Negara berperan besar dalam menjalankan mitigasi hingga penanganan bencana. Hal ini karena pemimpin dalam Islam berperan sebagai pengurus urusan rakyat (ra'in), dan pelindung (junnah)
Oleh. Erdiya Indrarini
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Musim hujan telah tiba, risiko tanah longsor pun di depan mata. Mirisnya, kini Wonosobo yang terkenal dengan sebutan kota Carica dengan kemolekan pemandangannya, juga diterjang banjir bandang di beberapa titik wilayah.
Sebagaimana dilansir dari bnpb.go.id (09/12/2023), sepasang suami istri menjadi korban tanah longsor di Dusun Pencar, Desa Klowoh, Kecamatan Kalikajar, Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah, Jumat (8/12). Mereka meninggal dunia setelah terseret tanah longsor saat sedang mengendarai motor.
Sementara itu, sebanyak 16 warga Kelurahan Pager Kukuh, Kecamatan Wonosobo, terpaksa harus mengungsi karena rumahnya terdampak banjir bandang. Broto selaku Kasubag Perencanaan, Evaluasi, dan Pelaporan di Sekretariat Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Wonosobo mengatakan bahwa perumahan yang terdampak itu berada di samping sungai. Sudah ada upaya membuat tanggul, tetapi debit air lebih tinggi, dan sering meluap.
Masih di Kecamatan Wonosobo, wilayah terdampak tanah longsor di antaranya adalah Kampung Prajuritan Atas, Kelurahan Tembelang; Kampung Tembelang di Kelurahan Rojoimo; Dusun Ngaglik di Kelurahan Pancurwening; Bugangan di Kelurahan Kalianget; dan Dusun Sarijoyo di Desa Sariyoso yang mengakibatkan 140 KK tidak dapat mengakses air bersih PDAM.
Di lokasi lain, banjir bandang dan tanah longsor juga terjadi di Kecamatan Mojo Tengah. Di Kecamatan Leksono bahkan terjadi angin kencang yang menumbangkan beberapa pohon hingga menutupi jalan raya.
Melihat rentetan kejadian bencana hidrometeorologi basah di wilayah Kabupaten Wonosobo, pihak BPBD akan melakukan rapat koordinasi dengan segenap unsur forkopimda lainnya demi percepatan penanganan bencana. Juga mengimbau kepada pemangku kebijakan di daerah agar melakukan upaya mitigasi serta memantau debit air saat terjadi hujan secara berkala. Di samping itu, bagi masyarakat yang bermukim di sepanjang aliran sungai agar melakukan evakuasi mandiri.
Pencegahan yang Diabaikan
Bagi daerah Wonosobo, bencana tanah longsor ini bukanlah yang pertama kali, tetapi sudah berulang terjadi. Seolah menjadi langganan ketika musim hujan tiba. Mirisnya, banjir bandang pun mulai menjadi ancaman kota asri yang dikelilingi lima gunung ini. Tidak sedikit kerugian akibat bencana tersebut, baik harta benda maupun nyawa. Ironisnya, bencana sudah sering terjadi dan terus berulang, tetapi tidak banyak perubahan dalam upaya mitigasi dari pemerintah. Banjir bandang dan beberapa tanah longsor yang terus berulang itu adalah bukti nyata.
Negara seharusnya berperan mengurusi urusan rakyat, tidak hanya hadir saat bencana telah melanda. Sudah selayaknya negara berada di garda depan dalam melindungi dan menyelamatkan rakyatnya. Tidak dimungkiri, bencana adalah salah satu ketetapan atau takdir Allah Swt. Namun, negara juga harus berusaha melakukan pencegahan sebagai bentuk ikhtiar.
Terlebih, dengan kemajuan teknologi saat ini, potensi bencana harusnya bisa dicegah sebelum semuanya terjadi. Untuk itu, pemerintah harusnya bisa mengambil kebijakan, apakah suatu daerah masih layak untuk hunian atau tidak, memadai untuk tempat wisata atau tidak, dan sebagainya. Pasalnya, Wonosobo adalah daerah pegunungan yang rawan longsor.
Bahkan, pemerintah harusnya memberi perhatian khusus bagi warga yang masih tinggal di daerah rawan, seperti di bantaran sungai atau di lokasi yang rawan longsor. Selain itu, pemerintah juga mesti memiliki konsep mitigasi yang baik sehingga mampu menghindarkan rakyat dari bencana. Namun faktanya, negara hanya melakukan mitigasi apa adanya, melakukan diskusi ketika bencana sudah terjadi, atau sekadar menyampaikan imbauan semata.
Potret Bobroknya Sistem
Inilah potret dari negara yang menerapkan ideologi kapitalisme. Ideologi ini menempatkan keuntungan ekonomi di atas segala-galanya. Oleh karena itu, negara atau pemerintah tidak mengindahkan urusan rakyatnya, termasuk kelestarian alam dan keselamatan jiwa manusia.
Pemerintah malah gencar membangun kawasan pariwisata yang dinilai akan meningkatkan perekonomian. Keindahan alam yang ada pun dieksploitasi, kemudian dikapitalisasi. Untuk melampiaskan syahwatnya, para pemodal tega mengubah lahan yang harusnya sebagai daerah resapan atau hutan lindung, malah "ditanami" bangunan beton. Akhirnya, kemolekan kota asri Wonosobo dieksploitasi. Terbukti dengan menjamurnya tempat-tempat pariwisata beserta perangkatnya seperti kafe, hotel, dan sebagainya di tempat-tempat yang lain.
Padahal, langkah pemerintah yang memandang pariwisata sebagai pendongkrak perekonomian, sejatinya bukan meningkatkan ekonomi rakyat, tetapi hanya menambah kekayaan para pemodal alias konglomerat. Sebagian kecil warga setempat hanya bisa mengais rezeki dari berjualan atau menjadi satpam. Selebihnya, para investor yang menikmati.
Tak heran, urusan mitigasi akan diabaikan karena dinilai tidak penting, tidak memberi manfaat secara ekonomi. Terlebih pada saat kondisi aman dan tidak ada curah hujan, pemerintah seolah lupa dan tidak memedulikan. Padahal, potensi bahaya setiap saat mengancam keselamatan warga
Sistem Islam Mengatur
Sangat berbeda dengan aturan pada sistem Islam yang bernama syariat. Bahwasanya, mitigasi adalah salah satu langkah pemerintah dalam menyelamatkan jiwa rakyatnya dari bencana alam. Hal ini karena tujuan penerapan syariat adalah untuk menjaga agama, akal, harta kepemilikan, juga jiwa manusia.
Oleh karena itu, negara akan memandang dengan serius terhadap semua hal tersebut, termasuk memanfaatkan kemajuan teknologi dan biaya demi keberhasilan mitigasi bencana. Apalagi ditopang dengan pendanaan yang baik, tentu akan memengaruhi kemampuan mitigasi yang totalitas.
Dalam kasus tanah longsor dan banjir bandang di Wonosobo, jika sekiranya pemerintah membolehkan ada permukiman di bantaran sungai, ataupun daerah tebing, maka harus mengoptimalkan mitigasi bencana. Pemerintah akan menyiapkan berbagai usaha agar warga tidak terdampak jika terjadi banjir bandang atau longsor. Pemerintah akan mengoptimalkan peran BMKG untuk memetakan daerah-daerah yang berpotensi bencana. Kemudian mempersiapkan daerah tersebut sebagai daerah siaga bencana.
Jika sekiranya hasil pengkajian menunjukkan akan terjadi curah hujan tinggi, pemerintah akan mengumumkan agar warga siaga, terutama hunian yang di dekat badan sungai. Selain itu, keberadaan pohon di pinggir jalan yang berisiko tumbang akan segera ditebang. Pemerintah juga akan menyiapkan lokasi pengungsian yang dilengkapi dapur umum, dan posko kesehatan. Hal ini agar jika terjadi bencana, sudah ada tempat yang layak, bilamana ada yang mengungsi. Semua itu untuk meminimalkan kerugian harta benda dan korban jiwa.
Dalam sistem Islam, negara benar-benar berperan besar dalam menjalankan seluruh upaya mitigasi hingga penanganan bencana. Hal ini karena kepemimpinan dalam Islam, pemimpin berperan sebagai pengurus urusan rakyat (ra'in), dan sebagai pelindung (junnah) yang bertanggung jawab penuh terhadap keselamatan jiwa rakyatnya. Sebagaimana dalam sabda Rasulullah saw.,
الإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
“Imam (khalifah) adalah ra’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR. Al-Bukhari).
Atas dasar ini, pemerintahan bersistem Islam akan bersungguh-sungguh dalam mengurus rakyatnya. Hal ini karena tanggung jawab mereka bukan hanya di dunia, tetapi juga di akhirat kelak. Demikianlah sistem pemerintahan Islam dalam menanggulangi bencana banjir bandang atau tanah longsor. Dengan demikian, bencana tidak akan terus berulang.
Wallahua'lam bishawab.[]
Sejatinya, langkah pemerintah yang memandang pariwisata sebagai pendongkrak perekonomian, tetapi hanya menambah kekayaan para pemodal alias konglomerat, bukan untuk meningkatkan ekonomi rakyat. Setelah itu,penguasa seolah-olah berlepas tangan atas bencana demi bencana akibat pembangunan yang kapitalistik tersebut
Masalah kompleks ya, hrusnya pemerintah memetakan mana wilayah yg layak dan tidak dihuni, lalu memudahkan warga untuk mendapatkan hunian. Jika sudah terjadi bagaimana mitigasi dan penanganan.
Bencana yang berulang kali terjadi nyatanya tidak membuat para pemangku kebijakan peka. Mereka baru peka ketika ada lahan basah yang bisa menghasilkan keuntungan. Sebuah bukti nyata rusaknya sistem yang diterapkan.
Di dalam sistem kapitalisme, tidak ada barang yang tidak dijual bahkan keindahan alam pun menjadi objek yang diperdagangkan. Keselamatan warga menjadi nomor sekian, yang terpenting adalah cuan dan cuan bagi daerah. Mitigasi bencana hanya wacana setiap terjadi bencana. Pelaksanaannya tidak ada.
Dalam setiap bencana, pemerintah seperti pemadam kebakaran. Baru bereaksi dan sibuk setelah terjadinya bencana. Betul, ini perlunya mitigasi bencana untuk meminimalisasi korban bencana.
Berulangnya bencana mesti menjadi pelajaran. Semestinya hal serupa tofak perlu berulang kembali. Segera menyadari bahwa bencana terjadi karena ditinggalkannya aturan Allah. Selayaknya segera back to sistem Islam. Solusi tuntas segala bencana dsn permasalahan kehidupan secara tepat