"KCJB hanyalah satu dari banyaknya proyek yang hanya mengejar pengembalian modal dan keuntungan semata, tanpa melihat keamanan serta kemanfaatannya bagi masyarakat."
Oleh. Sartinah
(Tim Penulis Inti NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) kembali menjadi sorotan. Proyek ambisius yang proses pembangunannya dimulai sejak 16 Januari 2016 silam tersebut terus diterpa masalah. Mulai dari keuangan, hingga masalah konstruksi di lapangan yang berujung pada insiden kecelakaan. Tak hanya sekali, insiden kecelakaan di tengah pembangunan proyek bahkan terjadi beberapa kali, mulai dari ledakan pipa di sekitar lokasi proyek hingga tiang jalur yang roboh. Kini, megaproyek yang dikebut pengerjaannya demi mengejar target operasi pada Juni 2023 mendatang, kembali mengalami insiden.
Dikutip dari Suara.com (19/12/2022), sebuah kereta kerja pada proyek pengerjaan KCJB anjlok atau keluar jalur. Peristiwa tersebut terjadi di Kampung Campaka, Desa Campakamekar, Kecamatan Padalarang, Kabupaten Bandung Barat, pada Minggu (18/12/2022). Insiden tersebut telah mengakibatkan jatuhnya korban sebanyak enam orang yang terdiri dari dua orang meninggal dunia, dua orang luka berat, dan dua lainnya mengalami luka ringan.
Akibat anjloknya kereta kerja tersebut, Kementerian Perhubungan menghentikan sementara proyek pembangunan KCJB untuk dilakukan investigasi lebih lanjut. Juru Bicara Kemenhub, Adita Irawati mengatakan, penghentian akan dilakukan di ruas jalur terdampak insiden kereta anjlok yang terjadi pada lokasi Track Laying KCJB pada ruas jalur DK 102+309. Dari sini muncul pertanyaan, jika saat proses pembangunannya saja sudah rawan kecelakaan, lantas bagaimana ketika sudah beroperasi? Mungkinkah KCJB dikerjakan setengah hati demi mengejar target operasi?
Anggaran Berlipat Minim Keamanan
Pembangunan infrastruktur memang menjadi target selama masa pemerintahan Presiden Joko Widodo. Sebabnya, banyak kalangan menilai jika pembangunan infrastruktur selama ini hanya berpusat di Pulau Jawa. Tak hanya itu, Indonesia pun dinilai jauh tertinggal dari negara-negara lain terkait pembangunan infrastruktur. Karena itu, sejak awal pemerintahannya Jokowi banyak memasukkan infrastruktur dalam Proyek Strategis Nasional.
Namun, proyek ini pun bukan tanpa masalah. Salah satunya soal pembiayaan yang mengalami pembengkakan hingga beberapa kali. Berdasarkan catatan Detik.com pada 2021 silam, biaya awal KCJB dibangun dengan investasi US$5,573 miliar. Kemudian nilai proyek tersebut mengalami pembengkakan menjadi US$5,98 miliar dan kembali melonjak menjadi US$6,071 miliar. Dan pada September 2021, biayanya kembali membengkak menjadi US$7,97 miliar atau Rp113 triliun. Dan pada November 2022, disebut-sebut biayanya melonjak lagi dengan kenaikan sebesar US$1,449 miliar atau sekitar Rp22,7 triliun lebih. (Detik.com, 10/11/2022)
Dengan dana sebesar itu tak lantas membuat proyek KCJB aman dari insiden kecelakaan. Hal ini dikuatkan dengan fakta-fakta kecelakaan selama proses pengerjaannya. Bahkan, insiden kecelakaan tak hanya terjadi pada proyek KCJB saja. Misalnya saja, infrastruktur yang dibangun selama beberapa tahun pemerintahan Jokowi, baik yang baru selesai maupun sementara dibangun kerap diwarnai banyak kecelakaan.
Sebelum insiden anjloknya kereta kerja KCJB, beberapa kecelakaan lain pun telah terjadi. Mulai dari plafon LRT Palembang yang ambruk, tiang girder jalan tol Becakayu di Jakarta Timur yang roboh, plafon Bandara Internasional Soekarno-Hatta yang juga ambruk, serta robohnya crane proyek tol layang Bogor Our Ring Road (BORR). Serta proyek-proyek lainnya yang juga diwarnai insiden kecelakaan. Kecelakaan-kecelakaan tersebut umumnya menelan korban jiwa maupun kerugian yang tidak sedikit.https://narasipost.com/2021/08/11/utang-proyek-kcjb-bertambah-di-saat-rakyat-terengah-engah/opini/
Tak bisa dimungkiri, infrastruktur memang menjadi hal penting bagi kemajuan sebuah negara dan kesejahteraan masyarakatnya. Namun, meskipun infrastruktur penting, tetapi dalam pembangunannya haruslah tetap memperhitungkan berbagai aspek secara matang baik dari sisi manfaat, kualitas, maupun sumber pendanaannya agar tidak kontraproduktif. Sebagaimana yang terjadi saat ini, pemerintah begitu jorjoran membangun infrastruktur, tetapi melalaikan manfaat, kualitas, keamanan, termasuk kemampuan negara dalam hal pendanaannya.
Munculnya berbagai kecelakaan dalam proyek-proyek infrastruktur pemerintah, sejatinya mengindikasikan beberapa hal. Pertama, rendahnya kualitas proyek bangunan infrastruktur tersebut. Kedua, dikhawatirkan telah terjadi korupsi dalam proses pengerjaannya, sehingga proyek dikerjaan ala kadarnya. Ketiga, proses pengerjaan dilakukan secara terburu-buru, sehingga bangunan infrastruktur tidak sesuai SOP (standard operating procedure). Keempat, tidak berjalannya fungsi pengawasan sebagaimana mestinya. Kelima, kurangnya koordinasi antarinstansi pemerintah.
Beberapa faktor tersebut ditengarai menyebabkan kecerobohan dalam proses pembangunan. Kecerobohan tersebut akhirnya menghasilkan infrastruktur dengan kualitas rendah yang mengabaikan faktor keamanan dan keselamatan, baik saat proses pengerjaannya maupun setelah selesai.
Memburu Untung
Sudah lazim terjadi dalam sistem kapitalisme bahwa proyek-proyek yang dikerjakan pemerintah pada umumnya bersifat komersial. Artinya, pemerintah akan menjual jasa infrastruktur tersebut kepada rakyat dengan harga yang relatif mahal. Sebut saja, tiket KCJB yang direncanakan sebesar Rp350.000 untuk rute terjauh. Dengan harga tersebut pemerintah memperkirakan akan balik modal dalam dalam jangka 30 atau 40 tahun. Namun, jika ditilik lebih mendalam, hal ini sungguh irasional. Dengan harga tiket Rp350.000 dan asumsi penggunanya full dalam setiap keberangkatan misalnya, sangat tidak mungkin untuk mengembalikan modal dalam jangka waktu 40 tahun. Bahkan, menurut beberapa analisis, break event point (titik impas) tersebut bisa mencapai ratusan tahun.
Dengan harga tiket semahal itu, tentu tidak semua masyarakat mampu menjangkaunya. Maka, bisa dipastikan hanya masyarakat kalangan atas yang akan menikmati infrastruktur tersebut. Selain itu, banyaknya kasus kecelakaan dalam proyek-proyek infrastruktur pemerintah turut menurunkan kepercayaan publik terhadap kualitas dan standar keamanan konstruksi. Walhasil, masyarakat akan berpikir ulang untuk menggunakannya, sampai benar-benar ada jaminan keamanan. KCJB hanyalah satu dari banyaknya proyek yang hanya mengejar pengembalian modal dan keuntungan semata, tanpa melihat keamanan serta kemanfaatannya bagi masyarakat.https://narasipost.com/2022/08/06/teror-biaya-berlipat-kereta-api-cepat/opini/
Inilah sejatinya relasi antara negara dengan rakyat dalam sistem kapitalisme liberal. Negara ibarat pedagang yang selalu berhitung untung rugi ketika berurusan dengan konsumen, yakni rakyatnya. Selain itu, infrastruktur yang seharusnya menjadi sarana penunjang kesejahteraan rakyat, kini ibarat lahan bisnis menggiurkan bagi para oligarki.
Infrastruktur Aman dan Berkualitas
Infrastruktur dalam sistem kapitalisme yang dibangun hanya berorientasi pada keuntungan, tentu bertolak belakang dengan Islam. Dalam Islam, infrastruktur merupakan hal yang sangat penting dalam membangun dan meratakan ekonomi, demi terciptanya kesejahteraan rakyat. Karena itu, negara di bawah institusi Khilafah wajib membangun infrastruktur dengan baik, berkualitas, dan merata ke seluruh pelosok negeri.
Hal ini dilakukan karena Khilafah wajib menyejahterakan rakyatnya. Sedangkan, salah satu sebab terwujudnya kesejahteraan adalah terpenuhinya sarana dan prasarana, di antaranya adalah infrastruktur. Sebab, infrastruktur berfungsi untuk memperlancar distribusi dan pemenuhan berbagai kebutuhan rakyat.
Salah satu contoh terbaik perhatian negara terhadap infrastruktur dapat dilihat pada masa Kekhilafahan Umar bin Khattab. Dalam buku The Great Leader of Umar bin Khattab, halaman 314-316, dikisahkan bahwa Khalifah Umar membangun infrastruktur khususnya jalan dan semua yang berkaitan dengan sarana dan prasarana jalan dengan sangat baik dan berkualitas. Sementara untuk pendanaanya, Khalifah Umar menyediakan dana khusus dari pos baitulmal, dan bukan dari utang.
Ditambah pula, dengan penyediaan sejumlah besar unta secara khusus, karena saat itu unta menjadi alat transportasi yang ada, untuk memudahkan perpindahan bagi orang yang tidak memiliki kendaraan antara berbagai Jazirah Syam dan Irak. Khalifah juga mendirikan pos (semisal rumah singgah), yang berfungsi sebagai tempat penyimpanan anggur, kurma, sawiq, dan jenis makanan lainnya, yang diperuntukkan bagi ibnusabil.
Tak hanya itu, Khalifah Umar bahkan mengambil kebijakan yang tak masuk akal, yakni menggali sungai yang telah tertimbun tanah. Saat itu, khalifah mengetahui bahwa sebelumnya ada sungai yang mengalir di antara Nil di dekat Benteng Babilonia hingga ke Laut Merah. Sungai itu sebelumnya pernah menyatukan antara Mesir dan Hijaz yang keberadaannya mempermudah perdagangan. Saking besarnya perhatian Khalifah Umar terhadap infrastruktur, hingga mengambil kebijakan yang mungkin saat ini dianggap tidak rasional. Setelah dibukanya sungai tersebut, aktivitas perdagangan di tempat itu pun kembali ramai yang meniscayakan terwujudnya kesejahteraan.
Demikianlah seharusnya perhatian penguasa demi mewujudkan kesejahteraan rakyatnya. Seperti tertuang dalam hadis riwayat al-Bukhari, "Pemimpin negara adalah pengurus rakyat dan dia bertanggung jawab atas rakyat yang dia urus."
Satu hal yang tak kalah penting, Khalifah Umar memastikan bahwa setiap infrastruktur yang dibangun harus berorientasi untuk kesejahteraan rakyat dan kemuliaan Islam. Meski Khilafah tak menampik kerja sama dengan pihak ketiga (negara asing), tetapi kerja sama tersebut haruslah menguntungkan bagi umat Islam. Bukan kerja sama seperti saat ini yang justru membuat negara terjerumus dalam jebakan utang hingga melemahkan posisi negara. Pasalnya, utang terhadap negara asing atau pihak ketiga akan membuat negara bertekuk lutut di bawah tekanan pihak pemberi utang.
Khatimah
Pembangunan infrastruktur di bawah pengasuhan sistem kapitalisme hanya menambah ceruk keuntungan bagi para kapitalis. Fakta semacam ini akan tetap ada dan menggurita selama sistem kapitalisme masih diemban. Pembangunan infrastruktur benar-benar akan aman, berkualitas, merata, dan bermanfaat bagi kesejahteraan rakyat, jika dibangun dengan spirit menerapkan syariat Islam. Dengan spirit tersebut pula, pembangunan infrastruktur yang menggunakan dana besar sekalipun akan mudah dilakukan tanpa melanggar syariat Islam (tanpa riba). Lebih dari itu, pembangunan di bawah naungan Khilafah akan tetap menjaga martabat Islam dan kaum muslim di mata pihak ketiga (asing).
Wallahu a'lam bishshawab[]