"Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi …." (QS. Ar-Ra'd [13] ayat 96).
Oleh. Sartinah
(Tim Penulis Inti NarasiPost.Com & Penulis Bianglala Aksara)
NarasiPost.Com-Indonesia adalah negara yang sebagian besar anggaran belanja negaranya ditopang dari pajak. Selain pajak, ada pemasukan lainnya yang berasal dari sektor nonpajak yang memiliki peran serupa. Keduanya ibarat roh yang menjadi penentu hidup atau tidaknya ekonomi negeri ini. Tak heran, demi membuat ekonomi tetap bergerak, pemerintah terus menggenjot kedua sektor pemasukan negara tersebut.
Rincian PNBP
Diwartakan oleh bisnis.com (28/11/2023), pemerintah telah merilis pemasukan negara dari Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Hingga Oktober 2023, PNBP telah terealisasi sebesar Rp494,18 triliun atau berhasil mencapai Rp111,96% dari jumlah yang ditargetkan APBN 2023. PNBP tersebut ada yang berasal dari SDA (Rp214,66 triliun atau 109,53% dari target). Pendapatan SDA mayoritas disumbang oleh SDA nonmigas yakni sebesar Rp116,85 triliun atau 180,30% dari target APBN. (bisnis.com, 28/11/2023)
Sedangkan SDA nonmigas mayoritas berasal dari pertambangan minerba yang ikut berkontribusi sebesar Rp110,13 triliun atau 203,83% dari target. Adapun kontributor utama sektor pertambangan minerba berasal dari iuran produksi/royalti batu bara yakni sebesar Rp85,50 triliun.
PNBP selanjutnya berasal dari pendapatan Kekayaan Negara Dipisahkan (KND) sebesar Rp74,09 triliun atau 150,89% dari target. Kementerian Keuangan menyebut, pemasukan negara dari masing-masing sektor tersebut telah mengalami kenaikan dan mendatangkan keuntungan yang signifikan bagi BUMN, baik perbankan maupun nonperbankan.
Ketika Kemenkeu menyebut bahwa pertumbuhan ekonomi positif, lantas untuk apa saja pemanfaatan PNBP? Akankah peningkatan perekonomian tersebut berimbas pada kesejahteraan rakyat? Apa pula akar masalah pengelolaan SDA negeri ini hingga pemerintah hanya mendapatkan royalti dari pengelolaan SDA?
Akankah Rakyat Sejahtera?
Diketahui bahwa beberapa sumber pemasukan negara berasal dari penerimaan pajak dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Baik pajak maupun PNBP, keduanya memiliki kedudukan setara dalam menopang perekonomian. Hal ini dapat dilihat dari postur APBN yang telah memosisikan keduanya sebagai komponen pendapatan dalam negeri. Kemenkeu menyebut bahwa pemanfaatan PNBP tahun 2024 mendatang akan difokuskan pada peningkatan inovasi, kualitas layanan, dan menjaga kelestarian lingkungan hidup.
PNBP sendiri merupakan pungutan yang dibayarkan oleh orang atau badan yang telah memperoleh manfaat, baik langsung atau tidak langsung, atas layanan atau pemanfaatan SDA. Dengan kata lain, ini adalah hak yang harus diterima oleh pemerintah berdasarkan peraturan perundang-undangan. PNBP menjadi penerimaan pemerintah pusat di luar sektor perpajakan dan hibah yang dikelola dalam mekanisme APBN. (kemenkeu.go.id). Lantas, dengan capaian kenaikan PNBP tersebut, akankah berimbas pada peningkatan perekonomian negara dan kesejahteraan rakyat?
Tak dimungkiri, peningkatan PNBP memang turut menyumbang APBN. Sayangnya, terkadang angka-angka yang tercatat dalam lembaran kertas tak selalu linier dengan realitas. Misalnya saja APBN negeri ini yang dalam banyak indikator ekonomi menunjukkan catatan impresif. Namun, dalam realitasnya, APBN masih saja mengalami defisit anggaran. Bahkan, bisa dikatakan defisit anggaran berulang kali terjadi. Jika demikian, apakah secara riil ekonomi bisa dikatakan meningkat?
Demikian juga dengan imbas kenaikan PNBP terhadap kesejahteraan rakyat. Sejak republik ini merdeka, tidak ada rakyat yang benar-benar sejahtera, kecuali segelintir orang saja. Mereka adalah orang-orang super kaya yang hanya berjumlah sekitar 191 ribu orang (0,1%) pada laporan tahun 2021 oleh Global Wealth Databook.
Sedangkan penduduk miskin jumlahnya masih sangat banyak, yakni sebesar 25,90 juta orang pada Maret 2023. Jumlah tersebut masih hitung-hitungan di atas kertas. Bisa jadi di lapangan jumlahnya lebih banyak. Artinya, sekalipun ekonomi meningkat, tetapi tidak lantas berdampak pada kesejahteraan rakyat jika pengelolaan ekonomi negeri ini masih ala kapitalisme.
Berbicara mengenai kesejahteraan, seharusnya pemerintah tidak hanya mengukur kesejahteraan dari ukuran-ukuran ekonomi, seperti hilangnya pengangguran, kemiskinan, maupun ketimpangan. Namun, kesejahteraan rakyat juga harus dimaknai dari sudut lainnya, misalnya bagaimana kualitas hidup seluruh rakyat, tingkat pendidikan, kesehatan, tempat tinggal yang layak, jaminan keamanan, kualitas lingkungan hidup, dan lain-lain. Inilah yang tidak menjadi prioritas pemerintah.
Salah Tata Kelola
Defisit anggaran yang terus terjadi dan berbagai problem perekonomian yang menjerat negeri ini sejatinya terjadi karena salah tata kelola sumber daya yang ada. Pengelolaan SDA tersebut masih jauh dari unsur keadilan hingga tidak bisa dinikmati oleh seluruh rakyat. Sebut saja terkait pengelolaan SDA yang masih menguntungkan para kapitalis ketimbang negara atau rakyat.
Di negeri ini, pengelolaan SDA sudah sangat jauh dari cita-cita luhur para pendiri bangsa. Apalagi sejak amandemen konstitusi pada tahun 1999 hingga 2002, negara makin tidak berpihak pada rakyat dan malah memperkaya segelintir orang (para korporat). Menurut politikus, La Nyalla Mahmud Mattalitti, kesalahan sistem pengelolaan yang dipilih negeri ini menjadikan SDA justru banyak dikuasai dan dikelola oleh swasta. Padahal, menurutnya, orientasi perekonomian terhadap SDA seharusnya didasarkan pada kedaulatan negara, sebagaimana tercantum dalam Pasal 33 UUD 1945 ayat 1, 2, dan 3. (detik.com, 20/04/2022)
Sayangnya, meski sudah menjadi amanat UU, realitas yang terjadi di lapangan justru bertolak belakang. Faktanya adalah apa yang dipertontonkan hari ini oleh penguasa. Konsepsi pengelolaan SDA bukan lagi dijalankan dengan dasar kedaulatan negara, tetapi dengan pola pemberian hak konsesi tambang dan lahan hutan kepada swasta, baik lokal maupun asing. Dari pemberian hak konsesi tersebut, negara hanya mendapatkan royalti dan bea pajak ekspor ketika para pemilik konsesi menjual SDA negeri ini ke luar negeri.
Sebut saja SDA nonmigas, seperti batu bara, sawit, dll. Jumlah produksi nasional di sektor tersebut terbilang sangat besar. Untuk produksi batu bara nasional misalnya, jumlahnya mencapai 610 juta ton atau seharga US$158,6 miliar (Rp2.299 triliun). Menurut catatan pemerhati masalah energi, Salamudin Daeng, jika SDA tersebut dimiliki dan dikelola sendiri oleh pemerintah, dalam tempo beberapa tahun saja bisa melunasi utang negara seluruhnya.
Belum lagi produksi sawit yang mencapai 47 juta ton atau senilai Rp950 triliun. Jika itu dikelola secara mandiri oleh negara, hasil tersebut bisa digunakan untuk menggratiskan biaya pendidikan dan pemberian gaji guru honorer secara layak. Itu baru dua jenis saja. Bukankah Indonesia juga menjadi produsen nomor satu di dunia untuk beberapa SDA lainnya? Bisa dibayangkan, betapa besarnya pendapatan negeri ini jika SDA dikelola dengan cara yang benar.
Buah Sistem Rusak
Sayangnya, semua itu hanyalah angan-angan di negeri ini. Dari pengelolaan SDA tersebut, Indonesia justru hanya mendapatkan royalti dan pajaknya saja. Dari sektor mineral dan baru bara, menurut catatan Kementerian ESDM, PNBP yang masuk ke kas negara dari tahun 2004 sampai 2020 tidak pernah mencapai Rp50 triliun setiap tahunnya. Jumlah tersebut sudah termasuk PNBP dari tembaga, nikel, emas, perak, dan lain-lain.
Sengkarut pengelolaan SDA, baik migas maupun nonmigas sejatinya berawal dari penerapan sistem kapitalisme liberal di negeri ini. Dari rahim kapitalisme, lahirlah liberalisme yang melegalkan pengerukan SDA atas nama investasi. Sistem ini pula yang telah memberikan ruang seluas-luasnya bagi para korporat untuk memperkaya diri sendiri. Tak ada prinsip kemaslahatan rakyat dalam sistem kapitalisme. Semua hanya bermuara pada satu hal, yakni keuntungan.
Bahkan, UU yang seharusnya dibuat untuk menjaga SDA dari jarahan para kapitalis, justru dijadikan jalan untuk memudahkan mereka mengeruk aset negeri ini secara legal. Kapitalisme pula yang mejadikan penguasa dan pengusaha membangun simbiosis mutualisme di antara keduanya. Realitas ini ibarat lingkaran setan yang sulit diputus selama sistem ini masih menjadi pijakan. Satu hal yang sudah pasti, rakyatlah pihak yang menjadi tumbal dari penerapan sistem kapitalisme.
Mengelola SDA demi Kemaslahatan
Jika kapitalisme hanya melahirkan kesengsaraan dan membawa kesejahteraan bagi segelintir orang, berbeda halnya dengan Islam. Islam diturunkan untuk menjadi solusi atas seluruh problematika yang melanda manusia, baik dalam ranah individu, masyarakat, negara, termasuk bagaimana mengatur pengelolaan SDA. Satu hal yang harus diingat bahwa tujuan dari seluruh pengelolaan sumber daya alam tersebut adalah untuk mewujudkan kemaslahatan.
Islam memiliki pengaturan paripurna tentang pengelolaan SDA, termasuk sumber-sumber apa saja yang masuk ke dalam kas negara. Dengan demikian, tidak akan ada aset-aset umat yang salah kelola karena syariat Islam dijadikan sebagai rujukannya, baik dalam mengelompokkan harta milik individu, umat, dan negara. Dalam mengelola sumber daya alam, Khilafah akan mengelolanya dengan dua cara. Yakni, SDA yang langsung dapat dimanfaatkan oleh rakyat dan SDA yang tidak dapat dimanfaatkan langsung oleh rakyat.
Pertama, sumber daya alam yang langsung bisa dimanfaatkan oleh rakyat, seperti sumber air laut, padang rumput, hutan, dan sebagainya. Rakyat boleh langsung memanfaatkannya untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Negara (Khilafah) hanya akan melakukan pengawasan agar pemanfaatan SDA tersebut tidak mendatangkan kemudaratan bagi orang lain.
Kedua, SDA yang tidak bisa langsung dimanfaatkan oleh rakyat. Pasalnya, SDA tersebut membutuhkan teknologi yang canggih, tenaga ahli, dan tentu saja butuh biaya yang besar dalam pengelolaannya. Contohnya, tambang minyak dan gas. Pihak yang paling berhak mengelola SDA tersebut adalah negara, mulai dari eksploitasi, eksplorasi, hingga pendistribusiannya. Jika negara akan melakukan kerja sama dengan pihak lain, maka akad tersebut hanya boleh dalam hal kontrak ijarah atau sewa jasa. Oleh karena itu, status orang tersebut adalah sebagai buruh yang tidak punya hak untuk mengelola atau menguasai SDA milik rakyat.
Pengelolaan SDA milik umum tersebut akan dikembalikan kepada rakyat dalam bentuk berbagai pelayanan, seperti pendidikan, kesehatan, BBM, membuka lapangan kerja seluas-luasnya, dll. Selain sumber tersebut, Khilafah juga memiliki pemasukan lainnya dalam baitulmal, seperti kharaj, jizyah, fai, khumus, ganimah, dan usur, yang masuk dalam kepemilikan negara. Sumber-sumber baitulmal dari sektor tersebut akan dikelola untuk pembangunan infrastruktur, seperti jalan-jalan dan bangunan yang dibutuhkan untuk ketahanan negara dan kepentingan rakyat. Berikutnya ada pula pemasukan baitulmal dari pos zakat. Pos tersebut (zakat) hanya diperuntukkan bagi delapan asnaf (golongan) dan tidak untuk selainnya.
Dengan pengelolaan SDA berdasarkan prinsip syariat Islam, maka pemasukan APBN Khilafah sangat besar dan dapat dikatakan antidefisit. Hal ini juga akan berimbas pada kesejahteraan rakyat karena prinsip yang dianut oleh Khilafah adalah pelayanan, bukan keuntungan sebagaimana dalam sistem kapitalisme. Prinsip ini pula yang telah membawa Khilafah berhasil memimpin peradaban dunia selama 13 abad lamanya. Di bawah naungan Islam, muslim dan nonmuslim bisa hidup sejahtera.
Khatimah
Demikianlah Islam mengatur pemasukan anggaran, pengelolaan SDA, dan pendistribusiannya kepada rakyat. Dengan prinsip pengelolaan SDA sesuai syariat, maka pemasukan anggaran negara sangat besar dan cukup untuk membiayai jalannya negara serta mewujudkan kesejahteraan rakyat. Betapa besar kesalahan tata kelola SDA saat ini hingga negara hanya mendapatkan royalti atas pengelolaan SDA negeri ini. Sudah saatnya para penguasa negeri ini dan seluruh kaum muslim kembali pada Islam dan menjadikan syariatnya sebagai rujukan agar keberkahan Allah diturunkan. Hal ini sebagaimana tertuang dalam firman Allah surah Ar-Ra'd [13] ayat 96:
وَلَوْ اَنَّ اَهْلَ الْقُرٰٓى اٰمَنُوْا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكٰتٍ مِّنَ السَّمَاۤءِ وَالْاَرْضِ
Artinya: "Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi …."
Wallahu a'lam bishawab. []
Innalilahi.. kesenjangan begitu menganga di dalam demokrasi..
191 ribu orang (0,1%) orang kaya : 25,90 juta orang miskin (99,9%)
Peningkatan ekonomi yang tak diiringi peningkatan kesejahteraan kok kayaknya ada yang minsle dengan pemahaman tentang konsep ekonomi. Hiks
Hehe ... peningkatan ekonomi yang hanya di atas kertas hitung-hitungannya. Tapi secara riil, ekonomi yang dianggap meningkat gak ada efeknya untuk rakyat. Aneh memang.
Nyatanya, rakyat masih hidup susah dengan berbagai kenaikan baeang dan jasa. Lalu, ke mana larinya uang tersebut?
Betul ya, hitung-hitungan pemasukan hanya bagus di kertas, tapi nasib rakyat ya tetap aja susah.
Selama kapitalisme berdiri tegak, selamanya pula kemiskinan tak bisa diatasi.
Betul mbak, karena kemiskinan berasal dari kapitalisme sendiri.