pejabat yang berwenang dan digaji sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (Kompas, 16/1/2022)
Masih sama-sama disebut sebagai pegawai, tenaga honorer juga merupakan sebuah profesi dimana seseorang tetap bekerja dalam ruang lingkup pemerintahan seperti halnya ASN. Tapi sayang, tenaga honorer ini layaknya hanya sebatas bayang-bayang ASN. Tenaga honorer biasanya direkrut oleh pihak berwenang di sebuah instansi pemerintahan, tanpa perlu mendapatkan izin dari pemerintahan pusat. Sedangkan gajinya tak seperti ASN yang dilindungi oleh aturan perundang-undangan. Tenaga honorer digaji sesuai dengan kebijakan pejabat yang merekrutnya yang disesuaikan dengan anggaran APBN dan APBD. (Kompas, 16/1/2022)
Alhasil, status dan gaji tenaga honorer bukanlah termasuk dalam tanggung jawab negara secara perundang-undangan, melainkan kebijakan pejabat berwenang setempat secara sukarela. Tidak ada pula regulasi tentang pembiayaan pensiun, dan mereka sewaktu-waktu bisa dicopot dari pekerjaannya. Sementara tentang bobot pekerjaan, tenaga honorer memiliki bobot pekerjaan yang sama dengan ASN.
Ironis, perbandingan ASN dan tenaga honorer bagai anak kandung dan anak angkat dalam kacamata negara. Padahal pekerjaan mereka sama-sama untuk kepentingan negara, yakni memberikan pelayanan untuk rakyat. Pilunya menjadi tenaga honorer belum berhenti sampai di situ. Dalam maklumatnya, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan RB), Tjahjo Kumolo, baru-baru ini mengumumkan bahwa tenaga honorer akan segera dihapus. "Sesuai UU ASN, paling lambat 2023, status pegawai pada instansi pemerintah hanya ada dua pilihan, yaitu PNS atau PPPK" kata Tjahjo dikutip dari Kompas (14/1/2022).
Begitulah pengaturan pegawai dalam birokrasi demokrasi. Bagaimana tidak bisa disebut malang bila berada di posisi tenaga honorer saat ini? Nasib mereka sungguh horor bila dihadapkan dengan beratnya realita kehidupan saat ini. Bekerja bertahun-tahun tanpa tanggung jawab dari negara, justru negara memupus harapan para tenaga honorer dengan menghapus pekerjaan yang menjadi sumber penghidupan mereka.
Demokrasi memang tidak menjamin kebahagiaan. Asas manfaat yang mendasari pandangan ini menjadikan tenaga manusia bisa diperas sepuasnya, berbanding terbalik dengan upah yang diterima. Di saat manfaat berkurang, maka kebutuhan atas tenaga mereka juga menghilang. Tenaga honorer tak ubahnya seperti buruh di instansi pemerintahan. Tenaganya bahkan sering dimanfaatkan oleh para oknum ASN untuk menggantikan pekerjaan inti mereka. Padahal sedari awal, para ASN sudah digaji negara untuk menunaikan kewajibannya.
Sebagai perbandingannya saja, untuk ASN di kalangan tenaga pendidik di DKI Jakarta mengantongi gaji hampir Rp15 juta per bulan. Hal ini diutarakan oleh Didi Suprijadi selaku Ketua PB PGRI, "Gaji guru di Jakarta bisa sampai Rp15 juta, pendapatan seluruhnya. Jadi gaji pokok Rp5 juta untuk golongan 4. Kemudian ditambah dana sertifikasi sebesar satu kali gaji. Ditambah lagi Tunjangan Kinerja Daerah (TKD) rata-rata Rp7 juta, kalau kepala sekolah malah bisa Rp18 juta". (Liputan6.com, 25/11/2018)
Sementara di saat yang sama, tenaga pendidik honorer hanya diupah dengan gaji kisaran Rp500 ribu sampai Rp200 ribu per bulan. Berbeda daerah, berbeda pula besaran upah para honorer. Sesuai dengan APBD daerah setempat. Bayangkan bila ada tenaga honorer yang bekerja di daerah pelosok? Bahkan tak sedikit dari mereka yang bekerja tak jauh bedanya seperti relawan, tanpa gaji. Apakah kondisi ini layak dipertahankan?
Seandainya saja umat ini mau mengalihkan sedikit pandangannya, maka mereka akan mengetahui bahwa di sisi lain ada Islam sebagai solusi problematika kehidupan. Solusi yang selama ini jarang dilirik, melainkan justru dikubur dalam ruang masa dan dikaburkan keagungannya.
Dalam konsep Islam, tidak ada pegawai negara dengan status ASN ataupun honorer. Semua pekerja yang bekerja untuk kelangsungan birokrasi pemerintahan merupakan pegawai yang berada dalam tanggung jawab negara. Seluruh pegawai yang bekerja pada negara (Khilafah) diatur sepenuhnya di bawah hukum-hukum ijarah (kontrak kerja). Mereka mendapatkan perlakuan yang adil sesuai hukum syariat. Hak-hak mereka sebagai pegawai, baik pegawai biasa maupun yang memiliki jabatan khusus, dilindungi oleh Khilafah. Mereka bekerja sesuai dengan bidang masing-masing dan selalu memperhatikan hak dan kewajiban sebagai pegawai negara.
Para pegawai negara bertugas melayani urusan-urusan rakyat, sesuai dengan tugas dan fungsi mereka di masing-masing departemen, jawatan, dan unit. Mereka tidak dibebani dan dituntut untuk melakukan tugas-tugas di luar tugas yang telah diakadkan dalam akad ijarah.
Hak-hak mereka sebagai pekerja dipenuhi dan dilindungi sepenuhnya oleh Khilafah. Dampaknya, seluruh pelayanan urusan dan kepentingan rakyat berjalan dengan mudah, cepat, dan dengan hasil yang sempurna. Kelangsungan roda pemerintahan akan terjaga. Kesejahteraan dirasakan oleh warga negara yang akan mengalir hingga ke seluruh umat manusia. Karena seluruh pegawai negara bekerja tidak sekadar ingin mendapatkan upah. Lebih dari itu mereka memahami bekerja melayani urusan rakyat merupakan ibadah yang memiliki banyak keutamaan. Sebagaimana sebuah atsar dari Rasulullah, "Siapa saja yang berusaha memenuhi kebutuhan saudaranya, maka Allah akan memenuhi kebutuhannya. Siapa saja yang menghilangkan kesusahan dari seorang muslim, maka Allah akan menghilangkan salah satu kesusahannya dari kesusahan-kesusahan di Hari Kiamat." (HR al-Bukhari dan Muslim)
Negara juga tidak diperbolehkan menunda pemberian upah para pegawainya. Ini berdasarkan perkataan Nabi yang mulia, sholallahu 'alaihi wassalam. Dari Abdullah bin Umar, Nabi saw. bersabda, "Berikan kepada seorang pekerja upahnya sebelum keringatnya kering," (HR. Ibnu Majah, sahih). Maknanya adalah bersegera dalam menunaikan hak si pekerja setelah selesainya pekerjaan, termasuk bila telah ada kesepakatan pemberian gaji setiap bulan.
Demikianlah Islam mengatur tata kelola kepegawaian dalam pemerintahan. Seluruh aturan terintegral dengan nilai ruhiyah, terhubung dengan ketaatan total terhadap Allah Swt sebagai Pemilik Kehidupan. Tidak ada yang dizalimi, tidak ada sistem kasta, dan kesejahteraannya dijamin sepenuhnya oleh negara. Bandingkan saja dengan pengelolaan yang diberikan oleh demokrasi. Bagai langit dan bumi. Anehnya, masih saja banyak yang mendukung dan mengokohkan demokrasi sembari merendahkan dan menista Islam yang memuliakan kehidupan manusia. Oleh sebab itu, bergeraklah menuju arah perubahan untuk mencapai kegemilangan, sebagaimana kegemilangan yang dipertahankan Islam selama 13 abad lebih lamanya.
Wallahu a'lam bishowab.[]