Ilusi Zero Stunting dalam Kapitalisme

Stunting

Kasus stunting ini semata karena ketidakmampuan orang tua dalam memenuhi kebutuhan makanan bergizi.

Oleh. Harne Tsabbita
(Kontributor NarasiPost.Com & Aktivis Muslimah)

NarasiPost.Com-Stunting masih terus menjadi permasalahan bangsa hari ini. Data survei status gizi nasional (SSGI) pada 2022 mencatat prevalensi stunting di Indonesia sebesar 21,6% atau melebihi standar yang ditetapkan WHO sebesar 20%. Pemerintah telah menetapkan target prevalensi stunting ditekan hingga 14% pada akhir 2024. Artinya, masih ada 7,6% angka penurunan lagi yang harus dikejar.

Mengutip definisi dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes), stunting atau tengkes adalah kondisi gagal tumbuh pada anak di bawah usia lima tahun (balita) akibat kekurangan gizi kronis terutama pada 1.000 hari pertama kehidupan. Anak stunting ditandai dengan berat badan rendah dan tubuh yang pendek atau sangat pendek berdasarkan panjang/tinggi badan seusianya. Hal ini akan berdampak pada masa depan anak dikemudian hari. Karena akan memengaruhi perkembangan otak yang berperan dalam kecerdasan. Terlebih, hal ini akan memengaruhi kualitas sumber daya manusia sebuah negara.

Hal tersebut jelas akan mengancam bonus demografi Indonesia 2030 mendatang, dan juga visi misi Indonesia meraih Indonesia Emas 2045. Sementara dari pemerintah pusat, sudah banyak berbagai program yang dilakukan untuk mengatasi kasus stunting ini. Namun, sepertinya masih banyak PR yang harus dilakukan.

Budaya Korupsi

Pemerintah Indonesia telah mengalokasikan APBN untuk mendukung kesejahteraan anak di bidang kesehatan dan perlindungan anak sebesar Rp48,3 triliun (2022) dan Rp49,4 triliun (2023). Sementara itu, anggaran belanja pemerintah untuk mendukung percepatan penurunan stunting adalah sebesar Rp34,15 triliun (2022) dan Rp30,4 triliun (2023). Besaran tersebut diperuntukkan bagi tiga jenis intervensi yakni spesifik, sensitif, dan dukungan, yang melibatkan berbagai instansi dan lintas sektor.

Mirisnya, dana besar yang dialokasikan untuk pencegahan stunting masih saja dikorupsi. Bahkan di suatu daerah, ada yang digunakan untuk keperluan rapat, perjalanan dinas, dan membangun pagar puskesmas. Bahkan menurut menteri keuangan RI, Sri Mulyani, dari anggaran yang dialokasikan pemerintah yang dirasakan langsung untuk stunting hanya 5% sementara 80% untuk koordinasi, berbagai macam rapat, dan perjalanan dinas.

Wajar jika penanganan stunting ini tidak memberikan pengaruh secara langsung bagi masyarakat terdampak. Sebab, selain tidak adanya pengawasan ketat dari pemerintah pusat terkait alokasi dana di daerah, yang mencegah adanya tindak korupsi dan penyalahangunaan alokasi, juga karena adanya pribadi petugas yang tidak menjalankan tupoksi dengan benar. Padahal, apa yang mereka jalani saat ini berkaitan dengan upaya menjalankan amanah. Seharusnya jalankanlah dengan baik dan sejujur-jujurnya.

Zero Stunting Jauh dari Angan

Stunting tidak mungkin bisa diselesaikan selama negara tidak mengatasi akar permasalahannya. Karena program apa pun yang dilakukan dan seberapa besar pun dana yang dikeluarkan, tidak akan mampu memperbaiki kondisi. Belum lagi pribadi para petugas negara yang tidak amanah menjalankan tugas mereka. Sehingga memandang dalam menjalankan setiap tugasnya harus ada ‘amplop’ meski sudah ada gaji setiap bulannya.

Pribadi para petugas negara yang seperti ini, sebenarnya tidak terlepas dari penerapan sistem di negara ini, yakni dengan penerapan sistem kapitalisme-sekularisme. Di mana kapitalisme memandang bahwa sesuatu yang baik adalah jika hal itu memberikan keuntungan materi baginya dan begitupun sebaliknya. Maka, tidak aneh jika mereka akan menjalankan tugas jika ada ‘amplop’nya. Sehingga, dana yang dikeluarkan untuk menangani stunting pun tidak sesuai dengan tujuan.

Itu dari sisi pribadi petugasnya. Bagaimana dengan adanya kasus stunting ini? Sebenarnya tidak dinafikan, kasus ini pun bermula dari adanya penerapan sistem kapitalisme. Sebab, sistem ini telah menjadikan ketimpangan sosial yang tinggi dikalangan masyarakat. Yang kaya makin kaya dan yang miskin makin sengsara.

