”Selain urusan atau posisi yang berkaitan dengan pemerintahan secara langsung, maka perempuan dan muslimah boleh mengambil kesempatan untuk masuk di ranah tersebut.”
Oleh. Firda Umayah
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Dewasa ini, peran perempuan hampir selalu hadir di setiap aspek kehidupan. Termasuk dalam sistem pemerintahan. Terlebih lagi menjelang pemilu 2024, calon pemimpin perempuan diprediksi akan kembali bermunculan. Dilansir dari Tempo.co (22-11-2022), Puan Maharani, Ketua DPR RI adalah satu-satunya capres (calon presiden) dari partai yang akan maju dalam ajang Pilpres (Pemilihan Presiden) pada tahun 2024. Tak hanya itu, adanya ide kesetaraan gender juga dianggap sebagai ide yang telah mengangkat derajat wanita. Benarkah demikian?
Faktanya, Islam memandang bahwa laki-laki dan perempuan memiliki kedudukan yang sama di hadapan Allah Swt. Hal ini sejalan dengan firman-Nya dalam Al-Qur'an surah Al-Hujurat ayat 13. "Sungguh, orang yang paling mulia di antara kamu sekalian adalah orang yang paling tinggi takwanya (kepada Allah)." Hanya saja, Islam juga memiliki pandangan khas antara peran laki-laki dan perempuan di dalam beberapa hal.
Meski demikian, Barat selalu menggiring opini bahwa merekalah yang mengeluarkan kaum perempuan dari pandangan yang rendah kepada kedudukan yang tinggi. Barat juga menciptakan citra buruk terhadap umat Islam dengan ilustrasi negatif yang hadir dalam berbagai konten lelucon, kartun berbau timur tengah, dan hal lain yang dianggap sebagai gambaran atas peradaban Islam.
Peran Umum Perempuan
Secara umum, Islam membagi peran perempuan ke dalam dua ranah. Yaitu ranah domestik dan publik. Ranah domestik mencakup kewajiban perempuan sebagai seorang muslimah, ibu dan pengatur rumah tangga. Ranah publik mencakup peran perempuan sebagai anggota masyarakat dan publik figur.
Dalam ranah domestik, kemuliaan seorang perempuan terletak dari posisinya sebagai ibu, pengatur rumah tangga dan pendidik generasi. Begitu mulianya tugas ibu, sehingga ibu harus lebih dulu dihormati oleh anak-anaknya. Dalam ranah publik, Islam memberikan kewajiban yang sama antara laki-laki dan perempuan. Muslimah memiliki kewajiban untuk menuntut ilmu, mengemban dakwah, melakukan interaksi sosial dan beraktivitas di dalam kehidupan umum. Muslimah juga boleh terjun ke ranah publik dengan mengambil profesi tertentu. Termasuk terjun ke dalam aspek muamalah, pemerintahan, hukum dan sosial.
Perempuan dalam Pemerintahan
Meski Islam membolehkan perempuan khususnya muslimah terjun ke dalam aspek pemerintahan, namun tidak semua posisi boleh diambil. Posisi menjadi kepala negara, kepala wilayah atau kedudukan lain yang berkaitan langsung dengan urusan pemerintahan, mengambil dan menetapkan kebijakan maka seorang perempuan termasuk muslimah tidak boleh mengambilnya.
Larangan ini sebagaimana sikap Rasulullah saw. kepada penduduk Persia yang kala itu memiliki kepala negara seorang perempuan. Selain itu, dalam Al-Qur'an surah An-Nisa' ayat 34 juga dijelaskan bahwa laki-laki adalah pemimpin (qawwam) bagi perempuan. Maka makna qawwam di sini adalah memimpin, mengepalai, mendidik, menjaga, mengurusi segala urusan dan kebutuhan.
Selain urusan atau posisi yang berkaitan dengan pemerintahan secara langsung, maka perempuan dan muslimah boleh mengambil kesempatan untuk masuk di ranah tersebut. Misalnya menjadi pegawai di kantor pemerintahan, petugas di bagian administrasi, atau yang lainnya. Hal ini karena statusnya sebagai pekerja bukan pemimpin. Sehingga, ia berhak mendapatkan upah (gaji) seperti halnya saat bekerja di sebuah perusahaan, pabrik atau lainnya.
Perempuan dalam Majelis Umat
Dalam sistem demokrasi, peran perempuan dalam sistem pemerintahan juga tak lepas dari parlemen yang terdiri dari badan legislatif, yudikatif dan eksekutif. Para pejuang kesetaraan gender selalu berusaha mendapatkan kuota agar perempuan mendapatkan kursi di parlemen. Harapannya tentu agar suara perempuan turut diperhatikan dalam upaya melegalisasi hukum. Meski pada faktanya kebijakan yang dihasilkan tak semuanya berpihak kepada perempuan.
Islam memandang bahwa parlemen tidak sama dengan majelis umat atau majelis syura. Perbedaan ini tampak dari peran yang dilakukan. Parlemen sarat akan melegalkan suatu hukum yang dibuat oleh manusia berdasarkan akalnya semata. Kalaupun ada upaya mengoreksi, mengawasi dan mengangkat serta memberhentikan pemerintah, hal itu tetap bersandar kepada hukum demokrasi buatan manusia. Sedangkan majelis umat, bertugas untuk mengawasi dan mengoreksi penguasa atau pemimpin ketika terjadi kezaliman. Atau hal lain yang tidak sesuai dengan syariat Islam. Jika itu terjadi, maka majelis umat tidak berhak memberhentikan pemerintah. Namun, harus membawa masalah itu kepada peradilan mazalim. Sebab, yang berhak memberhentikan kepala negara atau pemerintah adalah qadhi (hakim) mazalim.
Oleh karena itu, keberadaan perempuan termasuk muslimah menjadi anggota majelis umat adalah boleh. Perempuan juga boleh memilih calon kepala negara (khalifah) dan membaiatnya. Perempuan boleh menjadi perwakilan suatu kaum untuk menyampaikan keperluan dan kebutuhan kaumnya kepada pemerintah. Serta boleh melakukan musyawarah atau diskusi. Semua itu dilakukan selama tidak bertentangan dengan syariat Islam.
Penutup
Adanya peran perempuan dalam ranah pemerintahan merupakan bukti bahwa perempuan dipandang sama dengan laki-laki oleh Islam. Jikalau ada perbedaan secara spesifik di dalam peran keduanya, maka itu merupakan bentuk penjagaan Islam terhadap kemuliaan seorang perempuan. Tentu saja itu merupakan aturan dari Allah Swt. Pemilik Alam Semesta dan yang Maha Mengetahui apa yang terbaik untuk semua hamba-Nya. Wallahu a'lam bishawab.[]