Teknologi CCS yang digembar-gemborkan sebagai solusi, nyatanya hanyalah dalih untuk meneruskan operasi-operasi industri fosil mereka.
Oleh. Sartinah
(Tim Penulis Inti NarasiPost.Com & Penulis Rempaka Literasiku/Bianglala Aksara)
NarasiPost.Com-Pemanasan global menjadi topik yang masih diperbincangkan banyak negara. Dampaknya yang telah menggurita di belahan dunia, membuat isu ini sangat mendesak untuk ditangani. Akibat pemanasan global pun telah merajai berbagai sektor kehidupan termasuk ekonomi, sosial, kesehatan, dan lingkungan. Demi menyelesaikan problem pemanasan global, Carbon Capture & Storage (CCS) pun dipilih sebagai solusi.
Teknologi CCS kembali ramai diperbincangkan setelah mencuat dalam sesi debat calon wakil presiden (cawapres). Kala itu, cawapres Gibran Rakabuming menanyakan bagaimana cara membuat regulasi CCS kepada cawapres Mahfud MD. Setelah itu media pemberitaan ramai mengulik tentang apa dan bagaimana teknologi CCS tersebut.
Terkait munculnya gagasan penerapan teknologi CCS di Indonesia, Greenpeace Indonesia menyatakan bahwa teknologi ini tidak akan efektif dalam memitigasi terjadinya pemanasan global. Menurut pihak Greenpeace, terdapat banyak hambatan dalam penerapan teknologi CCS tersebut. (cnnindonesia.com, 23/12/2023)
Lantas, apa sebenarnya yang dimaksud dengan teknologi CCS dan bagaimana cara kerjanya? Mampukah teknologi tersebut menjadi solusi terhadap pemanasan global? Bagaimana pula sistem Islam dalam menuntaskan persoalan lingkungan?
Mengenal Carbon Capture & Storage (CCS)
Carbon Capture & Storage (CCS) merupakan salah satu teknologi mitigasi pemanasan global, yakni dengan mengurangi emisi CO2 ke atmosfer. Teknologi ini terdiri dari satu rangkaian yang pelaksanaan prosesnya saling terhubung satu dengan yang lainnya. Proses tersebut mulai dari pemisahan dan penangkapan CO2 dari sumber emisi gas buang, pengangkutan CO2 yang tertangkap ke tempat penyimpanan, hingga menyimpan ke tempat yang aman. Demikian sebagaimana dijelaskan dalam situs Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). (cnnindonesia.com, 22/12/2023)
Sementara itu, cara kerja teknologi CCS tersebut secara spesifiknya adalah: Pertama, pemisahan dan penangkapan CO2 merupakan proses yang dilakukan dengan memisahkan CO2 dari gas buang di sumber-sumber yang menghasilkan emisi besar, seperti industri, pembangkit listrik, maupun semua fasilitas yang menggunakan bahan bakar fosil atau biomassa.
Kedua, pengangkutan CO2. Langkah selanjutnya adalah pengangkutan CO2 melalui pipa, kereta api, kapal, ataupun truk ke tempat penyimpanan. Proses tersebut dilakukan sebagaimana pengangkutan gas pada umumnya.
Ketiga, penyimpanan CO2. Emisi CO2 yang sudah berhasil ditangkap kemudian disimpan di tempat-tempat yang aman. Ada beberapa langkah penyimpanan yang bisa dilakukan. Salah satunya adalah dengan memasukkannya ke dalam lapisan batuan di bawah permukaan bumi yang tidak aktif. Jika langkah tersebut telah dilakukan, maka CO2 akan terperangkap dan tidak lepas ke atmosfer. Metode lainnya yaitu dengan menginjeksikan ke dalam lautan yang aman.
Respons Pemerintah
Pemerintah yang diwakili oleh Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, menyebut bahwa penggunaan teknologi CCS di Indonesia dapat menjadi pendorong perekonomian dengan memanfaatkan potensi untuk masa depan lebih hijau. Pemerintah pun dengan bangga mengumumkan kemajuan strategis dalam penerapan teknologi CCS.
Deputi Bidang Kedaulatan Maritim dan Energi, Jodi Mahardika menyebut, Indonesia memiliki kapasitas penyimpanan CO2 potensial yakni sebesar 400 hingga 600 gigaton di depleted reservoir (reservoir minyak dan gas bumi) dan saline aquifer (lapisan batu bara) yang memiliki potensi penyimpanan selama 322 hingga 482 tahun dengan perkiraan puncak emisi sebesar 1,2 gigaton. (cnnindonesia.com, 23/12/2023)
Pemerintah pun menyebut bahwa Indonesia menjadi pelopor penerapan regulasi CCS di ASEAN dan menjadi peringkat pertama di Asia menurut Global CCS Institute. Tak hanya itu, pemerintah disebut telah membangun fondasi hukum yang kuat, termasuk Permen ESDM Nomor 2 Tahun 2023, Perpres Nomor 98 Tahun 2021, dan Peraturan OJK Nomor 14 Tahun 2023. Dalam upayanya mencapai Net Zero Emission (NZE) pada 2060 mendatang, pemerintah bahkan berambisi mengembangkan teknologi CCS yang tidak hanya menampung CO2 domestik, tetapi juga bisa menggali potensi kerja sama internasional.
