Kepemimpinan bukan ajang mencari jabatan, kekayaan, dan popularitas, tetapi sebuah tanggung jawab yang harus dipikul sebagai bentuk ketakwaan seseorang terhadap penciptanya.
Oleh. Novi Anggriani, S.Pd.
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Aroma pemilu sudah tercium sebelum diberlakukan masa kampanye. Topik pembicaraan yang banyak beredar di masyarakat adalah mengenai pemimpin yang pantas untuk Indonesia selanjutnya. Perhatian masyarakat mengenai pemimpin negara menunjukkan butuhnya masyarakat terhadap pemimpin yang benar-benar mampu mengurusi kehidupan mereka.
Pemilu Pemicu Konflik
Pemilu di Indonesia tidak saja menjadi bahan pembicaraan masyarakat dalam negeri, media asing pun ikut menyoroti pemilihan presiden (pilpres) RI terkait kampanye calon presiden (capres) dan siapa yang unggul dalam survei.
Semangat mengungguli kubu masing-masing kerap menimbulkan konflik. Seperti konflik pada pemilihan presiden 22 Mei 2019 yang menelan korban akibat kerusuhan penolakan hasil rekapitulasi KPU yang memenangkan pasangan Joko Widodo dan Ma’ruf Amin. Kebiasaan konflik seperti ini menjadi catatan bagi seluruh pihak, baik para calon, penyelenggara, dan para pendukung untuk lebih menaati aturan sesuai dengan UU 7/2017 dan PKPU15/2023 mengenai kampanye.
Hal ini disampaikan oleh Ketua Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Provinsi Jambi, Wein Arifin, bahwa pihaknya sudah melakukan persiapan pengawasan dan laporan hasil pelaksanaan kampanye. Selain itu, beliau juga mengimbau dalam pelaksanaan kampanye perlu dihindari black campaign (kampanye hitam) dengan menyebarkan berita hoaks dan mengandung unsur SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan).
Politik Demokrasi Cacat dari Berbagai Sisi
Perbedaan dalam memilih memang sesuatu yang alami ada pada setiap individu masyarakat, tergantung cara pandang masing-masing. Namun, persoalannya adalah ketika perbedaan itu justru menimbulkan konflik antaranggota masyarakat sebagai pendukung para calon. Akibatnya masyarakat terpecah belah dan kondisi ini membahayakan bagi negara yang sedang berusaha memperbaiki kehidupan politiknya.
Selain itu, persaingan para calon dalam merebut suara rakyat merupakan tujuan yang harus dilakukan menjelang pemilu. Untuk meraih suara rakyat perlu menampilkan sikap pro terhadap kondisi rakyat dan anti terhadap kezaliman. Aksi itu harus ditampilkan dan disampaikan, baik dengan menonjolkan kecakapan dalam berbicara maupun tingkah laku di media sosial. Walaupun kepedulian itu hanya pemanis di awal dan terabaikan pada saat menjabat.
Kecacatan yang lain dalam demokrasi adalah mahalnya dana yang harus dikeluarkan oleh para calon untuk melakukan aksi kampanye. Seperti dana kampanye Pilpres 2019 dari Prabowo-Sandiaga yang mencapai 213,2 miliar, sedangkan Jokowi-Ma’ruf 606,7 miliar, sebagaimana yang dilaporkan kepada posko LPPDK. Oleh karena itu, dengan biaya kampanye yang mahal menjadikan para calon butuh sokongan dana dari pihak lain agar kampanye terlaksana meriah dan mendapat perhatian masyarakat.
Seluruh fakta mengenai politik demokrasi menunjukkan bahwa demokrasi merupakan sistem berpenyakit yang melahirkan komplikasi bagi politik negara. Tidak hanya penulis yang menyampaikan kesimpulan itu, seorang Politikus Britania Raya, Winston Churchill ikut mengakui bahwa politik demokrasi adalah bentuk pemerintahan yang paling buruk dibandingkan bentuk pemerintahan lainnya (European Center for Populism Studies).
Politik Islam Menjamin Terpenuhinya Urusan Umat
Kegagalan demokrasi dalam melahirkan politik yang kondusif seharusnya menjadi titik awal dalam menilai perbedaannya dengan sistem politik Islam. Kaum muslim harus lebih jeli melihat kesempurnaan Islam sebagai petunjuk hidup, termasuk petunjuk dalam memilih penguasa yang berdasarkan Islam. Karena seluruh aspek kehidupan kaum muslim akan terjamin keterikatannya terhadap aturan Allah jika kondisi pengurusan dari sistem kepemimpinan didasari pada syariat Allah.
Kegagalan pemahaman umat terkait memilih pemimpin yang benar dan menanggapi perbedaan merupakan efek dari jauhnya umat terhadap fikrah dan thariqah Islam. Dengan demikian, ketika memilih pemimpin, umat hanya bisa meraba tanpa memastikan akidah yang mendasari para pemimpin dalam mengemban jabatan.
Begitupun thariqah (metode) kepemimpinannya tidak jelas dalam pengaturannya. Seperti penyelesaian problematika yang terjadi di tengah masyarakat saat ini. Akibat ketidakjelasan ini menimbulkan pamahaman rakyat dalam memilih pemimpin hanya dari pandangan fisik, akhlak, dan kepiawaian berbicara tanpa pemastian jaminan bahwa pemimpin itu taat pada Rabbul 'alamin.
Pemimpin dalam Islam adalah penjaga syariat Allah dan penerap berbagai kewajiban. Di pundak khalifah dibebankan amanah yang sangat besar dan kelak dari amanah-amanah itu akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah Swt., seperti pada firman Allah dalam surah An-Nahl: 90. Oleh karena itu, kepemimpinan bukan ajang mencari jabatan, kekayaan, dan popularitas, tetapi sebuah tanggung jawab yang harus dipikul sebagai bentuk ketakwaan seseorang terhadap penciptanya.
Metode pemilihan khalifah dalam Islam tidak memerlukan biaya yang mahal dan waktu pemilihannya adalah maksimal 3 hari 3 malam, sesuai dengan ijmak para sahabat ketika dibaiatnya Sayyidina Utsman bin Affan ra. sebagai khalifah yang menggantikan Rasulullah setelah beliau wafat. Hal ini diikuti oleh pengangkatan khalifah-khalifah setelahnya. Kepemimpinan seorang khalifah tidak dibatasi dengan waktu, melainkan dilihat dari kemampuannya dalam mengurusi urusan umat dengan syariat Islam.
Di dalam Islam, kampanye dengan janji-janji palsu tidak akan kita temukan. Yang ada hanya visi misi seorang pemimpin untuk mengurusi rakyatnya dengan syariat Allah dan menyebarkan Islam di seluruh penjuru dunia. Dengan demikian, menyedikan lapangan pekerjaan adalah kewajiban seorang pemimpin tanpa rakyat meminta dan berkoar untuk menuntut ketersediaannya. Khalifah harus peka dan fokus dalam melihat kondisi umat yang dipimpinnya. Begitupun struktur negara yang ada di bawahnya.
Kriteria para calon pemimpin dalam mafhum umat sudah jelas tanpa mereka harus berpecah belah. Penglihatan mereka berdasarkan kepribadian Islam yaitu pola pikir dan pola sikapnya harus islami dalam aktivitas kehidupan sehari-hari dalam segala aspek apa pun. Dari penilaian dasar itu, ditambah dengan kecakapan dan keunggulannya dalam memimpin akan membuat rakyat yang diurusnya merasakan kesejahteraan karena rahmat yang turun dari Allah Swt. atas diterapkannya aturan Islam secara kaffah oleh pemimpin yang bertakwa dan mengerti Islam.
Walhasil, masalahnya bukan ada pada pemimpin, tetapi pada fikrah (sistem) dan thariqah (metode) yang diemban selama ini. Sudah saatnya kita mengganti demokrasi yang merusak dengan sistem Islam yang menyejahterakan. Dengan cara terus mendakwahkan Islam ke tengah-tengah umat agar umat Islam secara keseluruhan bersama-sama menuntut untuk diterapkannya Islam secara kaffah sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Rasulullah dan para khalifah setelahnya. Wallahualam bissawab. []
Betul, demokrasi memang cacat dan rawan perpecahan. Anehnya, kadang si calon sudah nyaman duduk di kursi kekuasaan, para pendukungnya justru masih sibuk berkonflik. Ini bukan hanya skala nasional, bahkan skala desa pun rawan konflik antarmasyarakat saat beda dukungan. Miris deh ...