“Nyatanya, dalam proses pembangunan, rakyat hanya menjadi korban. Rakyat tidak ikut menikmati berbagai proyek yang dibangun, tetapi justru menjadi korban yang menderita.”
Oleh. Ragil Rahayu, S.E.
(Penulis Inti NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Apakah Anda tahu bendungan Sadawarna? Bendungan ini terletak di Desa Sadawarna, Kecamatan Cibogo, Kabupaten Subang, Jawa Barat. Dengan kapasitas mencapai 44,61 juta meter kubik, bendungan ini digadang-gadang bisa mengairi 4.500 hektar lahan pertanian di Subang dan Indramayu. Selain itu, bendungan ini juga diharapkan mampu mengurangi banjir di tiga kabupaten, yaitu Subang, Indramayu, dan Sumedang.
Pembangunan bendungan Sadawarna merupakan proyek nasional. Rencananya, peresmian akan dilakukan bulan Desember ini oleh Presiden Joko Widodo. Pada 1 Desember lalu, mulai dilakukan pengisian air (impounding) oleh Wakil Gubernur Jawa Barat, Uu Ruzhanul Ulum. Namun, pascapengisian air, masalah muncul.
Akibat pengisian air bendungan, Warga Dusun Cimuncang, Kecamatan Surian, Kabupaten Sumedang kesulitan akses jalan karena jalan utama yang biasa dilalui terendam air sehingga tidak bisa digunakan. Sementara itu, akses jalan baru belum bisa digunakan karena hanya berupa tanah dan batu. Dalam kondisi musim hujan seperti saat ini, jalan tersebut licin dan banyak batu yang menonjol, kondisi ini tentu membahayakan warga yang melintas. Akhirnya warga terpaksa membuat akses jalan sendiri secara gotong royong meski dengan peralatan seadanya.
Akibat tidak adanya akses jalan, warga tidak bisa melakukan aktivitas rutin seperti bekerja dan sekolah. Warga hanya keluar untuk keperluan darurat. Padahal, sebelumnya, warga sudah membuat kesepakatan dengan pihak pengelola bendungan bahwa tidak akan memutus akses jalan warga. Namun, warga akhirnya kecewa karena akses jalan baru yang dibangun pengelola tidak kunjung selesai hingga mengganggu aktivitas warga (liputan6.com, 5-12-2022).
Pro Korporasi, Abaikan Hak Warga
Apa yang terjadi pada warga Cimuncang, Kecamatan Surian, Sumedang ini menunjukkan betapa minimalisnya riayah (pengurusan) negara terhadap rakyat. Warga desa tersebut sudah lama bertempat tinggal di wilayah itu, mereka bersikap baik dengan mendukung pembangunan bendungan dengan sepenuh hati. Mereka hanya minta ada akses jalan yang bisa dipakai, sebuah permintaan yang sangat wajar karena jalan merupakan kebutuhan yang vital. Warga bisa bekerja mencari nafkah dan anak-anak bisa sekolah jika ada akses jalan. Namun, permintaan sederhana itu ternyata tidak dipenuhi oleh pemerintah.
Persoalannya tentu bukan karena ketiadaan anggaran. Karena untuk membangun bendungan Sadawarna yang butuh dana sangat besar saja pemerintah bisa. Pastilah untuk membangun akses jalan lebih mampu lagi. Namun, pemerintah telah abai terhadap pembangunan jalan ini. Sebaliknya, perhatian pemerintah justru lebih diberikan pada korporasi yang mendapatkan proyek pembangunan bendungan. Sejauh ini, belum ada sanksi yang diberikan oleh pemerintah pada pengelola bendungan atas kelalaian mereka menyediakan akses jalan bagi warga.
Inilah realitas pemerintahan di dalam sistem kapitalisme. Terwujud korporatokrasi yaitu negara dan korporasi berkelindan dalam hubungan saling menguntungkan untuk mengelola negara. Akibatnya, pemerintahan dijalankan bukan untuk kemaslahatan rakyat, tetapi untuk keuntungan korporasi dan penguasa yang menjadi mitranya.
Padahal, negeri ini menerapkan pemerintahan demokrasi yang memiliki semboyan pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat. Nyatanya, dalam proses pembangunan, rakyat hanya menjadi korban. Rakyat tidak ikut menikmati berbagai proyek yang dibangun, tetapi justru menjadi korban yang menderita. Di tengah hingar bingar pembangunan proyek prestisius, rakyat hanya bisa menonton. Padahal, mereka adalah pemilik kekuasaan yang hakiki di negeri ini. Namun, kekuasaan itu tidak membawa kebaikan dan kesejahteraan bagi rakyat, kecuali segelintir elite penguasa saja.
Teladan Khalifah Umar bin Khaththab r.a.
Realitas kekuasaan yang tidak berpihak pada rakyat ini adalah ciri khas kapitalisme. Hakikatnya, demokrasi bukanlah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat, tetapi dari rakyat, oleh penguasa korup, untuk korporasi. Hal ini berbeda secara diametral dengan sistem pemerintahan Islam, yaitu Khilafah.
Di dalam Khilafah, kekuasaan ada di tangan rakyat, sedangkan kedaulatan ada di tangan Asy-Syari' (Allah Swt.). Itulah sebabnya, penguasa dalam Daulah Khilafah diwajibkan untuk menerapkan aturan Islam saja. Allah Swt. berfirman,
وَاَنْزَلْنَآ اِلَيْكَ الْكِتٰبَ بِالْحَقِّ مُصَدِّقًا لِّمَا بَيْنَ يَدَيْهِ مِنَ الْكِتٰبِ وَمُهَيْمِنًا عَلَيْهِ فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَآ اَنْزَلَ اللّٰهُ وَلَا تَتَّبِعْ اَهْوَاۤءَهُمْ عَمَّا جَاۤءَكَ مِنَ الْحَقِّۗ
"Dan Kami telah menurunkan Kitab (Al-Qur'an) kepadamu (Muhammad) dengan membawa kebenaran, yang membenarkan kitab-kitab yang diturunkan sebelumnya dan menjaganya, maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang diturunkan Allah dan janganlah engkau mengikuti keinginan mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu." (QS Al-Maidah: 48)
Dengan menjalankan syariat Allah Swt., terwujudlah kemaslahatan rakyat. Dengan demikian, kemaslahatan rakyat merupakan hasil yang pasti akan terwujud dengan penerapan syariat. Dalam proyek pembangunan, negara harus memperhatikan kemaslahatan rakyat ini. Setiap proyek yang dibangun harus berujung pada kebaikan bagi rakyat. Proyek pembangunan tidak boleh berorientasi bisnis, yaitu memalak rakyat sendiri, misalnya proyek jalan tol yang rakyat hanya bisa menikmatinya jika membayar dengan mahal. Proyek pembangunan juga tidak boleh berorientasi pada para kapitalis, dengan alasan mereka telah berinvestasi, lantas rakyat cukup diberi trickle down effect. Yang demikian ini sungguh tidak adil.
Teladan yang sangat baik dalam hal pembangunan yang mengedepankan kemaslahatan rakyat adalah yang dicontohkan Amirulmukminin Umar bin Khaththab r.a. Pada masa pemerintahan Umar r.a., terjadi paceklik yang berat di Semenanjung Arab. Alhamdulillah, setelah kelaparan sekian lama, datanglah bantuan pangan dari Mesir yang diangkut dengan unta dan menyolusi masalah paceklik.
Setelah kejadian paceklik tersebut, Khalifah Umar r.a. menyadari pentingnya Mesir sebagai pemasok komoditas pangan bagi Hijaz. Umar r.a. kemudian memerintahkan Gubernur Mesir Amr bin Al-Ash untuk membangun kembali kanal yang menghubungkan Sungai Nil dengan Laut Merah sehingga memudahkan lalu lintas barang ke Hijaz. Kanal ini pun terwujud dan diberi nama Commander of the Faithful. Keberadaannya memberikan maslahat luar biasa besar bagi rakyat Daulah Islam, utamanya di Hijaz.
Dalam melakukan proyek pembangunan, Khalifah Umar r.a. menghindari perilaku zalim, meski kepada nonmuslim sekalipun. Khalifah Umar r.a. pernah memberikan peringatan keras kepada Gubernur Mesir Amr bin al-Ash yang hendak menggusur rumah seorang Yahudi tua demi memperluas masjid.
Ketika Yahudi tua itu mengadu pada Khalifah Umar r.a. di Madinah, sang Amirulmukminin memberikan tulang padanya. Di tulang itu dia goreskan huruf alif dengan pedangnya, sebagai pertanda agar Gubernur Mesir bersikap adil. Amr bin al-Ash pun tunduk patuh pada perintah Umar r.a., karena perintahnya sesuai dengan sabda Nabi saw.,
"Barang siapa mengambil sejengkal tanah secara zalim, maka akan dikalungkan kepadanya tujuh lapisan bumi." (HR Muslim)
Pertanyaannya, apakah para penguasa hari ini peduli dengan hadis ini? Wallahualam. []