Dengan berbagai regulasi yang sudah dibuat, tampaknya pemerintah begitu yakin akan keberhasilan teknologi CCS tersebut. Namun, benarkah CCS adalah solusi mencegah pemanasan global? Sayangnya, banyak pihak justru berpikir sebaliknya. Salah satunya adalah Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), yang menyebut bahwa teknologi Carbon Capture Storage (CCS) atau Carbon Capture, Utilisation, and Storage (CCUS) hanyalah solusi palsu untuk mencegah pemanasan global dan krisis iklim di Indonesia.
Solusi Palsu
Tekad pemerintah menjadikan teknologi CCS sebagai solusi pemanasan global tampaknya tak bisa lagi dibendung. Meski sebagian pihak menyebut bahwa teknologi ini tidak akan efektif diterapkan di Indonesia, tetapi pemerintah tetap memiliki pandangan berbeda. Selain itu, penerapan teknologi ini pun disinyalir akan menghadapi banyak kendala, di antaranya membutuhkan biaya yang super mahal, transportasi yang panjang, dan risiko jangka panjang yang berbahaya.
Sebagai contoh, jika CO2 sudah diambil dan masuk dalam penyimpanan, maka langkah selanjutnya adalah membuang CO2 tersebut. Dalam teknologi CCS misalnya, CO2 akan dibuang pada retakan-retakan bekas pengambilan minyak bumi sebelumnya, dengan harapan di tempat tersebut akan muncul gas dan source (sumber) baru. Sayangnya proses tersebut memiliki risiko besar, yakni terjadinya kebocoran ataupun ledakan.
Tak sampai di situ, berdasarkan riset yang dilakukan oleh Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA), disebutkan bahwa CCS/CCUS adalah teknologi yang sepanjang sejarahnya gagal mencapai tujuan atau gagal memenuhi ekspektasi. Hal ini dapat dibuktikan dari temuan IEEFA pada 2021, tentang kegagalan proyek-proyek CCS di seluruh dunia. Misalnya saja dari 13 proyek CCS/CCUS yang ada di seluruh dunia, ternyata hanya mampu menghasilkan total 39 juta ton CO2 setiap tahunnya. Jumlah tersebut hanyalah 1/10.000 dari total 36 miliar ton emisi yang dibuang ke atmosfer.
Melihat fakta-fakta yang jelas terpampang di depan mata, sejatinya menunjukkan bahwa teknologi CCS masih perlu dikaji lebih dalam. Bahkan, WALHI menyebut bahwa CCS tidak layak untuk diterapkan termasuk di Indonesia. Anehnya, pemerintah disebut tetap akan menjalankan 16 proyek berbasis CCS/CCUS di bawah amanat Kementerian ESDM. Mengapa pemerintah seolah menutup mata dengan berbagai risiko berbahaya dan kegagalan teknologi ini?
Inilah realitas proyek-proyek berbasis keuntungan di bawah sistem kapitalisme. Para pelaku bisnis di bidang energi fosil dan negara-negara di dunia umumnya, hanyalah beretorika tentang solusi pemanasan global. Sejatinya mereka hanyalah mencari celah untuk memburu keuntungan lewat jalan lainnya. Teknologi CCS yang digembar-gemborkan sebagai solusi, nyatanya hanyalah dalih untuk meneruskan operasi-operasi industri fosil mereka. Padahal, industri-industri fosil tersebut menjadi penyumbang terbesar dari total emisi karbon global.
Solusi Islam
Mustahil rasanya menyelesaikan permasalahan lingkungan dalam sistem kapitalisme. Pasalnya, kapitalisme dengan industrialisasinya terus mengeksploitasi lingkungan hingga melampaui daya dukungnya. Karena itu, jika ingin menghentikan pemanasan global maka langkah pertama yang harus dilakukan adalah mengubah paradigma tentang industri kapitalisme yang menghalalkan segala cara menjadi industri ala Islam.
Islam adalah agama sekaligus ideologi yang mengatur berbagai urusan, termasuk persoalan lingkungan. Islam telah memerintahkan agar manusia menjaga lingkungannya. Artinya, meski manusia bisa mengambil manfaat dari alam, tetapi tetap harus menjaga kelestarian dan tidak melakukan kerusakan. Allah Swt. pun dengan tegas telah melarang manusia membuat kerusakan, sebagaimana tercantum dalam surah Al-A'raf [7] ayat 56:
وَلَا تُفْسِدُوا۟ فِى ٱلْأَرْضِ بَعْدَ إِصْلَٰحِهَا وَٱدْعُوهُ خَوْفًا وَطَمَعًا ۚ إِنَّ رَحْمَتَ ٱللَّهِ قَرِيبٌ مِّنَ ٱلْمُحْسِنِينَ
Artinya: "Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat dengan orang-orang yang berbuat baik."
Salah satu perintah Islam dalam menjaga kelestarian lingkungan adalah dengan penanaman pohon secara masif. Perintah tersebut tidak hanya menjadi tugas individu, tetapi juga menjadi tugas negara. Artinya, negara memiliki peran vital dalam memelihara kelestarian alam. Selain itu, negara (Khilafah) akan memastikan bahwa semua industri yang ada hanya berjalan di atas asas akidah Islam. Dengan begitu, tidak akan ada aktivitas industri yang mendatangkan mudarat, misalnya dengan merusak kelestarian alam.
Jika industri berjalan sesuai dengan prinsip maslahat, maka problem peningkatan emisi karbon yang menyebabkan pemanasan global tidak akan terjadi. Khilafah akan mendesain agar semua pembangunan dan aktivitas industri ramah lingkungan. Selain itu, Khilafah juga akan melakukan edukasi secara intens kepada masyarakat agar mereka hanya menggunakan produk-produk yang ramah lingkungan. Sedangkan bagi pihak swasta, mereka tidak akan bebas apalagi diberi keistimewaan sebagaimana saat ini. Mereka harus tunduk pada setiap kebijakan Khilafah jika ingin mendapatkan izin usaha.
Satu hal yang pasti, Khilafah tidak akan menjadikan sertifikat karbon sebagai ajang bisnis sebagaimana dalam sistem kapitalisme. Khilafah bisa memilih untuk melakukan hubungan dagang dengan negara-negara yang berkomitmen merawat lingkungan. Semua langkah tersebut tidaklah sulit diwujudkan oleh Khilafah karena posisinya sebagai negara besar dan keberadaannya memang untuk mewujudkan kemaslahatan umat.
Khatimah
Kapitalisme telah membiarkan negara-negara industri mengotori langit dengan karbonnya. Sistem yang hanya berorientasi mengejar keuntungan semata tersebut telah mengakibatkan petaka besar bagi manusia dan lingkungan. Sudah saatnya dunia berbenah jika ingin menyaksikan langit kembali biru dan hutan menghijau, yakni kembali pada aturan Islam dalam seluruh aspek kehidupan. Dengan begitu, manusia akan merasakan keamanan dan kesejahteraan, lingkungan pun akan tetap terjaga kelestariannya.
Wallahu a'lam bishawab.[]
Innalillah.. ini solusi untuk mengurangi emisi karbon,tapi kedengaran jadi ngeri. Bahkan CSS yang ditawarkan sistem kapitalis saat ini ternyata Sangat berbahaya untuk jangka panjang..
Betul, pura-puranya saja jadi solusi. Padahal sejatinya kapitalisme tak akan mampu memberi solusi
Solusi Islam solusi yang sangat mendasar sehingga persoalan cabang diatasnya, semua bisa terselesaikan.
Betul mbak, selain Islam bukanlah solusi
Ya susah kalau berharap pada sistem kapitalisme agar bisa menikmati lingkungan yang bersih bebas dari polusi, yang tepat pasti harus beralih ke sistem Islam solusi tepat segala masalah.
Naskah keren mba Sartinah semoga mampu menggugah para penguasa negeri
Betul bu, karena biang kerok kerusakan lingkungan itu ya sistem kapitalisme. Jadi mustahil kalau sistem ini bisa menjadi solusi.
Solusi yg bukan dari Islam pasti keliru..
Betul mba Dina
Kayaknya kalau berharap alam bersih dari polusi di alama kapitalisme susah deh..mimpi..
Betul, karena mereka sendiri adalah biang kerusakan
Tulisan yang keren. Barakallahu fiik mbak Sartinah
Aamiin, wa fiik barakallah mbak Firda
Benar banget mba. Sistem kapitalisme jadi biang keladi semua kerusakan yang ada di muka bumi. Rusaknya lingkungan membuat udara tak lagi sehat. Di mana-mana polusi. Hanya Islam yang bisa jadi solusi. Barakallah mba@Sartinah
Begitulah mbak kalau alam diatur oleh sistem kapitalisme. Rusak semuanya.
Aamiin, wa fiik barakallah mbak Atien.