Masalah yang menimpa perempuan diklaim oleh kaum feminis sebagai akibat dari keterbelakangan kaum perempuan, sebagai akibat tatanan kehidupan masyarakat yang bersifat patriarki, terkungkung dengan ide-ide teologis yang memosisikan perempuan menjadi tidak punya peran dalam sektor publik. Ini yang sering menjadi tuduhan sebagai pangkal persoalan perempuan.
Oleh. Ummu Rahmanuha
NarasiPost.Com-Perbincangan tentang perempuan selalu menarik untuk dibahas. Betapa tidak, di tengah-tengah gencarnya upaya pemberdayaan perempuan , ternyata masih banyak problematika perempuan yang belum juga beranjak dari keterpurukannya. Kemiskinan, kekerasan yang senantiasa lekat dengan kehidupan mereka. Tak hanya itu, ada juga kekerasan seksual, diskriminasi, kemiskinan dan persoalan-persoalan perempuan lainnya yang diklaim sebagai masalah perempuan.
Berbagai upaya untuk menyelesaikan persoalan banyak ditawarkan oleh berbagai organisasi perempuan, baik LSM Perempuan, Komnas Perempuan bahkan negara pun ambil peran dalam masalah perempuan ini. Hampir 8 tahun yang lalu masalah kekerasan seksual terhadap perempuan diajukan dan sudah dibuat dalam bentuk RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PK-S), sebagaimana yang disampaikan oleh Komisioner Komnas Perempuan Theresia Iswarini, "Komnas Perempuan mengapresiasi DPR RI yang telah menetapkan RUU PKS dalam Prolegnas Prioritas 2021. RUU PKS diusulkan sejak 2012, artinya, pengesahannya sudah 8 tahun ditunda," (detikNews,15/1/2021).
Selain dari Komnas Perempuan, Wakil Presiden Ma'ruf Amin juga menyatakan menjamin komitmen pemerintah untuk mencegah terjadinya kekerasan dan perlakuan diskriminatif terhadap perempuan. Karenanya, Ma'ruf mengajak kepada semua pihak untuk bekerja sama mewujudkan komitmen tersebut.(Liputan6.comvember 2020)
Masalah yang menimpa perempuan diklaim oleh kaum feminis sebagai akibat dari keterbelakangan kaum perempuan, sebagai akibat tatanan kehidupan masyarakat yang bersifat patriarki, terkungkung dengan ide-ide teologis yang memosisikan perempuan menjadi tidak punya peran dalam sektor publik. Ini yang sering menjadi tuduhan sebagai pangkal persoalan perempuan.
Untuk keluar dari kondisi tersebut kaum feminis senantiasa menyerukan upaya perubahan bagi kaum perempuan. Mereka membawa perempuan masuk ke sektor publik yang awalnya hanya untuk kaum laki-laki dengan ide kesetaraan gendernya.
Jika kita telisik lebih jauh sebenarnya masalah perempuan bukan bermuara pada perempuan yang dianggap sebagai kaum terbelakang karena tidak mampu mengakses urusan publik sebagaimana kaum laki-laki. Akan tetapi sistem kapitalis yang melahirkan kesenjangan sosial, kemiskinan dan keterpurukan masyarakat, bakan hanya kaum perempuan. Dalam hal ini tidak ada pilihan lain sehingga perempuan terpaksa harus keluar membantu mencukupi kebutuhan hidup. Namun karena kemiskinan yang mendera, pendidikan yang sangat minim, akhirnya banyak kaum perempuan harus rela mengadu nasib ke luar negeri, menjadi tenaga-tenaga buruh bahkan menjadi pembantu rumah tangga yang sangat jauh dari jaminan keamanan dari para majikan yang tidak paham cara memperlakukan perempuan.
Banyak juga perempuan yag bekerja pada sektor-sektor yang jauh dari fitrahnya sebagai perempuan. Ketika para tenaga kerja perempuan maupun pembantu rumah tangga mendapat perlakuan tidak adil, pelecehan seksual, kekerasan fisik, bahkan sampai pembunuhan, mereka lemah dan tidak mampu berbuat apa-apa. Masalah ini menjadi masalah mendasar para pegiat gender dan kaum feminis untuk terus menuntut pengesahan regulasi tentang masalah kekerasan seksual yang kian marak menimpa peremuan.
Masalah ini sebenarnya bisa terselesaikan manakala pemerintah hadir dan memberikan solusi yang komprehensif tidak hanya membuat regulasi tentang perlindungan pada perempuan, tapi lebih melihat permasalahan yang sistemik yaitu permasalah manusia yang satu sama lain saling terkait. Misal penafkahan di bebankan pada kaum laki-laki. Sehingga pemerintah harus mampu menyediakan lapangan kerja seluas-luasnya agar tidak membebankan pada perempuan. Adapun ketika perempuan bekerja bukan posisi sebagai pencari nafkah, tapi lebih kearah mengembangkan ilmu dan ketrampilan.
Tingginya kekerasan seksual pada perempuan tidak lebih karena abainya pemerintah dalam mengatur urusan rakyatnya. Hal ini terjadi karena sistem sekuler kapitalis yang besifat materialistik memisahkan aturan agama dari kehidupan. Masalah perempuan tidak akan muncul manakala kewajiban nafkah dibebankan pada kaum laki-laki dengan kemudahan memperoleh pekerjaan, baik industri, petanian maupun pekerjaan-pekerjaan lain yang dapat dicukupi oleh kaum laki-laki sehingga perempuan tidak harus ditarik ke publik sebagai pelaku pencari nafkah.
Jika hal itu terjadi, maka perempuan mampu menjalankan fitrahnya sebagai ibu yang dapat maksimal mengurus anak-anak dan rumah tangga. Jauh dari ancaman, kekerasan, pelecehan seksual bahkan pembunuhan. Semua itu hanya ada ketika pemerintah menerapkan aturan Islam dalam seluruh aspek kehidupan. Dengan aturan yang komprehensif dan menyeluruh pasti dapat menyelesaikan berbagai problematika yang ada dalam kehidupan ini, tidak hanya masalah perempuan.
Wallahu a’lam.[]
Photo : Pinterest