Politik Uang : Bukti Mahal dan Gagalnya Sistem Demokrasi

”Sebenarnya, sistem demokrasi dengan mekanisme pemilihan umum telah mendukung terjadinya politik uang. Bukankah, sudah menjadi rahasia umum jika praktik politik uang, seperti suap-menyuap sering mewarnai kegiatan pemilu di negeri ini.”

Oleh. Muthiah Al Fath
(Tim Penulis Inti NarasiPost.Com)

NarasiPost.Com-Istilah ’politik uang' bukanlah hal yang baru dalam sistem demokrasi. Sebagaimana James Pollock (1920) menyatakan, “Relasi antara uang dan politik akan terus menjadi persoalan besar dalam demokrasi dan pemerintahan.” Kalimat tersebut senada dengan pernyataan Mahfud MD, saat pidato kunci dalam webinar Pilkada dan Konsolidasi Demokrasi Lokal (5/9/2020), bahwa politik uang tidak bisa dihindari dalam Pilkada langsung maupun tidak langsung.

Selain itu, dalam acara Konsolidasi Nasional Bawaslu di Jakarta (17/11), presiden Jokowi mengakui bahwa politik uang masih terus berlangsung di setiap gelaran pemilu di negeri ini. Pengakuan ini disampaikan Presiden karena berdasarkan pengalamannya saat berlaga pada pemilihan wali kota Solo, gubernur, hingga pemilihan presiden. (Tempo.co, 18/12/2022)

Ternyata, sudah menjadi rahasia umum bahwa setiap diadakan hajatan demokrasi, praktik politik uang amat kental membudaya di negeri ini. Sungguh, membuat kita geleng-geleng. Mengapa sistem kufur ini masih juga dipertahankan di negeri yang mayoritas umat muslim? Padahal, jelas-jelas praktik politik uang melanggar syariat Islam. Lantas, apakah dengan adanya pengawasan dan sanksi, politik uang dapat hilang dari aktivitas pemilu?

Demokrasi Menciptakan Budaya Politik Uang

Sebenarnya, sistem demokrasi dengan mekanisme pemilihan umum telah mendukung terjadinya politik uang. Bukankah, sudah menjadi rahasia umum jika praktik politik uang, seperti suap-menyuap sering mewarnai kegiatan pemilu di negeri ini. Mulai dari institusi kecil, seperti kepala desa, legislatif, kepala daerah, hingga presiden, nyaris tidak ada yang suci dari praktik politik uang.

Kekurangan mendasar dari sistem demokrasi adalah tidak adanya proses seleksi dan proses evaluasi (yang melibatkan publik) terhadap para kandidat yang disodorkan. Sehingga, tidak ada standar dasar bagi partai untuk menimbang, apakah para calon ini layak atau tidak untuk menjadi pemimpin kelak. Semua hanya berstandarkan materi semata. Akibatnya, kecil kemungkinan para calon yang disodorkan mempunyai integritas sebagai pemimpin.

Terlebih lagi jika calon tersebut mempunyai rekam jejak yang buruk, maka jual beli suara merupakan pilihan yang instan untuk memobilisasi pemilih. Uang politik inilah yang masif digunakan untuk membangun dan mengenalkan citra baiknya ke masyarakat.

Kemudian, tim sukses akan menganalisis kekuatan dan tantangan untuk menyusun strategi pemenangan yang efektif. Tak jarang, meskipun cara-cara ilegal seperti suap menyuap menjadi pilihan nantinya. Pokoknya, yang penting menang dan berhasil menduduki kursi jabatan.

Adanya politik uang juga berawal dari proses panjang yang tidak hanya dilakukan di waktu-waktu pemilu saja. Mulai dari membayar partai politik, tim sukses, organisasi masyarakat, penyelenggara pemilu, baliho, kaos, kalender, bahkan media harus ambil peran untuk menarik hati rakyat.

Tidak bisa dimungkiri, penyebab terjadinya praktik politik uang disebabkan adanya rasa takut kalah bersaing, dan keinginan kuat untuk menduduki kursi jabatan. Tak jarang, para kandidat yang pernah berpartisipasi pada pemilu sebelumnya, tentu lebih ahli dalam politik uang, dan dipastikan akan mengulangi hal yang sama.

Ditambah lagi, uang dan hadiah dianggap sebagai rezeki bagi masyarakat yang tidak boleh ditolak. Karena sudah diberi, maka secara otomatis masyarakat tersebut harus memilih dan ikut menyukseskan kandidat tersebut. Semua itu dilakukan sebagai ungkapan terima kasih dan rasa balas budi terhadap kandidat yang telah memberi uang.

Parahnya, terkadang politik uang tidak hanya digunakan untuk membeli suara rakyat. Lebih dari itu, politik uang digunakan untuk menyuap penyelenggara pemilu di tahap perhitungan serta rekapitulasi suara, bahkan, sampai sogokan dalam penyelesaian sengketa hasil pemilu.

Sampai detik ini, para pelaku politik uang yang telah berhasil menduduki kursi jabatan, tidak pernah terungkap apalagi menjadi tahanan. Artinya, tidak ada ketegasan hukum pidana bagi pelaku politik uang di negeri ini. Hal ini semakin membuktikan ketidakmampuan regulasi dan Bawaslu, beserta Gakkum dalam mengungkap tuntas kasus-kasus tersebut. Pun mahar politik tidak akan hilang dengan sekadar larangan dan ancaman sanksi dalam UU No.10 tahun 2016 tentang Pilkada, dan UU No.7 tahun 2017 tentang Pemilu.

Dampak Negatif

Berawal dari pencitraan yang sudah dipolitisasi dengan sedemikian rupa dan sangat menguras kantong para kandidat. Terpilihlah kandidat yang sebelumnya telah mengeluarkan modal besar. Alhasil, rakyat kembali dipimpin oleh pejabat yang sibuk mencari uang untuk mengembalikan modal saat bertarung dalam pemilihan. Tak jarang, pemimpin tidak berempati dalam mengeluarkan keputusan zalim yang jauh dari rasa kemanusiaan. Misalnya, kebijakan menaikkan pajak, di saat yang sama juga menaikkan harga BBM, namun gaji tak kunjung naik. Akhirnya, kondisi rakyat semakin tercekik dan jauh dari kesejahteraan.

Belum berkuasa saja sudah berani melakukan kecurangan, lantas apa yang membuat mereka tidak berani melakukan kecurangan setelah menduduki kursi kekuasaan? Modal politik yang mahal, dan gaji yang ternyata tidak mampu mengembalikan modal awal, ditambah lagi hukum pidana bagi koruptor yang ringan. Akhirnya, hampir bisa dipastikan, sistem demokrasi semakin membuka celah lebar terjadinya kejahatan korupsi.

Tidak heran jika banyak kepala daerah yang akhirnya terjerat korupsi. Berdasarkan data, sejak tahun 2004 hingga 3 Januari 2022, terdapat 148 Bupati/Wali Kota dan tak kurang 22 Gubernur telah ditindak oleh KPK. ICW juga mencatat, sepanjang tahun 2010 hingga Juni 2018, terdapat 253 kepala daerah ditetapkan sebagai tersangka korupsi oleh aparat penegak hukum. Tentu saja kasus ini, sekali lagi ibarat fenomena gunung es. Artinya, masih banyak yang belum terungkap.

Selanjutnya, para kapitalis (pengusaha) yang menjadi penyokong para kandidat tetap berprinsip, “Tidak ada makan siang gratis”. Kemudian mereka akan mengontrol para politisi untuk membuat rancangan UU yang menguntungkan dan memuluskan usaha mereka.

Sistem ini juga rawan dari campur tangan asing karena kebanyakan para penyokong berasal dari negara-negara imperialis. Selanjutnya, lahirlah pemimpin dan politisi-politisi boneka yang kapan saja dapat dikendalikan. Hasilnya sudah bisa ditebak, terjadilah eksploitasi SDA di negeri ini. Namun, hasilnya untuk segelintir orang, dan negeri ini hanya mendapat limbah dan asap pabriknya saja. Oleh sebab itu, publik harus mencampakkan sistem demokrasi kufur ini, dan bukan malah melakukan restorasi.

Hukum Politik Uang dalam Islam

Dalam sistem pemerintahan Islam, politik pada dasarnya sangat mulia, yakni sebagai perantara bagi tujuan terselenggaranya masyarakat yang adil, aman, dan sejahtera. Politik Islam tidak dilakukan secara membabi buta, hingga mengorbankan tujuan mulia dari politik itu sendiri.

Jika melihat dari mekanismenya, politik uang dapat digolongkan sebagai aksi suap (rasywah). Islam melarang tegas terkait praktik politik uang semacam itu. Oleh karena itu, pemberian hadiah dalam bentuk uang, kaos, dan lain sebagainya, dari paslon dengan maksud agar penerima memilihnya, termasuk kategori rasywah. Sebab, di balik pemberiannya itu mengandung niat terselubung yang jelas-jelas agar penerima hadiah memilih dirinya. Dari Ibnu Umar r.a., ia berkata, "Rasulullah saw. melaknat orang yang memberi suap dan yang menerima suap." (HR. Abu Dawud, HR. Tirmidzi, HR. Ibnu Majah)

Mekanisme Baiat

Proses baiat (pemilihan) pemimpin dalam Islam berbiaya murah, namun efektif menghasilkan output yang berkualitas dan amanah. Sebab, aturan negara dan seorang pemimpin selalu bersandar pada aturan Ilahi. Calon pemimpin yang terpilih bukan figur yang gila jabatan, namun orang terdepan yang ingin mewujudkan amanah. Meyakini adanya pertanggungjawaban di akhirat kelak, membuat para pemimpin tak berani bertindak sesuka hati. Rasulullah Muhammad saw. pernah bersabda, "Tidaklah seseorang diamanahi memimpin suatu kaum kemudian ia meninggal dalam keadaan curang terhadap rakyatnya, maka diharamkan baginya surga." (HR. Muslim)

Tidak seperti sistem demokrasi yang bertele-tele, mekanisme pengangkatan khalifah berlangsung dalam waktu yang sangat singkat (paling lama 3 hari 3 malam). Tentu saja dengan waktu sesingkat itu, dapat memangkas biaya politik yang mahal.

Proses baiat pun tidak bersifat reguler, seperti 5 tahun sekali yang menyedot biaya yang sangat mahal. Khalifah tetap menjadi kepala negara selama ia mampu dan tidak melanggar syariat Islam. Pun kepala daerah yang dipilih oleh khalifah, kapan saja boleh diberhentikan olehnya, jika terbukti menyalahi aturan. Dengan ini, negara tidak disibukkan oleh Pilkada rutin yang menguras dana dan energi, serta rentan menimbulkan konflik.

Jika khalifah menjadi diktator, maka rakyat tidak perlu khawatir. Sebab, rakyat diperbolehkan mengoreksi kepala negara yang menyimpang dari syariat dan kewajibannya. Terdapat Mahkamah Mazhalim yang akan mengadili dan mengawasi perselisihan antara rakyat dan penguasa.

Sistem politik Islam juga akan membabat habis dominasi kapitalis dalam pembuatan UU yang berbahaya dan mengancam umat. Sebab, kedaulatan ada di tangan syariat, bukan manusia, apalagi oligarki. Para kapitalis tidak akan diberi celah untuk memengaruhi dan membuat kebijakan maupun produk hukum, sebagaimana demokrasi saat ini.

Sadarlah, umat Islam jangan mau memilih pemimpin yang sedari awal telah melakukan kecurangan. Realitasnya, politik uang tidak hanya merusak integritas pemilu, tetapi juga berdampak panjang pada lahirnya kebijakan zalim, dan korupsi yang tiada henti.

Sistem politik yang bersumber dari wahyu Sang Pencipta, yakni Al-Quran dan As-Sunah. Hal ini membuat khalifah dan para pejabat negara akan menerapkan syariat Islam kaffah dan senantiasa menggali hukum-hukum Islam berdasarkan sumbernya. Oleh karena itu, kembalilah pada sistem politik Islam yang tegas melarang aksi suap-menyuap. Sehingga, pergantian kepemimpinan dapat berjalan efektif, murah, dan efisien. Wallahu a’lam bishawwab.[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Tim Penulis Inti NarasiPost.Com
Muthiah Al Fath Salah satu Penulis Tim Inti NarasiPost.Com. Pemenang Challenge NP dengan reward Laptop 256 GB, penulis solo Meraki Literasi dan puluhan buku antologi NarasiPost.Com
Previous
Gelar Bergengsi, Bukan Lagi Karena Prestasi
Next
Sakinah Bersamamu
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

1 Comment
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram