Saat Matematika Tak Sebatas Deretan Angka

Matematika tak sebatas angka

Kecintaan terhadap ilmu bergeser pada kecintaan yang sifatnya kebahagiaan duniawiSehingga, tak heran jika ilmu dan matematika khususnya jauh dari kehidupan kaum muslim.


Oleh. Afiyah Rasyad 
(Tim Penulis Inti 
NarasiPost.Com)

NarasiPost.Com-Satu, dua, tiga adalah angka. Empat, lima, enam juga angka, begitu seterusnya hingga terbentuk jumlah sempurna. Deretan angka dihitung sedemikian rupa dalam berbagai pola. Angka-angka itu melekat pada ilmu matematika. Dewasa ini, matematika menjadi pelajaran eksak paling misterius bagi sebagian besar siswa. Segala rupa rumus yang tersaji kerap membuat pening kepala. Sepertinya tak banyak rasa cinta siswa kepada ilmu matematika. "Lain lubuk, lain belalang," lain Indonesia, lain Singapura. Di negeri tetangga itu, rasa cinta telah ditumbuhkan sejak usia dini terhadap matematika. 

Saat Siswa Singapura Bersahabat dengan Matematika
Menurut KBBI, matematika adalah ilmu tentang bilangan, hubungan antara bilangan, dan prosedur operasional yang digunakan dalam penyelesaian masalah mengenai bilangan. llmu matematika di sebagian besar bangku sekolah dikenal juga dengan pelajaran berhitung ataupun aljabar yang menakutkan. Namun di Singapura, pandangan itu bisa dipatahkan. Bahkan, Matematika Singapura mulai mendunia saat ada seorang siswanya berhasil meraih poin tertinggi dalam sebuah program internasional yang telah diselenggarakan.

Singapura menyabet peringkat teratas dalam bidang matematika, membaca, dan sains di antara para siswa sekolah di dunia yang mengikuti tes Pisa pada 2022. Pisa (Programme for International Student Assessment/Program untuk Ujian Siswa Internasional) adalah sistem peringkat dalam standar edukasi 15 tahun yang diperkenalkan Organisasi untuk Pengembangan dan Kerja Sama Ekonomi (OECD). Salah satu dari tiga topik utama dalam Pisa 2022 adalah matematika (bbc.com, 9/12/2023).

Apa yang diraih Singapura adalah suatu hal yang sangat wajar karena siswa dibiasakan cinta dengan ilmu. Selain itu, pendidikan begitu diperhatikan agar generasinya memiliki intelektual yang bermutu. Masih dilansir dari bbc.com, sejak tahun 1980-an, Kementerian Pendidikan Singapura telah sibuk menerapkan metode Matematika Singapura untuk sekolah-sekolah publik di sana. Sebab, pemerintah negeri Singa itu meyakini bahwa matematika memiliki peranan penting dalam membekali anak agar bisa berpikir secara logis dan analitis. Sejak usia muda, anak-anak Singapura belajar cara untuk mengembangkan proses matematika kritis, seperti penalaran, komunikasi, dan pemodelan.

Keseriusan pemerintah Singapura dalam menempa anak dalam bidang keilmuan, termasuk matematika membuahkan hasil istimewa. Bersahabat dengan ilmu dan matematika sejak dini sudah menjadi hal yang biasa. Dorongan rasa cinta yang mungkin awalnya dipaksa justru menggiring siswa Singapura menjadi juara dalam Pisa dan mungkin dalam kehidupan mereka yang sesungguhnya.

Matematika di Negeri Khatulistiwa

Angka tiga ratus sekian menjadi skor siswa Indonesia dalam ajang bergengsi Pisa. Skor itu masih jauh di bawah rata-rata. Dalam ilmu lainnya juga sama. Capaian skor yang di bawah rata-rata, termasuk dalam matematika sudah terjadi berulang kali dalam tes Pisa.

Dilansir Kompas.id (11/12/2023), skor Indonesia di bidang matematika 366 (rata-rata global 472), di bidang literasi 359 (rata-rata global 476), dan di bidang sains 383 (rata-rata global 485). Hal ini tentu memprihatinkan karena selama 20-an tahun, sejak Indonesia berpartisipasi dalam tes PISA pada 2000, ternyata tidak ada perubahan berarti bagi siswa-siswa Indonesia.

Apa yang diraih Singapura sepertinya memerlukan kerja ekstra keras bagi negeri Khatulistiwa ini untuk meraihnya. Sudah tiga dekade lebih Singapura menerapkan metode matematikanya sendiri, sementara negeri ini baru bergeliat. Selama ini, tampaknya matematika hanya menjadi deretan angka yang ada pada modul dan buku pelajaran saja. Padahal, matematika lebih dari deretan angka. Singapura beberapa langkah lebih maju menerapkannya dalam kehidupan nyata. 

Sejatinya, di negeri-negeri muslim berkembang, termasuk negeri berjudul Zamrud Khatulistiwa ini memiliki kultur pendidikan yang mencetak buruh. Atmosfer pendidikan yang terbentuk adalah proses transfer ilmu untuk meraih nilai akademik guna menjadi pekerja. Betapa banyak siswa yang memprioritaskan sekolah untuk mencari kerja. Budaya sekolah untuk mencari kerja seakan mendarah daging di khalayak, terutama masyarakat yang memiliki taraf berpikir menengah ke bawah.

Sekolah demi selembar ijazah menjadi potret memilukan di negeri mayoritas muslim ini. Belajar matematika hanya untuk melengkapi nilai rapor dan ijazah semata. Alih-alih mendorong siswa menjadi pakar, intelektual, ataupun cendekiawan, aplikasi ilmu dalam kehidupan nyata saja jarang dijumpai di lingkungan pendidikan.

Desain kurikulum yang tidak pernah final dan terkesan gonta-ganti serampangan membuat pendidik dan peserta didik terjebak dalam ruang ketidakpastian. Arah pendidikan dengan kurikulum yang berganti dengan begitu cepat sukses menambah polemik yang tak berkesudahan. Bidang ilmu pengetahuan, termasuk matematika dikesampingkan karena paradigma pendidikan yang condong pada berburu cuan.

Matematika di negeri Khatulistiwa seakan menjadi anak tiri, tidak ada implikasi dalam kehidupan sehari-hari. Jangankan berpikir kritis dengan matematika dalam penalaran, komunikasi, dan pemodelan seperti rancangan dan pengembangan matematika di Singapura, dorongan mencintai ilmu saja masih setengah hati. Walhasil, peserta didik pun enggan menikmati dan mencintai ilmu, termasuk matematika dengan sepenuh hati.

Kenapa Matematika Jauh dari Kehidupan?

"Tak ada asap jika tak ada api." Kiranya peribahasa itu tepat untuk menggambarkan jauhnya anak atau masyarakat dari rasa cinta pada matematika. Kurangnya antusiasme kaum muslim terhadap ilmu, termasuk matematika bukan tanpa sebab. Hal itu karena ada pergeseran cara pandang tentang kehidupan. Lebih tepatnya, adanya ideologi kapitalisme yang saat ini menguasai dunia justru menjauhkan kaum muslim dalam lingkaran ilmu, wabil khusus matematika.

Tatanan kehidupan kapitalisme menjadikan individu, masyarakat, dan negara sibuk mengumpulkan materi sebagai standar kebahagiaan berdasarkan asas manfaat. Sebagian besar negeri muslim dilumpuhkan pola pikir dan pola sikapnya dengan serangan pemikiran. Meski wilayah Khatulistiwa dekat dengan Singapura, budaya cinta ilmu tak lantas menular begitu saja.

Pola perlakuan sistem kapitalisme pada negeri muslim dan negeri nonmuslim tidaklah sama. Singapura menjadi negara maju dengan disiplin tinggi karena ada dukungan adidaya yang merajai kapitalisme. Sementara di negeri muslim, adidaya akan mengeksploitasi segala sumber daya alam. Begitu juga dengan sumber daya manusia, mereka hanya akan menjadi tenaga kasar alias buruh di negeri sendiri. Sementara tugas negara dalam menjamin kebutuhan pokok rakyat, termasuk pendidikan dilenyapkan tanpa jejak.

Kendali kapitalisme dalam mencengkeram negeri muslim amat kuat dan zalim. Gurita paradigma ketidakmampuan berpikir atas kaum muslim sudah menjadi rahasia umum. Negeri Khatulistiwa dengan budaya baca yang sangat rendah dan pola pendidikan yang kacau balau menjauhkan siswa dan masyarakat pada umumnya dari mendalami ilmu untuk kebermanfaatan hidup dunia akhirat. Lingkungan pendidikan hanya jadi formalitas untuk mencari pekerjaan sesuai level pendidikan.

Gaya hidup ala Barat tidak dibarengi dengan peningkatan intelektualitas sudah lazim terjadi di negeri muslim. Kecintaan terhadap ilmu menurun drastis, bergeser pada kecintaan yang sifatnya kebahagiaan duniawi (perkara kebutuhan leher ke bawah). Sehingga, tak heran jika ilmu dan matematika khususnya jauh dari kehidupan kaum muslim. Maka dari itu, sosok ilmuwan muslim saat ini sulit dijumpai.

Saat Matematika Tak Sebatas Deretan Angka

Dahulu, sebelum runtuh masa kejayaan Islam, ilmu pengetahuan sangatlah berharga dan matematika tak sebatas deretan angka. Mayoritas kaum muslim kala itu mencintai ilmu karena dorongan keimanan. Wajar jika banyak ilmuwan muslim dijumpai di masa kekhilafahan. Ahli matematika bahkan berasal dari kaum muslim. Muhammad bin Musa Al-Khawarizmi adalah tokoh ilmuwan muslim. Sepanjang sejarah manusia, beliau dikenal sebagai ahli matematika dan mendapat julukan Bapak Al-Jabar karena beliaulah pengarang kitab Al-Jabar wal Muqabalah. Beliau pula yang menemukan angka 0.

Matematika tak sebatas deretan angka di masa kekhilafahan. Ilmu matematika adalah ilmu terapan yang digunakan dalam kehidupan nyata. Di masa kekhilafahan, kaum muslim terjaga suasana keimanannya sehingga mereka menuntut ilmu agar menjadi ahli dan bisa menebar rahmat dengan ilmu yang dimiliki. Apalagi Khilafah sangat mendorong seluruh rakyat untuk menempa diri dalam lautan ilmu.

Tinta emas sejarah membuktikan lahirnya para ilmuwan muslim di masa kejayaan Islam. Al-Khawarizmi sendiri adalah intelektual muslim yang berkilau di masa Khilafah Abbasiyah. Beliau belajar dan mengembangkan matematika dengan jaminan dan dukungan dari negara. 
Perhatian besar Khilafah pada bidang ilmu menjadikan matematika memiliki pengaruh besar di dunia hingga saat ini, termasuk dalam ruang maya, seperti algoritma yang digunakan sejumlah aplikasi dan platform media. Algoritma ini juga diprakarsai oleh Al-Khawarizmi. Bidang ilmu pengetahuan dan teknologi di masa kekhilafahan menjadi dasar-dasar teknologi mutakhir yang ada di dunia saat ini, bahkan hampir seluruhnya berasal dari buah pemikiran para ulama dan ilmuwan-ilmuwan Islam. Jasa besar ilmuwan muslim itu tak akan terkubur meski ideologi kapitalisme hendak mengaburkannya.

Demikianlah perjalanan matematika yang tak sebatas deretan angka. Matematika merupakan ilmu yang diperlukan dalam kehidupan ini. Namun demikian, agar matematika kembali dicintai dan dikuasai oleh kaum muslim, perlu adanya institusi Khilafah untuk menjamin pemenuhan pendidikan dengan fasilitas yang layak, canggih, dan juga gratis. Saatnya kaum muslim menaati titah Baginda Nabi Muhammad saw. untuk menjalani kehidupan dengan lentera ilmu. Sebagaimana perkataan Imam Syafi'i,

ﻣَﻦْ ﺃَﺭَﺍﺩَ ﺍﻟﺪُّﻧْﻴَﺎ ﻓَﻌَﻠَﻴْﻪِ ﺑِﺎﻟْﻌِﻠْﻢِ، ﻭَﻣَﻦْ ﺃَﺭَﺍﺩَ ﺍﻷَﺧِﺮَﺓَ ﻓَﻌَﻠَﻴْﻪِ ﺑِﺎﻟْﻌِﻠْﻢِ، ﻭَﻣَﻦْ ﺃَﺭَﺍﺩَﻫُﻤَﺎ ﻓَﻌَﻠَﻴْﻪِ ﺑِﺎﻟْﻌِﻠْﻢِ

“Barang siapa yang menginginkan dunia maka hendaklah berilmu. Barang siapa yang menginginkan akhirat, maka hendaklah dengan ilmu. Barang siapa yang menginginkan keduanya, maka hendaklah dengan ilmu.”

Penutup

Tak ada daya dan upaya kecuali dengan bersandar pada Allah. Jelas Khilafah yang menerapkan hukum-hukum Allah melahirkan peradaban muslim yang gemilang dengan eksistensi ilmuwan muslim, wabil khusus matematika. Oleh karena itu, kaum muslim harusnya sadar untuk menaikkan level berpikir dengan mencintai dan menguasai matematika bukan sebatas mengetahui deretan angka. Lebih dari itu, untuk mewujudkan cinta yang paripurna pada matematika, perlu hadirnya institusi Khilafah. Hanya Khilafah yang akan mampu memosisikan matematika sebagai ilmu terapan yang diminati dan dicintai kaum muslim sehingga mampu menjadikan ilmu matematika itu sebagai sarana dakwah yang bisa mengalahkan kaum kafir. Allah Taala berfirman,

هُوَ الَّذِيْٓ اَرْسَلَ رَسُوْلَهٗ بِالْهُدٰى وَدِيْنِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهٗ عَلَى الدِّيْنِ كُلِّهٖۙ وَلَوْ كَرِهَ الْمُشْرِكُوْنَ

"Dialah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang benar, untuk memenangkannya di atas segala agama meskipun orang-orang musyrik membencinya." (QS. Ash-Shaf: 9)

Wallahu a'lam bishawab.[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Penulis Inti NarasiPost.Com
Afiyah Rasyad Penulis Inti NarasiPost.Com dan penulis buku Solitude
Previous
Memahami Peran Politik Islam untuk Mencabut Virus Politik Demokrasi 
Next
Challenge NP Warnai Goresan Penaku
5 1 vote
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

6 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
Wiwik Hayaali
Wiwik Hayaali
9 months ago

Di Indonesia, matematika menjadi momok yang sering membuat siswa mengeluh. Bahkan, banyak dari siswa mengatakan matematika adalah pelajaran sulit.

Afiyah Rasyad
Afiyah Rasyad
Reply to  Wiwik Hayaali
9 months ago

Bahkan banyak teman saya saja dulu yang melihat cover modalnya saja sudah mual.

Sartinah
Sartinah
9 months ago

Nah, iya. Kenapa matematika menjadi pelajaran yang banyak dihindari siswa saat ini ya. Memang kurikulum pendidikan yang tidak baku saat ini membuat ilmu hanya sebatas ditransfer saja. Aplikasinya minim. Pingin juga saya pintar matematika, hehe ...

Afiyah Rasyad
Afiyah Rasyad
Reply to  Sartinah
9 months ago

Kalau mengingat masa lalu, saya selalu ngawur dalam menyelesaikan soal matematika. Yang dimengerti saja yang dikerjakan benar. Hehe
Kenapa dihindari? Karena tidak ada penyadaran bahwa matematika ini salah satu ilmu yang penting dalam kehidupan nyata

Dia dwi arista
Dia dwi arista
9 months ago

Benar banget, arah pwndidikan Indonesia tidak jelas. Peserta didik hanya dibekali materi dasar agar bisa mendapat kerja. Mau lanjit ke perguruan tinggi pun masih menjadi angan. Karena tak semua bisa mengenyam pendidikan tinggi karena kesulitan ekonomi

Afiyah Rasyad
Afiyah Rasyad
Reply to  Dia dwi arista
9 months ago

Dilema pendidikan konoha, apalagi matematikanya. Hiks

bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram