"Namun, adanya pemberian bantuan sosial pun tidak lantas menyelesaikan masalah kemiskinan. Di satu sisi pemerintah memberi bantuan sosial, tetapi pada saat yang sama masyarakat juga harus menghadapi pukulan ekonomi bertubi-tubi karena lonjakan berbagai komoditas kebutuhan hidup."
Oleh. Sartinah
(Tim Penulis Inti NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Nestapa warga miskin di negeri ini seolah tidak pernah berakhir. Sengkarutnya pendataan jumlah penduduk membuat sebagian mereka tak terjangkau bantuan pemerintah. Meski berbagai program pendataan dilakukan untuk memetakan penduduk yang kaya dan miskin, tetapi tak juga menjadi solusi mengurai kemiskinan. Kini, pemerintah kembali menggulirkan program Registrasi Sosial Ekonomi (Regsosek) yang dijalankan oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Program tersebut bahkan memakan anggaran Rp4,17 triliun.
Lantas, mampukah program Regsosek menjadi solusi kemiskinan di negeri ini? Apa sejatinya yang menyebabkan kemiskinan ibarat lingkaran setan yang sulit diberantas? Bagaimana pula solusi hakiki mengatasi kemiskinan?
Kontroversi Regsosek
Berdasarkan data Bps.go.id, Registrasi Sosial Ekonomi (Regsosek) merupakan usaha pemerintah untuk membangun data kependudukan tunggal atau satu data. Dengan terwujudnya program tersebut, pemerintah dapat melaksanakan berbagai programnya secara terintegrasi, tidak tumpang tindih, dan lebih efisien. Data tersebut dapat digunakan untuk meningkatkan kualitas berbagai layanan pemerintah, seperti pendidikan, kesehatan, bantuan sosial, hingga administrasi kependudukan.
Sayangnya, nasib program Regsosek kini terombang-ambing setelah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) mengembalikan Rancangan Peraturan Presiden tentang Reformasi Sistem Perlindungan Sosial yang akan menjadi payung hukum program Regsosek. Direktur Jenderal Perundang-undangan, Dhanana Putra, atas nama Menteri Hukum dan HAM mengatakan, peraturan mengenai sistem perlindungan sosial perlu disusun kembali agar tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan lainnya. Dia pun menyebut bahwa rancangan peraturan tersebut dikembalikan ke Bappenas untuk disempurnakan lagi. (Tempo.co, 27/11/2022)
Pengembalian beleid oleh Kemenkumham karena dipicu penolakan terhadap program Regsosek. Salah satu pihak yang menolak keras program tersebut adalah Kementerian Sosial. Kemensos menyebut, Regsosek tidak perlu lagi dilakukan dengan sensus baru yang menghabiskan anggaran sebesar Rp4,17 triliun. Pasalnya, sudah ada Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) dan data kependudukan di Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) yang dimiliki pemerintah dan dapat dilakukan tanpa mengeluarkan biaya. Di sisi lain, penolakan tersebut juga dipicu oleh permasalahan landasan payung hukum. Artinya, belum ada payung hukum yang mengatur Regsosek.
Standar Kemiskinan
Dalih pemerintah untuk menghapus kemiskinan ekstrem, tampaknya hanya sekadar retorika. Pasalnya, berbagai kebijakan dan program yang dijalankan pemerintah tidak berdampak signifikan terhadap penurunan angka kemiskinan. Meski pemerintah mengeklaim telah berhasil meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang berdampak pada menurunnya angka kemiskinan, tetapi fakta di lapangan berbicara lain. Menurunnya angka kemiskinan terkadang hanya berubah di data semata, tetapi tidak di lapangan.
Saat ini jumlah penduduk miskin berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada Maret 2022, mencapai 26,16 juta orang atau 9,54 persen dari total penduduk Indonesia. Persentase jumlah kemiskinan per Maret 2022 tersebut, diklaim menurun 0,17 persen poin terhadap September 2021, dan menurun 0,60 persen poin terhadap Maret 2021. Sementara garis kemiskinan yang ditetapkan pemerintah pada Maret 2022 adalah sebesar Rp505.469 per kapita per bulan, atau setara Rp16.848 per hari.
Namun, jika mengacu pada standar garis kemiskinan terbaru dari Bank Dunia (World Bank), jumlah penduduk miskin di Indonesia akan bertambah secara signifikan. Dalam laporan terbarunya, Bank Dunia mengubah standar garis kemiskinan yang mengacu pada aturan purchasing power parities (PPP) 2017 yang menggantikan PPP 2011. Bank Dunia menetapkan garis kemiskinan ekstrem menjadi US$2,15 atau setara Rp32.757,4 (dengan kurs Rp15.236 per dolar AS) per orang per hari.
Standar tersebut naik jika dibandingkan dengan PPP 2011, yakni sebesar USS1,9 atau setara Rp28.984,4 per orang per hari. Apabila mengacu pada PPP 2011, jumlah penduduk miskin kelas menengah bawah berkisar 54 juta jiwa. Sedangkan jika mengacu pada standar PPP 2017, jumlahnya akan meningkat menjadi 67 juta jiwa. Hal ini berdasarkan pemaparan Bank Dunia di World Bank East Asia and The Pacific (EAP) Economic Update Oktober 2022. Ini artinya, jumlah penduduk miskin Indonesia berpotensi naik hingga 13 juta jiwa. (Tempo.co, 01/10/2022)
Dari fakta tersebut dapat disimpulkan bahwa standar miskin dan sejahtera hanya ditunjukkan berdasarkan pendapatan per kapita masyarakat. Bukan dari terpenuhinya kebutuhan individu per individu. Jika dilihat lebih teliti, penetapan ambang batas kemiskinan yang ditetapkan pemerintah pun sangat tidak logis. Pasalnya, siapa pun yang memiliki pengeluaran di atas Rp505.469 per kapita per bulan (Rp16.848 per hari), maka dianggap sejahtera.
Mungkinkah orang yang memiliki pendapatan Rp19.000 per hari misalnya, akan cukup untuk memenuhi kebutuhannya dalam sehari? Jumlah tersebut di masa kini hanya cukup untuk makan satu kali saja. Itu pun dengan menu yang sangat sederhana. Sedangkan manusia tak hanya butuh makan untuk bertahan hidup. Dia butuh rumah, pakaian, belanja kebutuhan dapur, transportasi, biaya kesehatan, pendidikan, biaya listrik, dan lainnya yang semuanya itu tidak gratis.
Negara memang tak tinggal diam. Demi mewujudkan target 0 persen kemiskinan pada 2024 mendatang, pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk menurunkan beban pengeluaran masyarakat, mulai dari Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT)/sembako, Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan, Kartu Indonesia Sehat, Bantuan Tunai Pendidikan, Kartu Indonesia Pintar, dan Bantuan Tunai Bersyarat. Sayangnya, tidak semua masyarakat memiliki akses untuk memperoleh bantuan tersebut, salah satunya karena berada di wilayah terpencil dan pemerintah daerah setempat enggan menjangkau mereka.
Namun, adanya pemberian bantuan sosial pun tidak lantas menyelesaikan masalah kemiskinan. Di satu sisi, pemerintah memberi bantuan sosial, tetapi pada saat yang sama masyarakat juga harus menghadapi pukulan ekonomi bertubi-tubi, karena lonjakan berbagai komoditas kebutuhan hidup. Mulai dari naiknya harga beras, BBM, telur, listrik, dan lainnya yang makin menambah berat beban rakyat. Walhasil, kebijakan apa pun yang dikeluarkan pemerintah sejatinya hanyalah solusi tambal sulam.
Akar Masalah Kemiskinan
Kemiskinan menjadi problem klasik di negeri ini. Sekeras apa pun upaya pemerintah menghapus kemiskinan, pasti menemui kegagalan jika tidak mengurai akar masalah dari problem tersebut. Apalagi untuk mewujudkan target penurunan kemiskinan ekstrem hingga 0 persen. Target tersebut rasanya mustahil jika kebijakan pemerintah masih menggunakan paradigma kapitalisme.
Dalam sistem kapitalisme yang banyak dianut negara-negara di dunia termasuk Indonesia, kemakmuran sebuah negara diukur berdasarkan pertumbuhan ekonomi. Ada dua faktor yang dianggap memberikan sumbangsih bagi pertumbuhan ekonomi dalam ukuran pendapatan per kapita, yakni faktor produksi modal dan tenaga kerja. Berdasarkan fakta tersebut, pemerintah sibuk meningkatkan produksi agar dapat menghasilkan Pendapatan Nasional Bruto (PNB) atau Gross National Product (GNP) yang tinggi, serta meningkatkan pendapatan per kapita demi mencapai pertumbuhan ekonomi.
Sayangnya, pemerintah lupa bahwa pertumbuhan ekonomi yang tinggi tetapi tidak dibarengi dengan pemerataan ekonomi, akan mengakibatkan ketimpangan yang mengkhawatirkan. Lihatlah faktanya di negeri ini, yang kaya makin berjaya, sedangkan yang miskin kian merana. Selama fokus perhatian pemerintah hanya pada peningkatan produksi tetapi mengabaikan distribusi kekayaan, maka kemiskinan akan tetap terjadi.
Di sisi lain, kapitalisme yang menjamin kebebasan kepemilikan individu telah melegalkan siapa pun memiliki harta sebanyak apa pun, termasuk barang-barang kepemilikan umum. Seperti tambang-tambang besar, minyak bumi, pelabuhan, jalan tol, dan sebagainya. Prinsip pembangunan yang berdasarkan pada paradigma kapitalisme tersebut, justru mengakibatkan penumpukan kekayaan hanya pada segelintir orang. Sementara rakyat yang tidak dapat menikmati hasil pembangunan tersebut, makin terperangkap ke dalam jerat kemiskinan. Walhasil, selama kapitalisme masih diterapkan, maka kemiskinan akan tetap terjadi. Negeri ini butuh perubahan sistemis untuk bisa lepas dari jeratan kemiskinan.
Solusi Kemiskinan
Kemiskinan struktural yang disebabkan oleh sistem hanya mampu diselesaikan dengan solusi struktural pula. Satu-satunya sistem yang mampu mengatasi kemiskinan adalah Islam. Dalam Islam, kemiskinan diartikan sebagai kondisi di mana tidak terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan pokok secara menyeluruh. Sementara itu, kebutuhan pokok yang ditetapkan oleh Islam berupa sandang, pangan, dan papan. Firman Allah Swt. dalam surah Al-Baqarah ayat 233, "Kewajiban ayah adalah memberikan makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang makruf."
Islam memandang, seseorang yang tidak mampu memenuhi kebutuhan pokoknya digolongkan sebagai fakir atau miskin. Secara spesifik, Syekh Taqiyuddin an-Nabhani menjelaskan bahwa orang yang memiliki harta (uang), tetapi tidak mencukupi kebutuhan pembelanjaannya dikategorikan sebagai fakir. Sedangkan, miskin adalah orang yang tidak memiliki harta sekaligus tidak punya penghasilan. (Nidzamul Iqtishadi fil Islam, hal. 236)
Sejatinya problem utama kemiskinan jika ditinjau dari sistem ekonomi Islam adalah buruknya distribusi kekayaan di tengah masyarakat. Sebagai agama paripurna, Islam memiliki solusi yang khas dalam menyelesaikan problem kemiskinan. Beberapa langkah tersebut adalah:
Pertama, adanya jaminan pemenuhan kebutuhan pokok. Pemenuhan kebutuhan pokok setiap individu masyarakat menjadi tanggung jawab negara sepenuhnya. Selain kebutuhan pokok individu (sandang, pangan, dan papan), negara juga menjamin pemenuhan kebutuhan pokok masyarakat berupa pendidikan, kesehatan, dan keamanan. Sedangkan mekanisme pemenuhan kebutuhan pokok dapat diwujudkan dengan mewajibkan laki-laki memberi nafkah kepada diri dan keluarganya; mewajibkan kerabat dekat untuk membantu saudaranya; mewajibkan negara untuk membantu rakyat miskin; dan mewajibkan kaum muslim untuk membantu rakyat miskin.
Kedua, pengaturan kepemilikan. Syariat Islam telah mengatur tentang kepemilikan sedemikian rupa, sehingga dapat mencegah munculnya masalah kemiskinan. Pengaturan kepemilikan penting untuk dilakukan, karena memiliki kaitan erat dengan masalah kemiskinan. Pengaturan kepemilikan tersebut menyangkut tiga aspek, yakni jenis-jenis kepemilikan, pengelolaan kepemilikan, dan distribusi kekayaan di tengah masyarakat.
Terkait dengan jenis-jenis kepemilikan, Islam mendefinisikan kepemilikan sebagai izin dari asy-Syari' (pembuat hukum) untuk memanfaatkan suatu benda. Islam pun telah membagi kepemilikan menjadi tiga, yakni kepemilikan individu, kepemilikan umum, dan kepemilikan negara. Masing-masing kepemilikan tersebut dikelola berdasarkan prinsip syariat Islam dan ditujukan demi kemaslahatan rakyat.
Berikutnya terkait dengan pengelolaan kepemilikan. Islam membagi pengelolaan kepemilikan melalui dua aspek, yaitu pengembangan harta dan penginfakan harta. Islam mengatur pengembangan harta dan penginfakan harta melalui berbagai hukum. Sebagai contoh, Islam melarang mengembangkan hartanya dengan cara ribawi atau melarang seseorang bersifat kikir.
Selanjutnya terkait distribusi kekayaan di tengah masyarakat. Faktor kemiskinan saat ini disebabkan oleh buruknya distribusi kekayaan di tengah-tengah masyarakat. Karena itu, Islam menempatkan distribusi kekayaan sebagai faktor utama penyelesaian masalah kemiskinan. Dengan mengamati hukum syarak yang berkaitan dengan sistem ekonomi, maka hukum-hukum tersebut selalu mengarah pada terwujudnya pemerataan distribusi kekayaan di tengah masyarakat.
Ketiga, penyediaan lapangan kerja. Negara adalah pihak yang bertanggung jawab menyediakan lapangan pekerjaan. Hal ini sebagaimana tercantum dalam hadis riwayat Bukhari dan Muslim, "Seorang imam (pemimpin) adalah raa'in dan dia akan diminta pertanggungjawaban atas urusannya (rakyatnya)."
Keempat, penyediaan layanan pendidikan. Kemiskinan acapkali terjadi karena rendahnya kualitas sumber daya manusia, baik dari sisi kepribadian maupun keterampilan. Masalah kemiskinan tersebut dapat diselesaikan dengan penyediaan layanan pendidikan oleh negara. Pendidikan berbasis akidah akan mewujudkan dua hal sekaligus, yakni terbentuknya kepribadian Islam yang kokoh dan memiliki keterampilan untuk berkarya. Negara pun wajib memberikan layanan pendidikannya secara gratis kepada rakyatnya.
Khatimah
Kemiskinan yang terjadi di negeri ini tidak akan mampu diselesaikan hanya dengan penataan ulang pendataan warga miskin melalui Regsosek. Negara butuh solusi fundamental agar rakyat benar-benar lepas dari lingkaran setan kemiskinan. Seharusnya para pemimpin membuka mata dan hati, bahwa kemiskinan struktural yang menjerat negeri ini karena mereka tidak hidup dalam naungan Islam. Hanya dengan kembali pada Islam dan seluruh syariatnya, problem kemiskinan bisa diselesaikan secara tuntas.
Wallahu a'lam[]