Waithood Pengancam Generasi Masih Membayangi

"Tak dapat dimungkiri, bahaya besar akibat adanya fenomena waithood akan dapat memperlebar peluang terjadinya pergaulan bebas. Mengapa? Karena manusia memiliki fitrah melestarikan keturunan (gharizah nau’) yang akan membuat gelisah apabila tertunda atau tidak terpenuhi. Akibat berikutnya adalah kerusakan generasi pun tak dapat dihindari jika pergaulan bebas terjadi kian masif."

Oleh. Khudrot Nisa
(Kontributor NarasiPost.Com)

NarasiPost.Com-Baru-baru ini, putusan Pengadilan Tokyo yang melarang pernikahan sesama jenis (Republika, 30/11) menggegerkan dunia sosial media Twitter. Kendati demikian, satu-satunya negara anggota G7 yang tidak melegalisasi pernikahan sejenis ini tetap menganggap bahwa hak-hak LGBT harus dilindungi dan diperjuangkan sebab termasuk HAM. Menanggapi hal ini, netizen Twitter ramai-ramai mengomentari alasan di balik putusan tersebut. Menurunnya tingkat pertumbuhan populasi Jepang, yakni sebesar -0,5% per 2021 (Worldbank, 2021), digadang-gadang menjadi salah satu alasan. Jika digali lebih dalam, menyusutnya jumlah penduduk Jepang ini bukan tanpa alasan. Hal ini dikarenakan banyaknya penduduk yang memilih untuk tidak menikah dan memiliki anak lantaran alasan ekonomi. Sebagian besar pemuda Jepang lebih memilih untuk melajang karena fokus mengejar karier. Fenomena ini lebih populer disebut waithood.

Waithood, sebuah istilah yang kini dipakai untuk merujuk pada periode penantian dalam rangka menunda pernikahan. Waithood sesungguhnya tidak hanya menjadi tren di negeri Sakura, namun sudah menjadi fenomena global yang terjadi di berbagai negara termasuk Indonesia. Nancy J. Smith, seorang professor asal Amerika yang fokus meneliti tentang agama dan gender di Asia Tenggara, dalam papernya menyatakan bahwa telah terjadi transformasi sosial di kalangan pelajar Yogyakarta karena adanya penundaan pernikahan yang massif dilakukan oleh pelajar, khususnya wanita (Smith-hefner, 2005). Penelitian yang sama juga dilakukan Pew Research Center (2019) menunjukkan bahwa generasi milenial cenderung belum/tidak menikah dibanding generasi sebelumnya pada usia yang sama. Bahkan jumlah orang yang tidak menikah pun diprediksikan akan terus meningkat hingga tahun 2050 (Esteve, dkk., 2020).

Tak dapat dimungkiri, bahaya besar akibat adanya fenomena waithood akan dapat memperlebar peluang terjadinya pergaulan bebas. Mengapa? Karena manusia memiliki fitrah melestarikan keturunan (gharizah nau’) yang akan membuat gelisah apabila tertunda atau tidak terpenuhi. Akibat berikutnya adalah kerusakan generasi pun tak dapat dihindari jika pergaulan bebas terjadi kian masif. Selain itu, kehamilan di usia tua akibat terlalu lama menunda pernikahan memiliki berbagai risiko medis, hingga berpengaruh pada keputusan pasangan untuk memilih opsi childfree atau tidak memiliki anak. Jika hal ini dibiarkan terus-menerus, senantiasa terjadi, bahkan diaruskan dan dijadikan tren, tidak menutup kemungkinan pada akhirnya akan terjadi kepunahan generasi. Padahal, Rasulullah berbangga dengan banyaknya umat muslim di hari kiamat. Beliau saw bersabda, “Nikahilah perempuan yang pecinta (yakni yang mencintai suaminya) dan yang dapat mempunyai anak banyak, karena sesungguhnya aku akan berbangga dengan sebab (banyaknya) kamu di hadapan umat-umat (yang terdahulu).” (Sahih Riwayat Abu Dawud, Nasa’i, Ibnu Hibban dan Hakim dari jalan Ma’qil bin Yasar)

Pada riwayat yang lain disebutkan, “Nikahilah perempuan yang penyayang dan dapat mempunyai anak banyak karena sesungguhnya aku akan berbangga dengan sebab banyaknya kamu di hadapan para Nabi nanti pada hari kiamat.” (Shahih Riwayat Ahmad, Ibnu Hibban dan Sa’id bin Manshur dari jalan Anas bin Malik)

Di sisi lain, fokusnya para wanita dalam mengejar karier, yang merupakan konsekuensi tak terhindarkan karena hidup di era konsumerisme (Himawan, 2020) dan merupakan alasan di balik keputusannya untuk memilih waithood, berpotensi mencabut fitrah perempuan sebagai ummu wa rabbatul bait dan ummu ajyal.

Ada banyak alasan yang melatarbelakangi alasan pemuda memilih waithood. Di antaranya karena merasa tidak siap mental, memiliki masalah kesehatan mental yang harus diselesaikan sebelum memutuskan untuk menikah, trauma dengan gambaran pernikahan saat ini karena banyaknya kasus perceraian, ada kekhawatiran tidak bisa memenuhi kebutuhan hidup keluarga sehingga harus mengejar kemapanan finansial, mengkhawatirkan pendidikan anak yang membutuhkan biaya tinggi, dan lain-lain. Inilah realita kehidupan yang tidak ideal akibat diterapkannya sistem kapitalisme. Fenomena waithood, yang dianggap sebagai solusi dan konsekuensi logis dari sulitnya hidup di sistem yang problematik seperti saat ini, tak bisa dimungkiri adalah suatu fenomena yang lahir dari sistem liberal-kapitalisme. Ide ini dimasifkan oleh feminis atas tuntutan kesetaraan gender dengan propaganda-propagandanya yang menyesatkan bagi perempuan, yang membuat kita merasa berat dalam melengkapi separuh agama.

Kehidupan sekuler-kapitalisme yang melingkupi kehidupan pemuda saat ini semakin menjauhkan mereka dari akidah dan syariat Islam, hingga tak terlintas sedikit pun bagaimana gambaran kehidupan peradaban Islam yang ideal. Sepatutnya, menguatkan akidah dan keyakinan mereka terhadap Allah Swt adalah jalan untuk menyelamatkan generasi dari ancaman waithood. Para pemuda juga mesti dipahamkan mengenai syariat Islam kaffah dan gambaran ideal peradaban Islam yang akan memuliakan dan menyiapkan peran utama mereka sesuai fitrah. Semua ini membutuhkan supporting system untuk merealisasikan kehidupan sebagaimana yang didamba oleh Rasulullah saw.

Telah terukir dalam sejarah Khilafah Islamiah, bahwa Khalifah Umar bin Khattab pernah mendata umatnya siapa saja yang memiliki niat untuk menikah namun belum memiliki modal. Khalifah kemudian memberikan dana dari Baitulmal agar mereka bisa menikah. Selain itu, dukungan negara terhadap peran keibuan kala itu ditunjukkan dengan mengganti kebijakan subsidi yang awalnya hanya untuk bayi yang sudah disapih oleh ibunya, menjadi pemberian santunan bagi setiap bayi yang baru dilahirkan. Hal ini menunjukkan adanya peran penguasa dalam pemenuhan hak-hak rakyat dan memelihara mereka adalah tugasnya. Demikianlah, hanya dengan Islam umat akan terpelihara, dan kehidupan dunia akhirat dapat teraih.[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Kontributor NarasiPost.Com Dan Pegiat Pena Banua
Khudrot Nisa Kontributor NarasiPost.Com
Previous
Gelar Cuma-Cuma, bagi Para Ternama?
Next
Perampok Tambang Itu Bernama Kapitalis
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram