KUHP Kontroversi vs Syariat Islam Hakiki

"Dari peristiwa ini kita paham, bahwa hukum buatan manusia itu lemah. Proses panjang yang dialami KUHP menunjukkan hukum buatan manusia mudah diubah, diganti atau dihapus demi kepentingan pribadi."

Oleh. Eri
(Kontributor NarasiPost.Com dan Pemerhati Masyarakat)

NarasiPost.Com-Sah, akhirnya RUU KUHP resmi menjadi UU. Dengan bangga, Indonesia tidak lagi memakai UU peninggalan kolonial Belanda. Dalam rapat paripurna pemerintah dan DPR RI menyetujui rancangan undang-undang tersebut.

Wakil Ketua DPR, Sufmi Dasco Ahmad selaku pimpinan rapat paripurna, mengetukkan palu sebagai tanda sahnya Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) jadi undang-undang. Selanjutnya, KUHP terbaru itu diserahkan ke pemerintah untuk diteken Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) dan diberi nomor untuk masuk ke dalam lembar negara. (cnnindonesia.com 6/12/22)

Setelah melalui tahapan yang rumit dan penolakan berbagai pihak, DPR tetap mengesahkan RKUHP. Padahal sejumlah kalangan dari praktisi hukum, HAM, jurnalis, hingga mahasiswa menilai draf RKUHP masih kacau dan memuat pasal yang bermasalah.

Pakar Hukum Tata Negara, Bivitri Susanti dalam diskusi Kedai Kopi, menilai rencana (RKUHP) akan merusak Indonesia sebagai negara hukum dan demokrasi. Bivitri menyebut, beberapa pasal dalam RKUHP bisa dengan mudah digunakan sebagai alat kriminalisasi terhadap rakyat. (cnnindonesia.com 5/12/22)

Ada beberapa pasal kontroversi yang dimuat dalam KUHP, seperti pasal penghinaan terhadap presiden yang mendapat ancaman 3 (tiga) tahun penjara. Lalu, penghinaan lembaga negara, demo tanpa pemberitahuan, menyebar berita bohong, dan ketetapan hukum pidana bagi koruptor yang menurun. Tidak hanya itu, pidana santet yang sulit dilakukan pembuktian akan memunculkan masalah baru.

Pada akhirnya undang-undang ini lahir untuk membungkam pendapat rakyat, memberikan kenyamanan bagi para pemimpin, serta kemudahan aparat keamanan untuk bertindak represif. Hak-hak rakyat yang seharusnya dilindungi, malah dibatasi bahkan dirampas. Pasal kontroversi KUHP memperlihatkan kepada kita bahwa UU ini lebih kolonial dari UU sebelumnya. Rezim ingin melegitimasi kekuasaannya tanpa batas.

Dari peristiwa ini kita paham, bahwa hukum buatan manusia itu lemah. Proses panjang yang dialami KUHP menunjukkan hukum buatan manusia mudah diubah, diganti atau dihapus demi kepentingan pribadi. Tidak heran, sistem demokrasi memberikan wewenang manusia untuk membuat aturan kehidupan sesuai kehendaknya. Membuat, menyusun dan mengesahkan UU merupakan ciri khas demokrasi.

Negara yang melegalisasi UU, perannya tidak lebih dari regulator. Di sinilah, potensi asing menyetir pemerintah melalui kebijakan sesuai kepentingan mereka. Kemaslahatan rakyat dalam UU telah hilang. Selain itu, fakta di lapangan telah memperlihatkan ketidakadilan UU yang menyengsarakan rakyat. Contohnya, Omnibus Law yang berpihak pada kepentingan korporasi.

Sumber masalah KUHP ini adalah sistemnya. Banyak sisi rapuh dan lemah dalam UU yang dilegalisasi sistem demokrasi. Tidak mampu menyelesaikan seluruh permasalahan rakyat. Maka, solusi yang tepat bukan tambah sulam regulasi, melainkan mengganti sistem yang memberikan jaminan kehidupan dan kesejahteraan.

Sistem alternatif tersebut harus mampu menyelesaikan permasalahan hingga ke akar-akarnya. Islam telah membuktikan keadilannya menerapkan hukum selama 13 abad. Sebab, Islam memiliki keunggulan dibandingkan sistem demokrasi, yaitu hak pembuat hukum hanya milik Allah Swt. Maka, aturan yang berlaku adalah aturan Allah Swt. yang bersumber dari Al-Qur'an dan sunah. Allah Swt. berfirman:

اِنِ الْحُكْمُ اِلَّا لِلّٰهِ ۗ اَمَرَ اَ لَّا تَعْبُدُوْۤا اِلَّاۤ اِيَّاهُ ۗ ذٰلِكَ الدِّيْنُ الْقَيِّمُ وَلٰـكِنَّ اَكْثَرَ النَّا سِ لَا يَعْلَمُوْنَ

"..Keputusan itu hanyalah milik Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui." (QS. Yusuf [12]: 40)

Serta kewajiban seorang muslim menjadikan Rasulullah saw. sebagai hakim. Menerima segala keputusan hakim tanpa keberatan dan penerimaan total. Allah Swt. berfirman :

فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُوْنَ حَتّٰى يُحَكِّمُوْكَ فِيْمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوْا فِيْۤ اَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِّمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا

"Maka demi Tuhanmu, mereka tidak beriman sebelum mereka menjadikan engkau (Muhammad) sebagai hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, (sehingga) kemudian tidak ada rasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang engkau berikan dan mereka menerima dengan sepenuhnya." (QS. An-Nisa' [4]:65)

Oleh karena itu, taat terhadap Allah dan Rasul-Nya adalah mutlak. Selama syariat ditegakkan, kriminalitas sangat jarang terjadi. Sistem sanksi yang diberlakukan bertujuan sebagai pencegahan (zawajir) dan penebus dosa (jawabir). Sementara, landasan hukum syariat adalah akidah. Dengan landasan ini, hukum yang terpancar akan memiliki ruh. Senantiasa menaati hukum Allah Swt. dan meraih kebahagian serta rida-Nya.

Bentuk preventif (pencegahan) hukum syariat melalui aturan-aturan yang membatasi. Seperti mencegah perzinaan, Islam memisahkan hubungan laki-laki dan perempuan, dilarang campur baur, menjaga aurat, dan menjaga pandangan mata. Bila terjadi pelanggaran, Islam akan menegakkan keadilan dan menerapkan hukum sesuai pelanggarannya, berupa jilid atau rajam.

Keadilan dan kesejahteraan bukan hanya omong kosong seperti sistem demokrasi. Bagaimana hukum Islam yang diterapkan Rasulullah saw jauh dari perilaku diskriminasi? Seperti sabda Rasulullah saw., " demi jiwa Muhammad yang berada di tangan-Nya, seandainya Fatimah putri Muhammad mencuri, aku akan memotong tangannya." (HR. Bukhari no. 4304 dan muslim no. 1688)

Islam juga mewajibkan umat melakukan amar makruf nahi mungkar. Termasuk, muhasabah pemerintah terkait kebijakannya. Pada saat Khalifah Umar bin Khattab menetapkan kebijakan mahar, seorang muslimah tidak segan-segan mengingatkan kekeliruan beliau dengan surat An-Nisaa ayat 20. Kepemimpinan Khalifah Umar bin Khattab merupakan contoh bagaimana seorang pemimpin dengan bijak menerima sikap kritis rakyatnya.

Di sinilah nampak perbedaan yang sangat jauh antara sistem demokrasi dan Islam. UU yang lahir dari sistem Islam mampu mewujudkan keadilan dan kesejahteraan. Sedangkan, sistem demokrasi menghasilkan berbagai macam kerusakan moral. Alhasil, umat tidak bisa mengharapkan perubahan hakiki.

Saatnya umat beralih pada sistem Islam yang memiliki landasan ideologis dalam menetapkan hukum. Sistem yang diterapkan Rasulullah saw. dan para khalifah setelahnya. Sistem yang memberi jaminan, perlindungan, dan kemaslahatan umat.

Waallahu a'lam bish shawwab[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Kontributor NarasiPost.Com Dan Pegiat Pena Banua
Eri Kontributor NarasiPost.Com
Previous
Roda Kehidupan
Next
Baby Blues, Apakah Masalah yang Serius?
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram