Allah Swt. menurunkan manusia di muka bumi sebagai khalifah untuk mengurus dunia. Allah juga menurunkan aturan untuk mengurus dunia, jika aturan ini digunakan, pasti dunia dan seisinya akan terjaga, alam dan lingkungan tertata, semuanya berjalan sesuai dengan kehendak-Nya.
Oleh. Aya Ummu Najwa
(Tim Penulis Inti NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Indonesia kembali menegaskan komitmennya untuk mencapai nol emisi karbon sebelum tahun 2060. Hal tersebut sesuai pernyataan Presiden Jokowi pada KTT Pemimpin Dunia tentang Perubahan Iklim (COP28) di Plenary Al-Ghafat, Expo City Dubai, Dubai, Persatuan Emirat Arab (PEA),
“Indonesia akan terus bekerja keras demi mencapai nol emisi pada 2060, sekaligus menikmati pertumbuhan ekonomi yang meningkat, angka kemiskinan serta ketimpangan secara signifikan terus diturunkan, juga terus menciptakan lapangan kerja,” ujarnya. (kompas.com, 1/12/2023)
Selain terus meningkatkan komitmen dalam memperbaiki pengelolaan Forest and Other Land Use (FOLU), juga upaya mempercepat transisi energi menuju energi baru terbarukan. Indonesia pun terus berupaya untuk menjaga dan memperluas hutan mangrove serta memperbaiki atau merehabilitasi hutan dan lahan. Indonesia juga mencatatkan keberhasilan dalam rangka menurunkan angka deforestasi pada titik terendah dalam 20 tahun terakhir, dan membangun proyek persemaian benih dalam skala besar dengan kapasitas hingga 75 juta bibit per tahun yang sudah mulai berproduksi dengan efektif. Hal ini dilakukan sebagai upaya menuju negara makmur dengan perekonomian inklusif.
Indonesia pun telah melakukan pengembangan energi baru terbarukan terutama untuk energi surya, air, angin, panas bumi, dan arus laut. Pada segmen biodiesel, bioetanol, dan bioaftur juga dikembangkan semakin luas. Untuk mewujudkan komitmen tersebut, lagi-lagi Presiden pun mengundang berbagai pihak seperti mitra bilateral, investasi swasta, filantropi, dan negara sahabat untuk ikut andil atau mengucurkan dana demi mewujudkan nol emisi karbon pada 2060.
Upaya Pemerintah Mewujudkan Nol Emisi Karbon
Indonesia masih terus berupaya untuk mencapai targetnya dalam hal penurunan emisi gas rumah kaca, yakni sebesar 32 persen secara mandiri dan sebesar 41 persen dengan bantuan dunia internasional. Hal ini disampaikan oleh Jisman Hutajulu, Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM, "Target penurunan emisi GRK sektor energi pada 2030 yaitu sebesar 358 juta ton CO2 dengan usaha sendiri dan 446 juta ton CO2 dengan bantuan internasional dari skenario business as usual."
Lebih lanjut ia menjelaskan, untuk mewujudkan komitmen penurunan emisi gas rumah kaca, Kementerian ESDM telah bekerja sama dengan kementerian dan lembaga lain, serta stakeholder terkait. Kerja sama itu dilakukan untuk fokus melakukan pemodelan sehingga dihasilkan peta jalan transisi energi jangka panjang yang akan ditempuh Indonesia, yaitu menuju emisi nol bersih (NZE) pada 2060 atau lebih cepat.
Langkah-langkah yang dilakukan yakni dengan mempercepat pembangunan pembangkit listrik berbasis Energi Baru Terbarukan (EBT) yang interkoneksi melalui supergrid.
Langkah berikutnya adalah dengan melakukan moratorium Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) dan memensiunkannya secara dini. Pemerintah pun berencana akan menghentikan izin proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap baru setelah tahun 2025. Maka pada saat itu negara akan mengucapkan selamat tinggal pada industri batu bara nasional.
Selanjutnya adalah mendorong penggunaan kendaraan listrik serta kompor induksi secara masal kepada masyarakat. Hal ini dimulai dari gencarnya pengembangan jaringan kelistrikan untuk memastikan pengembangan EBT (Energi Baru Terbarukan). Dengan terus menjalankan langkah secara perlahan terhadap penyediaan energi khususnya listrik kepada masyarakat, yang disertai berjalannya investasi di bidang ini.
Untuk mengurangi emisi gas rumah kaca sektor energi memang bukan perkara mudah. Sebab, banyak tantangan yang dihadapi negeri ini, seperti masalah biaya proyek infrastruktur, perluasan dekarbonisasi, pengembangan teknologi, serta pengembangan kapasitas dan sumber daya manusia.
Data deforestasi Indonesia tahun 2021-2022 menunjukkan penurunan 8,4% dibandingkan hasil pemantauan pada tahun 2020-2021. Pada tahun 2021-2022 Deforestasi Neto Indonesia sendiri sebesar 104 ribu ha. Sementara tahun 2020-2021 adalah sebesar 113,5 ribu ha. Pemerintah sendiri melihat kondisi penutupan lahan dan hutan Indonesia ini bersifat dinamis, karena alasan kebutuhan lahan untuk pembangunan dan kegiatan lainnya seperti konversi hutan untuk pembangunan sektor non-kehutanan, kegiatan rehabilitasi hutan, serta perambahan dan kebakaran hutan.
Untuk menunjang program ini, pemerintah pun melakukan pemantauan deforestasi setiap tahun ke seluruh daratan Indonesia seluas 178 juta ha. Di dalam kawasan hutan maupun di luarnya, berdasarkan peta Rupa Bumi Indonesia (RBI) dalam program Kebijakan Satu Peta (KSP) untuk mengetahui keberadaan serta luas tutupan lahan berhutan ataupun tak berhutan. Pemantauan ini menggunakan data utama dari citra satelit landsat yang disediakan oleh Organisasi Penerbangan dan Antariksa (OR-PA) Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Ini menunjukkan bahwa meskipun Indonesia adalah salah satu negara dengan hutan tropis terbesar nyatanya karbon yang dihasilkan juga tinggi.
Efek Rumah Kaca
Meski dilaporkan bahwa pemerintah telah memperoleh hasil yang signifikan dalam penurunan deforestasi, nyatanya aktivitas industri masih menjadi salah satu penyumbang terbesar tingginya emisi karbon di Indonesia yang mengakibatkan banyaknya gas rumah kaca (GRK).
Efek rumah kaca sendiri merupakan fenomena alami dari gas-gas tertentu seperti karbon dioksida (CO2), metana (CH4), dan uap air (H2O), di atmosfer bumi yang menyerap dan memantulkan kembali sebagian dari radiasi panas yang dipancarkan oleh permukaan bumi. Gas-gas tersebut, bertindak layaknya “kaca” pada rumah kaca, yang membiarkan cahaya matahari masuk ke atmosfer dan menghangatkan permukaan bumi. Akan tetapi, gas-gas ini membatasi jumlah panas yang keluar dari atmosfer. Hal inilah yang menyebabkan peningkatan suhu global.
Industri di era kapitalisme yang ugal-ugalan dalam penggunaan bahan bakar fosil seperti batu bara, minyak bumi, dan gas alam hari ini telah mengakibatkan meningkatnya konsentrasi gas-gas rumah kaca dalam atmosfer. Sehingga efek rumah kaca ini menjadi semakin kuat dan mengakibatkan perubahan iklim dan mencairnya es di kutub adalah sebab terjadinya pemanasan global. Proses industri yang dapat menghasilkan emisi CO2 dan gas-gas rumah kaca tersebut contohnya adalah produksi semen, besi-baja, serta kimia lainnya.
Gas dari industri ini, yaitu asap pabrik yang mengandung karbon dioksida, karbon monoksida, gas metana, dan lainnya faktanya tidak ditampung dengan benar sehingga menyebabkan polusi udara. Padahal kadar karbon sebesar 412 bagian per juta dalam 150 tahun terakhir merupakan hasil dari aktivitas industri ini, yang menyebabkan suhu bumi naik selama kurun 50 tahun terakhir. Padahal pemanasan global akan memicu terjadinya kekeringan serta tragedi kebakaran hutan yang menyebabkan adanya kabut asap yang sangat berbahaya bagi kesehatan, bahkan membawa korban jiwa.
Para pemilik industri ini seakan tanpa dosa dan terus-menerus abai menimbulkan bahaya bagi kehidupan manusia. Di sisi lain, pemerintah terkesan abai dan kurang tegas dalam memberlakukan sanksi, telah menempatkan Indonesia pada urutan ke 6 penyumbang karbon dioksida di dunia. Pemerintah seakan tebang pilih dalam memberlakukan aturan hukum. Membiarkan pelanggaran terjadi sehingga banyak perusahaan-perusahaan yang bahkan tidak mengantongi izin serta ilegal semakin "nakal" mengeksploitasi sumber daya alam, merusak lingkungan dan membawa bahaya bagi rakyat.
Hadi Purwanto, mantan deputi advokasi DPP LIRA, mengatakan ada banyak perusahaan sawit yang melanggar hukum penyebab terjadinya kebakaran hutan, namun selamat dari jeratan hukum, contohnya di daerah Dumai, Riau. Diduga ada sejumlah perusahaan yang melakukan praktik pelanggaran, "Separuh dari wilayah tersebut tidak memiliki Hak Guna Usaha (HGU) dengan jumlah 47.479 Hektare. Perusahaan tersebut setidaknya telah melanggar UU Nomor 41 tahun 1999 terkait kehutanan. Serta pelanggaran terhadap UU Nomor 18 Tahun 2013 terkait Tindak Pidana Kehutanan." Selain itu, ia menambahkan, bahwa terjadi pelanggaran UU No. 5 tahun 1960 masalah Pokok-Pokok Agraria, juga mengenai Hak Guna Usaha PP No 40 tahun 1996. "Ditambah lagi mereka tidak mematuhi aturan Penataan Ruang Nasional dalam UU Nomor 26 tahun 2007".
Selain itu, di Kalimantan Tengah yang tercatat sebagai provinsi kedua terluas di Indonesia dengan luas wilayah 15,3 juta ha, di mana 83 persennya (12,7 juta ha) merupakan kawasan hutan. Dengan kekayaan alam yang melimpah ini, seharusnya membawa kesejahteraan bagi masyarakat Kalteng, namun miris, bukannya berbuah berkah, kawasan hutan tersebut justru membawa petaka. Izin pembukaan hutan tak terkecuali untuk perkebunan sawit yang dibuka lebar oleh pemerintah telah menarik banyak perusahaan swasta menancapkan cakarnya berkedok investasi di provinsi ini.
Saat ini, sekitar 632 133, 96 ha kawasan hutan Kalteng telah beralih fungsi menjadi perkebunan milik ratusan perusahaan swasta. Meski angkanya masih sekitar 5% dari total hutan di wilayah Kalteng, namun dampak buruk yang ditimbulkan sudah sangat mengerikan. Ruang hidup masyarakat termasuk perempuan dan anak dirampas. Bencana alam akibat berkurangnya fungsi ekologis terus terjadi hingga konflik lahan berujung intimidasi pun tak terhindarkan.
Islam Menjaga Kehidupan Lingkungan
Allah Swt. menurunkan manusia di muka bumi sebagai khalifah untuk mengurus dunia. Tidak hanya itu, Allah juga telah menurunkan aturan yang digunakan untuk mengurusnya, jika aturan ini digunakan, pasti dunia dan seisinya akan tetap terjaga, alam dan lingkungan tetap tertata, semuanya berjalan sesuai dengan kehendak-Nya.
Rasulullah dengan tegas pun melarang menebangi apalagi membumihanguskan pepohonan meski itu terjadi dalam peperangan, beliau bersabda, “Perangilah di jalan Allah dengan menyebut nama Allah kaum yang mengingkari Allah dan janganlah kalian melarikan diri dari peperangan, jangan menebang pohon kurma, pepohonan, dan jangan pula kalian menghancurkan rumah.” (Musnad Abu Bakar)
Karena itu, meski sejarah Islam tak pernah sepi dari peperangan, tetapi peperangan yang terjadi tidak pernah merusak lingkungan.
Bukan hanya melestarikan alam dan hutan, para penguasa kaum muslim di era Khilafah Islam bahkan telah menciptakan taman-taman dan indah. Abdurrahman Ad-Dakhil di Cordoba telah berhasil membangun taman terbesar di sana yaitu Ar-Rasafah. Taman ini dibangun untuk meniru apa yang sebelumnya dibangun oleh kakeknya di Syam Khalifah Hisyam bin Abdul Malik.
Di Granada juga terdapat taman-taman dan kebun-kebun raya yang sangat indah bukan hanya di luar tetapi di dalam istana pun taman dan kebun ini menghiasi istana, seperti yang terlihat di istana Al-Hambra. Bahkan ada taman yang sangat indah yang dibangun di atas bukit yang bernama taman Al-Arif tidak hanya itu banyak taman-taman dan kebun raya yang digunakan untuk eksperimen yang diawasi dan dirawat oleh insinyur pertanian. Konsep rumah dengan taman sudah menjadi bagian dari kehidupan rakyat Andalusia yang hidup di daerah Khilafah.
Keindahan alam ini bahkan kemudian dikembangkan oleh arsitek muslim di daerah Khilafah Usmani untuk membangun taman-taman dan lingkungan yang tidak hanya berfungsi sebagai penjaga ekosistem semata, tetapi telah dimanfaatkan untuk hiburan dan menghilangkan stres. Taman-taman ini dibuat sedemikian rupa dengan menghadap ke pantai khususnya di pinggiran selat Bosphorus, masjid-masjid pun dipenuhi dengan taman dan juga pepohonan bukan hanya untuk fungsi estetika tetapi juga untuk mencegah terjadinya kebakaran agar tidak melanda ke pemukiman penduduk. Semuanya ini membuktikan betapa Islam mengajarkan pelestarian alam dan juga hutan.
Khatimah
Indonesia meraih gelar juara pembalak atau penebang hutan tercepat di dunia. Hutan kita ditebang 2,8 juta ha setahun, atau hutan seluas 6x lapangan bola hilang pada setiap menitnya. Padahal hutan kita diharapkan dapat menjadi paru-paru dunia, yang memberi kebaikan untuk manusia sedunia. Akan tetapi, karena keserakahan sekelompok manusia pada rezim kapitalisme dan sosialisme yang berkuasa saat ini, sungguh telah membawa kehancuran bagi bumi dan umat manusia. Maka target nol emisi karbon pada 2060 akankah terwujud jika kapitalisme masih diterapkan?
“Telah tampak kerusakan di daratan dan di lautan akibat tangan-tangan manusia, Allah ingin merasakan kepada mereka akibat dari perbuatan mereka, supaya mereka kembali pada jalan yang lurus.” (QS Ar-Ruum : 41)
Wallahu a'lam bishshawab.[]
Aneh, di satu sisi ingin mengurangi emisi karbon, namun di saat yang sama Indonesia masih gencar melakukan penebang hutan. Bahkan, Hutan kita ditebang 2,8 juta ha setahun, atau seluas 6x lapangan bola hilang pada setiap menitnya.
Berharap mewujudkan zero emisi carbon di tengah masifnya pembangunan industri-industri kapitalime yang minim perhatian pada lingkungan, agaknya mustahil dilakukan. Bagaimana mungkin merea bisa mengurangi emisi karbon, kalau pada saat yang sama negara-negara tersebut adalah pelaku penyumbang emisi karbon.
Benar Mbak berharap pada sistem kapitalisme untuk mengelola alam, tidak akan menemukan kebaikannya. Karena watak para kapitalisme yang serakah, akan menguras sumber daya alam dengan sebesar-besarnya. Pabrik - pabrik akan dioperasiakan tanpa kenal waktu.dan tidak pernah memperhatian dampak terhadap lingkiungan. Hari ini kita rasakan lingkungan senakin rusak, lahan pertanian semakin sempit, udara semakin panas. Maka berharap nol emisi karbon sepertinya hanya ilusi.
Astaghfirullah alih-alih mewujudkan nol emisi. Yang ada pembalakan hutan semakin liar. Hal ini menambah panasnya udara dan mengganggu kesehatan jiwa. Yes setuju saatnya back to sistem Islam kaffah. Semoga dengan naskah ini para penguasa mampu membuka mata meriayah masyarakat dengan sistem Islam aturan yang datang Ndari Allah Swt.
Aamiin
Ya Allah pembalak legal nggih Mbak. Naudzubillah
Hehehe pembalak berizin mb..