Kasus stunting ini bukan semata karena kurangnya edukasi orang tua terkait makanan bergizi untuk keluarga, lebih dari itu sebenarnya karena ketidakmampuan orang tua dalam memenuhi kebutuhan makanan bergizi tersebut. Sebab, tingginya harga bahan pangan sementara gaji suami yang diperoleh tidak mencukupi memenuhi itu semua. Belum lagi akhirnya istri harus ikut bekerja demi memenuhi kebutuhan tersebut dan pengasuhan anak menjadi imbasnya. Sehingga, istri tidak optimal dalam memperhatikan kebutuhan gizi anak saat ditinggal bekerja.

Jadi, apa yang menjadi penyebab ini semua? Sebabnya adalah karena terjadinya kemiskinan. Harusnya kemiskinan inilah yang mesti dihilangkan oleh negara saat ini. Karena stunting adalah masalah cabang yang ditimbulkan dari adanya kemiskinan hari ini.

Pertanyaan selanjutnya adalah, apa yang menyebabkan kemiskinan ini? Jawabannya adalah penerapan sistem ekonomi kapitalisme. Karena sungguh aneh. Di tengah melimpahnya kekayaan alam di Indonesia, rakyatnya kesulitan mendapatkan makanan bergizi. Hal itu karena SDA yang kaya di negara ini justru dibiarkan untuk dikelola oleh asing.

Jadi, prevalensi stunting tinggi adalah dampak kesalahan kebijakan negara mengadopsi sistem kapitalisme yang memproduksi kemiskinan, kelaparan, dan buruknya kesehatan generasi. Anak stunting adalah korban buruknya pengurusan negara terhadap rakyat. Negara telah menciptakan beban bagi dirinya sendiri, di samping telah merenggut kesejahteraan dan kebahagiaan anak-anak. Permasalahan negara sesungguhnya adalah sistem kapitalisme yang memiliki sifat bawaan destruktif.

Sehingga keseriusan pemerintah dalam mengatasi stunting adalah dengan mengganti sistem kapitalisme yang diterapkan hari ini dengan sistem pemerintahan Islam. Sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Rasulullah saw. hingga Khulafaur Rasyidin.

Solusi Tuntas Stunting

Islam adalah solusi tuntas untuk masalah stunting yang menjadi fokus bangsa hari ini. Islam telah menyediakan sistem sahih yang akan mampu memberikan jaminan kesejahteraan bagi individu-individu rakyat. Islam telah Allah sempurnakan dan membawa rahmat bagi semesta alam.

Islam yang akan diterapkan dalam sistem kekhilafahan menetapkan bahwa setiap muslim laki-laki, khususnya kepala rumah tangga, bertanggung jawab bekerja untuk menafkahi keluarga yang menjadi tanggungannya. Jika ada yang masih belum bekerja, negara akan memberi fasilitas dengan membuka lapangan pekerjaan hingga seseorang bisa memenuhi kebutuhan keluarganya secara baik.

Khilafah juga akan mendorong masyarakat untuk saling tolong-menolong jika terjadi kesulitan atau kemiskinan yang menimpa individu rakyat. Keluarga dan tetangga akan turut membantu mereka yang dalam kondisi kekurangan dengan berbagai macam aturan Islam (zakat, sedekah, dan lainnya).

Dalam hal kepemilikan, baik individu, umum, dan negara akan diatur untuk kesejahteraan rakyat. Negara juga menjamin kehidupan setiap individu masyarakat agar benar-benar mendapatkan sandang, pangan, dan papan dengan layak.

Islam tidak akan membiarkan para kapital (korporasi) menguasai kekayaan alam. Negara akan mandiri mengelola sumber daya alam dan memberikan hasil pengelolaan itu pada masyarakat. Negara akan memastikan kebutuhan individu masyarakat terpenuhi. Makanan yang dikonsumsi masyarakat dipastikan halal dan bergizi.

Pada masa Khalifah Umar bin Khatthab, beliau pernah membuat kebijakan yang melarang para ibu terlalu cepat menyapih anak-anaknya. Negara Khilafah pun memberikan subsidi bagi setiap bayi yang baru lahir dan balita yang telah lepas dari penyusuan. Tentu saja hal ini menunjukkan bahwa Khalifah Umar sangat paham bahwa 1.000 hari pertama kehidupan (HPK) anak adalah masa penting bagi tumbuh kembang dan kecerdasan generasi yang membutuhkan kecukupan gizi. Tidakkah kita merindukan sosok penguasa sebagaimana para khalifah yang menerapkan Islam secara Kaffah? []

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Kontributor NarasiPost.Com Dan Pegiat Pena Banua
Harne Tsabbita Kontributor NarasiPost.Com
Previous
Narasi Terorisme Kembali Mencuat, Siapa yang Diuntungkan?
Next
Rumah Kebutuhan Pokok, Wajib Dipenuhi! 
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

1 Comment
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
Wd Mila
Wd Mila
11 months ago

Sungguh miris jika kita melihat bahwa anggaran yang dialokasikan pemerintah yang dirasakan langsung untuk stunting hanya 5%, sementara 80% untuk koordinasi, berbagai macam rapat, dan perjalanan dinas. bagaimana mau tuntas kalau begini???

bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram