Para peneliti Oxfam menghitung, kekayaan 10 orang super kaya tersebut jika dijumlah akan cukup untuk mencegah siapapun jatuh miskin, plus membayari vaksin Covid-19 untuk semua penduduk dunia
Oleh. Dewi Purnasari
(Aktivis dakwah politik)
NarasiPost.Com-Oxfam, dalam laporannya berjudul “The Inequality Virus” menyampaikan tentang jurang kesenjangan ekonomi yang terjadi di setiap negara secara serempak. Kesenjangan ini semakin menganga sejak terjadinya pandemi Covid-19 yang melanda dunia. Dalam acara virtual “Dialog Davos” yang diadakan oleh forum ekonomi dunia, dibahas seputar krisis ekonomi akibat Covid-19 yang semakin memperburuk kesenjangan ekonomi.
Dialog Davos yang dihadiri oleh para pemimpin dunia, merilis laporan bahwa bagi 1.000 orang terkaya di dunia, kerugian finansial yang diperoleh selama sembilan bulan pandemi dapat ditutupi hanya dalam waktu satu bulan saja. Tetapi bagi penduduk miskin, butuh waktu lebih dari satu dekade untuk memulihkan kondisi ekonomi mereka.
Filosofi ekonomi iapitalis hanya berpihak pada para cukong, sehingga mereka bisa tetap kuat secara ekonomi selama masa pandemi sekalipun. Mereka bahkan tetap bisa menjalani gaya kehidupan kelas atas seperti biasa. Sedangkan mereka yang terpaksa menghadang pandemi demi idealisme dan perut yang lapar, contohnya tenaga medis, pegawai rendahan, pedagang kecil, dan buruh kasar, tetap tercekik karena kewajiban membayar tagihan-tagihan yang membumbung tinggi.
Para pekerja rendahan yang jumlahnya paling banyak di seluruh negara telah kehilangan pekerjaan selama masa pendemi. Para perempuan yang ikut mencari nafkah untuk bisa mencukupi kebutuhan keluarga juga tak luput dari Pemutusan Hubungan kerja (PHK), sehingga menambah penderitaan mereka dari sisi kecukupan ekonomi. Gelombang PHK yang luar biasa ini tak dapat diatasi oleh para pemangku kebijakan negara. Akhirnya kondisi dalamnya jurang kemiskinan ini mau tidak mau harus menjadi perhatian serius para ekonom dunia. Mereka berupaya mencari solusi yang paling tepat untuk mengatasi kondisi mengerikan ini.
Menurut data Bank Dunia, Oxfam memperkirakan tingkat kemiskinan global di tahun 2030 akan lebih tinggi dibandingkan kondisi ekonomi sebelum pandemi. Diperkirakan 3,4 miliar penduduk akan hidup dengan penghasilan 5,5 dollar AS perhari. Sedangkan diperkirakan dibutuhkan lebih dari satu dekade untuk bisa kembali kepada keadaan ekonomi sebelum pandemi.
Sementara itu, di tengah kondisi ekonomi dunia yang mengerikan ini, ternyata kekayaan kolektif miliarder dunia justru mengalami peningkatan 3,9 triliun dollar AS selama pandemi. Menurut Forbes, kekayaan bersih 10 orang terkaya dunia tahun 2020 naik 540 miliar dollar AS. Di antara 10 orang terkaya di dunia ini adalah: Jeff Bezos, Elon Musk, CEO LVMH Bernard Arnault, CEO Microsoft Bill Gates, CEO Facebook Mark Zuckerberg, Alice Walton bos waralaba Walmart, dan pengusaha peternakan babi asal China Qin Yinglin,
Para peneliti Oxfam menghitung, kekayaan 10 orang super kaya tersebut jika dijumlah akan cukup untuk mencegah siapapun jatuh miskin, plus membayari vaksin Covid-19 untuk semua penduduk dunia. Oxfam juga menghitung, bahwa pajak atas kekayaan dari 32 perusahaan multinasional dunia akan cukup untuk memberikan tunjangan bagi para pengangguran plus dukungan keuangan bagi semua anak dan lansia di seluruh negara miskin dan berkembang.
Kondisi kesenjangan ekonomi yang luar biasa juga melanda Indonesia. Tercatat, kekayaan empat orang terkaya di negeri ini setara dengan kekayaan 100 juta penduduk Indonesia. Bahkan selama pandemi, kekayaan R. Budi Hartono dan Michael Hartono, bos perusahaan Djarum dan BCA, keluarga Widjaja bos Sinar Mas, Edddy Kusnadi bos Emtek e-commerce and Streaming, dan Irwan Hidayat bos Sido Muncul justru mengalami peningkatan. Lonjakan pendapatan mereka bahkan ditaksir mencapai hampir 80 persen dari biasanya.
Dalam pengaturan terkait mengatasi kesenjangan ekonomi menurut Islam, ada salah satu mekanisme yang bisa ditempuh, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman, yang artinya:
“Apa saja harta rampasan (fai’) yang diberikan Allah kepada Rasulnya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota, maka adalah untuk Allah, untuk rasul, Kaum kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, dan orang-orang yang dalam perjalanan (ibnu sabil), supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah, dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah amat keras hukumannya.”
(QS. Al-Hasyr: 7).
Ibnu Abbas dalam tafsirnya terkait ayat di atas menyatakan, bahwa harta fai’ adalah hak Allah dan RasulNya yang membagi-bagikannya. Setelah Rasulullah wafat, maka wewenang membagikannya berada di tangan para khalifah sesudahnya. Harta fai’ adalah harta kekayaan yang didapat dari orang-orang kafir tanpa melalui peperangan. Harta ini berhak dimiliki kaum Muslim atas izin Allah. Pembagian harta fai’ ini harus merata hingga kepada semua fakir miskin, dan orang-orang yang membutuhkan seperti disebutkan dalam Surah Al-Hasyr ayat 7 di atas.
Fakir miskin, anak yatim, ibnu sabil dapat mempergunakan harta pembagian negara ini untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Kemudian sebagiannya dapat pula mereka gunakan untuk modal usaha. Sementara dari pembagian harta fai’ tersebut sebagiannya juga dapat dimasukan ke dalam kas negara untuk membiayai kemaslahatan warga negara di dalam daulah Islam. Untuk kemaslahatan, contohnya untuk biaya mengatasi pandemi, biaya pembangunan sarana dan prasarana yang dibutuhkan oleh warga negara, dan lain-lain.
Allah melarang harta tersebut berputar-putar di kalangan orang kaya saja, sehingga menimbulkan kesenjangan ekonomi. Maka mekanisme pembagian harta fai’ ini harus didasari oleh filosofi kepengurusan (ri'ayah) khalifah terhadap rakyatnya. Jika mekanisme pembagian harta ini dilakukan oleh pemimpin yang berpegang pada filosofi mencari keuntungan pribadi semata, maka jelas hal ini diharamkan. Apalagi kalau pemimpin (seperti di sistem demokrasi) memberlakukan kebijakan ekonomi berdasarkan kapitalisme yang hanya pro kepada para cukong domestik dan asing. Maka hal ini dipastikan pelarangannya oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. []