Moderasi Berbalut Toleransi, Hak Asasi Jadi Alibi

"Inilah wujud nyata adanya upaya serius dalam mengadang kebangkitan Islam. Umat Islam sengaja dijauhkan dari ketaatan yang sempurna kepada agamanya sendiri, sehingga umat Islam dibuat merasa cukup menjadi pemeluk Islam yang menjalankan ibadah-ibadah ritual saja, sementara di ranah publik tak perlu meributkan penerapan hukum Islam."

Oleh. Hana Annisa Afriliani, S.S
(Tim Redaksi NarasiPost.com)

NarasiPost.Com-Jelang perayaan Natal, isu tolerasi kembali di blow up. Di negeri mayoritas muslim ini, seolah penting memasifkan ide ini, agar Islam sungguh-sungguh dipandang sebagai agama yang toleran terhadap penganut agama lain.

Salah satu wujud keseriusan pejabat negeri dalam mengampanyekan ide toleransi adalah dengan turut memeriahkan perayaan Natal di berbagai daerah. Sebagaimana yang dilakukan oleh Pemkot Surabaya yang menghiasi beberapa kawasan di kotanya dengan aneka ornamen Natal. Menurut Eri Cahyadi, Wali Kota Surabaya, hal tersebut sebagai bentuk komitmen menjaga semangat toleransi dan keharmonisan untuk menghormati umat beragama, mengingat Surabaya menempati peringkat keenam sebagai kota toleransi di Indonesia.

Adapun toleransi dalam beragama senantiasa dikaitkan dengan Hak Asasi Manusia (HAM). Oleh karena itu, Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia juga memberikan piagam penghargaan kepada Pemkot Palangkaraya sebagai Kota Peduli HAM. Salah satu yang menjadi indikatornya adalah pemenuhan hak beragama dan pluralisme. (borneonews.co.id/15-12-2022)

Sebagai muslim tentu kita harus meninjau kembali, benarkah toleransi yang dikampanyekan sudah sesuai dengan koridor syarak?

Moderasi Berbalut Toleransi

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia atau KBBI, toleransi salah satunya dimaknai sebagai batas ukur untuk penambahan atau pengurangan yang masih diperbolehkan. Jika kita refleksikan dalam implementasinya di kehidupan nyata saat ini, toleransi berarti sikap kompromistis terhadap sesuatu yang bersebrangan dengan kita, baik berupa gagasan, kepercayaan, bahkan keyakinan beragama. Maka, seringkali kita mendengar istilah intoleran yang disematkan kepada pihak atau kelompok yang berpegang teguh kepada kebenaran tertentu. Sebab, dalam kacamata sistem sekuler hari ini, kebenaran itu relatif.

Jadi, ketika umat Islam hanya meyakini bahwa Islamlah satu-satunya agama yang benar dan diridai di sisi Allah, serta tidak akan mengikuti ajaran agama lain dalam hal yang berkaitan dengan akidah dan ibadah, maka akan langsung dicap intoleran. Hal tersebut merupakan bagian dari proyek moderasi beragama yang juga tengah digencarkan oleh pemerintah.https://narasipost.com/2021/07/04/haruskah-menjadi-intelektual-harapan-presiden/opini/

Sebagaimana diketahui bahwa moderasi beragama masuk ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024. Oleh karena itu, semua Kementrian bahu-membahu menyukseskan proyek ini. Moderasi sendiri adalah sikap mengambil jalan tengah (tawasuth), tidak ekstrem dalam beragama, dan tidak radikal. Salah satu indikatornya adalah toleransi.

Buah dari ide moderasi beragama ini juga muncul dikotomi: Islam moderat versus Islam radikal. Sayangnya, yang diterjemahkan sebagai radikal adalah mereka yang berusaha mengamalkan ajaran Islam secara utuh dan sempurna dalam kehidupan. Sementara moderat berarti toleran terhadap perbedaan dan fleksibel terhadap nilai-nilai Barat. Radikal distigmakan sebagai kelompok negatif, sementara moderat positif.

Inilah wujud nyata adanya upaya serius dalam mengadang kebangkitan Islam. Umat Islam sengaja dijauhkan dari ketaatan yang sempurna kepada agamanya sendiri, sehingga umat Islam dibuat merasa cukup menjadi pemeluk Islam yang menjalankan ibadah-ibadah ritual saja, sementara di ranah publik tak perlu meributkan penerapan hukum Islam.

Toleransi dalam Islam

Dalam pandangan Islam, toleransi terhadap penganut agama lain adalah keharusan. Namun, bukan toleransi yang kebablasan sebagaimana yang dipraktikkan dalam sistem sekuler hari ini. Toleransi yang dimaksud dalam Islam adalah sikap menghormati dan menghargai pemeluk agama lain. Mereka dibiarkan menjalankan agamanya dan melaksanakan ibadahnya dengan tenang, tanpa gangguan. Mereka pun tidak boleh dipaksa untuk masuk ke dalam Islam. Karena Allah telah berfirman dalam surat Al-Kafirun… "Untukmu agamamu dan untukku agamamu".

Jadi, toleransi dalam Islam bukan dengan ikut merayakan ajaran agama mereka. Jelas itu diharamkan, karena sama saja dengan kita menyerupai mereka. Rasulullah saw bersabda, "Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka mereka termasuk darinya." (HR. Abu Daud)

Di dalam hadis yang lain, Rasulullah saw juga bersabda, “Bukan termasuk golongan kami siapa yang menyerupai kaum selain kami. Janganlah kalian menyerupai Yahudi, juga Nashrani, karena sungguh mereka kaum Yahudi memberi salam dengan isyarat jari jemari, dan kaum Nasrani memberi salam dengan isyarat telapak tangannya.” (HR. Tirmidzi)

Jelaslah, ada larangan bagi kita untuk meniru atau bahkan mengikuti ajaran atau kepercayaan selain Islam. Islam juga melarang umatnya turut mengucapkan selamat Natal, karena hal tersebut berkaitan dengan akidah atau keimanan. Sedangkan perkara akidah tidak boleh dikompromikan.https://narasipost.com/2021/01/13/sekularisasi-perang-pemikiran-di-balik-toleransi/opini/

Jika kita menilik sejarah, potret toleransi yang indah justru terlihat nyata saat Islam diterapkan. Madinah Al-Munawarah menjadi saksi bisu bagaimana beragam suku, agama, dan ras dapat hidup berdampingan secara damai dalam dekapan sistem Islam. Meski berstatus nonmuslim, Daulah Islam akan sungguh-sungguh menjaga kehormatan, harta, bahkan nyawa mereka selama mereka menjadi bagian dari warga negara Daulah Islam (kafir dzimmi). Konsekuensinya mereka wajib membayar jizyah (denda), yang itu pun tidak membebani mereka.

Terkait wajibnya melindungi kafir dzimmi telah disampaikan oleh Rasulullah saw dalam hadis yang diriwayatkan oleh An-Nasa'i, “Siapa saja yang membunuh seorang kafir dzimmi tidak akan mencium bau surga. Padahal sungguh bau surga itu tercium dari perjalanan empat puluh tahun.”

Dengan perlakuan adil Daulah Islam terhadap kaum nonmuslim (kafir dzimmi) tadi, banyak di antara mereka yang justru memutuskan masuk ke dalam Islam. Terlihat betapa Islam sungguh-sungguh menampakkan kebaikan bagi setiap manusia. Tidak seperti yang banyak dituduhkan hari ini, lewat narasi sesat ciptaan Barat sehingga islamofobia menyeruak.

Seorang sejarahwan Barat, Karena Amstrong, bahkan menulis di dalam bukunya, Holy War: The Crusades and Their Impact on Today’s World, yang terbit pada tahun 1991, yakni "There was no tradition of religious persecution in the Islamic empire" (Tidak ada tradisi persekusi agama dalam imperium [Khilafah] Islam).”

Tak hanya itu, seorang orientalis Inggris, T.W Arnold, bahkan menulis secara objektif dalam bukunya yang berjudul The Preaching of Islam: A History of the Propagation of the Muslim Faith bahwa warga Kristen penduduk Syam lebih memilih hidup di bawah kekuasaan Khilafah dibanding di bawah kepemimpinan Kaisar Romawi. Hal tersebut karena keadilan Khilafah amat nyata dirasakan oleh mereka.

Oleh karena itu, kita harus memahami bahwa Islam yang sebenarnya adalah yang demikian, indah dan diliputi kemuliaan. Adapun upaya-upaya mengamputasi ajaran Islam dan mengerdilkan Islam sebatas di ranah privat saja merupakan wujud ketakutan Barat akan bangkitnya kembali peradaban Islam. Umat Islam justru harus berislam secara kaffah, bukan setengah-setengah. Bahkan wajib memperjuangkan Islam agar diterapkan dalam kehidupan dalam sebuah institusi, yakni Khilafah Islamiah.

"Mereka hendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, tetapi Allah menolaknya, malah berkehendak menyempurnakan cahaya-Nya, walaupun orang-orang kafir itu tidak menyukai." (TQS. At- Taubah:32)

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Kontributor NarasiPost.Com Dan Pegiat Pena Banua
Hana Annisa Afriliani, S.S Kontributor NarasiPost.Com
Previous
Proyek Setengah Hati KCJB
Next
Ironi Argentina: Berpesta di Tengah Krisis Melanda
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram