Alhasil, banyak negara yang menerapkan demokrasi menjelma menjadi negara “kleptokrasi” yang dikuasai para maling dan pengkhianat rakyat.
Oleh. Muthiah Al Fath
(Tim Penulis Inti NarasiPost.Com & Penulis Meraki Literasi)
NarasiPost.Com-Korupsi menjadi hal pelik yang sulit diberantas di negeri ini. Perang terhadap koruptor yang dimulai sejak 1999 dengan terbitnya berbagai instrumen hukum pemberantas korupsi dinilai tidak efektif dan efisien. Hingga kini, jumlah tersangka atas pengungkapan kasus korupsi terus meningkat, dengan jenis dan modus yang kian beragam. Kerugian negara pun meningkat, sebab uang pengganti yang diputuskan pengadilan tak mampu menutupi.
Hari Anti Korupsi Sedunia (Hakordia) yang diperingati setiap 9 Desember tinggal menghitung hari. Pada detik-detik momentum Hakordia tersebut, Kepala BPKH Fadlul Imansyah menegaskan komitmennya untuk menjunjung tinggi integritas dengan menjadikan Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) sebagai lembaga transparan yang bebas korupsi. (Liputan6.com, 3/12/2023)
Hanya saja, peringatan Hakordia tidak akan berefek apa-apa jika negara belum merumuskan akar masalah korupsi, baik tingkat nasional maupun global. Jika akar masalahnya saja belum ditahu, bagaimana mau menghasilkan solusi yang tepat dan efisien? Alhasil, peringatan Hakordia hanya sebatas seremonial dan formalitas di atas kertas. Lantas, apa akar masalah korupsi dan bagaimana cara menuntaskannya?
Kasus Korupsi Terus Meningkat
Sejak lama, publik makin mempertanyakan keseriusan pemerintah dalam memberantas korupsi yang sudah membudaya di negeri ini. Bagaimana tidak, mulai dari sebelum pengesahan RKUHP hingga terbentuknya KUHP baru, hukuman pidana bagi koruptor justru makin ringan. Sungguh, hanya di dalam demokrasi, suatu tindakan korupsi malah dilindungi dan pelakunya dicarikan jalan agar menerima remisi.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa ringannya hukuman pidana koruptor tidak lepas dari kepentingan para pemangku kebijakan di negeri ini. Alhasil, hukuman korupsi akan terus dikompromikan agar pelakunya bisa bebas dari jerat hukum. Banyak kasus yang diungkap, namun tak sedikit juga kasus yang ditutupi. Sebab bukan rahasia lagi jika kinerja KPK tak pernah lepas dari konflik kepentingan, terutama masalah penanganan, pendalaman perkara, dan penelusuran jejak pihak-pihak yang tersangkut korupsi.
Bahkan KPK yang memiliki visi untuk mengungkap kasus korupsi, justru menjadi cikal bakal sarang koruptor setelah adanya revisi UU KPK 2019 lalu. Lihatlah, bagaimana Firli Bahuri selaku Ketua KPK yang seharusnya menjunjung tinggi moral dan bersih dari korupsi, malah menjadi pelaku tindak pidana korupsi. Adanya kasus ini, sekali lagi makin mengikis harapan publik kepada KPK untuk menjadi garda terdepan dalam memberantas korupsi.
Sejak lama, KPK kerap kali tebang pilih dalam tugasnya, terutama jika menangani kasus berskala gigantik yang bersinggungan dengan orang pertama RI atau para elite negeri ini. Akibatnya, banyak kasus korupsi yang belum menemukan titik akhir, seperti skandal Bank Century, korupsi dana haji Kemenag 2011-2013, kasus pengadaan e-KTP, dll.
Publik pun diperlihatkan banyaknya kasus-kasus korupsi yang tidak menimbulkan efek jera, seperti kasus yang menimpa Menteri Sosial Juliari Batubara, belum terungkapnya kasus suap Harun Masiku, pembebasan mantan Jaksa Pinangki yang terlibat kasus suap dan pencucian uang, serta keputusan pemerintah menyuntikkan dana ke Jiwasraya yang terbelit kasus korupsi triliunan rupiah. Dari sini dapat dilihat bahwa KPK maupun para penegak hukum di negeri ini, tidak lepas dari permainan kepentingan para elite politik.
Sebenarnya tidak adanya hukum jera dan adanya penolakan memberlakukan hukuman mati kepada koruptor skala besar, menjadi bukti bahwa upaya pemberantasan korupsi hanyalah bualan semata. Janji-janji penguasa tentang penguatan KPK dengan konsep revolusi mental maupun implementasinya, ternyata jauh panggang dari api.
Berdasarkan fakta, sejumlah kasus korupsi skala besar justru terjadi di era pemerintahan Jokowi. Tercatat oleh ICW pada 2022, terdapat 597 kasus korupsi yang melibatkan 1.396 tersangka, dengan total kerugian negara mencapai Rp42,747 triliun. Tidak hanya itu, TII (Transparency International Indonesia) pada 2022 juga mencatat bahwa IPK (Indeks Persepsi Korupsi) Indonesia merosot, dari 38 menjadi 34 poin dan menduduki peringkat 110 dari 180 negara.
Selama periode semester I 2023, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menerima 2.707 laporan dugaan korupsi yang sebagian besar dari lingkungan pemerintahan, khususnya di kementerian atau lembaga pemerintahan baik di tingkat provinsi, kabupaten, kota, dan BUMN maupun BUMD. Lebih lanjut, Tanak menjelaskan bahwa dari 2.707 laporan tersebut, terdapat 2.229 laporan yang lolos tahap verifikasi. Kemudian, dari 1.058 laporan yang telah ditelaah, 962 di antaranya telah dinyatakan selesai. (Katadata.co.id, 15/8/2023)
Semua fakta di atas menjadi bukti bahwa adanya lembaga antirasuah maupun adanya momentum Hakordia selama ini belum efektif mencegah dan memberantas korupsi. Pasalnya, sejak pertama kali dicetuskannya peringatan Hakordia pada Sidang Majelis Umum PBB (31/10/2003), kasus korupsi justru semakin bervariasi dan tak terkendali. Lantas, apa yang bisa kita harapkan dari adanya momentum Hakordia?
Akar Masalah Korupsi
Miris, dari tahun ke tahun, kasus korupsi mengalami peningkatan, baik dari segi jumlah laporan maupun jumlah tersangka. Seharusnya, semua ini menyadarkan para pemangku kebijakan bahwa penanganan kasus korupsi tidak bisa sekadar pada proses pengawasan, penyidikan, penuntutan, hingga eksekusi putusan. Kita semua harus menyadari bahwa ada kesalahan mendasar pada tata nilai yang mengatur kehidupan bernegara yang telah menjadikan korupsi menggurita di negeri ini.
Ideologi Barat yang sekuler dan kapitalistik berhasil menyebarkan wabah korupsi ke negeri-negeri muslim. Nilai-nilai liberal, sekuler, dan jiwa hedonis berhasil melumpuhkan dan mendehumanisasi bangunan negara, masyarakat, dan individu di negeri ini. Cara pandang sesat dan jauh dari fitrah manusia ini mampu mengubah paradigma manusia tentang kebahagiaan hidup, yakni berorientasi pada materi semata. Bukti nyata hancurnya nilai sekularisme tersebut dapat kita lihat dari menjamurnya gaya hidup mewah para pejabat yang tercermin dari koleksi barang-barang branded, jumlah kendaraan, dan mewahnya hunian mereka. Sifat tamak kekuasaan dan harta menjadi karakter yang melekat pada diri sekuler, sebab mereka merasa tidak diawasi Tuhan.
Masifnya tindakan korupsi tentu bersanding dengan sistem yang dipakai. Sejak Indonesia mengikrarkan diri memakai demokrasi maka suara rakyat mulai mengganti hukum Tuhan. Melalui pesta pemilu, segala macam cara dilakukan untuk menjaring suara rakyat. Para kandidat terpaksa mengeluarkan mahar yang fantastis untuk menarik simpati. Tak jarang, tingginya biaya politik akan menuntut adanya balik modal yang penuh konsekuensi. Konsekuensinya bisa berupa korupsi dalam bentuk uang, dan pengadaan proyek mubazir atau dalam bentuk penyalahgunaan wewenang.
Tidak mudah memberantas korupsi dalam negara yang menerapkan demokrasi-sekularisme. Sebab demokrasi yang secara teoretis mengeklaim bahwa kedaulatan di tangan rakyat, namun dalam praktiknya hukum selalu dibajak oleh segelintir para pemilik modal atau elite penguasa yang didukung para kapitalis. Di sisi lain, demokrasi yang berasaskan ideologis kapitalisme tidak memiliki konsep sahih dalam mengatur kepemilikan, sehingga pengelolaan SDA hanya terkonsentrasi di tangan segelintir orang, yakni para kapitalis. Inilah yang terjadi, di mana teoretis dan praktik dalam demokrasi selalu bertolak belakang. Alhasil, banyak negara yang menerapkan demokrasi menjelma menjadi negara “kleptokrasi” yang dikuasai para maling dan pengkhianat rakyat.
Islam Menangkal Korupsi
Jika dianalisis secara mendalam, kita akan menyadari bahwa sistem Islam memiliki mekanisme yang efektif dalam memberantas dan mencegah korupsi, bahkan menutup celah adanya keinginan/niat untuk korupsi. Berikut beberapa mekanisme sistem Islam yang efektif mencegah tindakan korupsi:
Pertama, seorang khalifah (penguasa), para wali, hakim, dan mu’awin (pembantu) khalifah tidak berhak menerima upah atas pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan. Selain itu, mereka juga dilarang terlibat dalam dua jabatan sekaligus, bahkan sekadar menjadi pebisnis atau pengusaha. Mereka hanya mendapat “santunan” sebatas keperluan hidupnya. Sebab mereka berfungsi sebagai “pelaksana hukum syarak” yang mengurus urusan rakyat, dan seharusnya tidak sempat melakukan urusan-urusan pribadi. Dengan begitu, mereka hanya terfokus pada tugas pemerintahan dan sikap condong mementingkan bisnis menjadi nihil.
Kedua, sebelum diangkat, seluruh aparat negara harus melaporkan jumlah kekayaannya terlebih dahulu. Dan senantiasa diawasi jika ada kekayaan di luar kewajaran. Begitu pula ketika masa jabatan telah selesai, jumlah kekayaan akan dihitung ulang, dan khalifah akan memasukkannya ke baitulmal jika terbukti melakukan kecurangan.
Ketiga, jika ditemukan adanya kasus korupsi maka sistem pidana Islam memiliki sanksi yang tegas, yang berfungsi sebagai zawajir (pencegah) dan jawabir (penebus dosa). Sanksi pidana Islam bagi pelaku rasuah akan disesuaikan dengan jenis dan tingkat kriminalnya, ada yang mendapat hukuman berupa peringatan, kurungan, publikasi, stigmatisasi, penyitaan harta, pengasingan, cambuk hingga hukuman mati. Selain itu, khalifah akan memecat bagi siapa saja yang terbukti melakukan kecurangan.
Demikianlah dalam penerapan sistem Islam, jabatan dianggap sebagai amanah yang jarang diperebutkan karena beratnya pertanggungjawabannya di hadapan Allah Swt. Tidak seperti demokrasi yang meniscayakan perebutan kekuasaan, sebaliknya, sistem Islam berusaha agar kursi kekuasaan tidak dimiliki orang-orang rakus.
Dalam hadis riwayat Imam Muslim, Rasulullah saw. pernah bersabda, “Demi Allah, sesungguhnya kami tidak akan memberikan jabatan bagi orang yang meminta dan yang rakus terhadapnya”.
Khatimah
Siapa pun yang memiliki hati yang ikhlas dan pemikiran yang cerdas, pasti menginginkan hukuman pidana bagi koruptor yang bersifat tegas, berefek jera, dan tidak pandang bulu. Karena itu, ramahnya hukum pidana korupsi di alam demokrasi menjadi bukti bahwa negara tidak pernah serius memberantas korupsi. Pun semangat menyambut momentum Hakordia menjadi bukti bingungnya sekularisme dalam upaya memberantas korupsi, di mana usahanya hanya sebatas seremonial dan dagelan yang tidak berefek signifikan. Sebaliknya, penerapan syariat Islam kaffah akan efektif dalam memberantas korupsi karena memiliki aturan baku yang tegas untuk menghukum para koruptor.
Wallahu a’lam bishawwab. []
Sudah jadi endemi korupsi di negeri ini. Ngeriiiii. Naudzubillah.
Harus ada perubahan mendasar memang. Tak Cukup dengan hari Antikorupsi
iya Mba, namun sayang, mayoritas masyarakat hanya memandang endemi korupsi sebagatas masalah oknumnya saja,, padahal semua ini terjadi akibat penerapan sistem yang salah.. demokrasi menjadi lahan subur para koruptor
Korupsi memang sudah seperti wabah yang terus menggurita. Mustahil korupsi bisa diberantas jika sistemnya sendirilah yang memfasilitasi merebaknya korupsi. Hari Anti Korupsi diperingati ... ah gak ada efeknya juga.
gak berefek apa2 ni peringatan Hakordia, justru korupsi makin menggurita
Masalah korupsi hanya tuntas dengan penerapan sistem Isalm kaffah dan mencampakkan sistem demokrasi. Hakordia tidak ada artinya sama sekali. Maka umat harus paham iru, dan ikut bersama memperjuangkan tegaknya sistem yang bisa menyolusi semua problem umat, termasuk masalah korupsi.
Iya Mba,, dan sudah pasti peringatan Hakordia hanya membuang2 waktu dan uang saja,, namun tetap tidak memberi efek apa2 terhadap pemberantasan korupsi.