”Faktanya, pulau-pulau kecil yang ada di Indonesia banyak dikelola oleh pihak swasta, dan tentu saja mereka pasti mencari keuntungan untuk pribadi bukan untuk rakyat.”
Oleh. Nur Hajrah MS
(Kontributor NarasiPost.Com dan Aktivis Dakwah Nisa Morowali)
NarasiPost.Com-Publik kembali dihebohkan dengan pemberitaan bahwa 100 pulau di Kepulauan Widi, Maluku Utara akan dijual secara lelang melalui situs asing Sotheby's Concierge Auctions, New York pada 8 sampai 14 Desember 2022. Kepulauan Widi merupakan cagar alam tidak berpenghuni. Kepulauan Widi selama ini dikelola oleh pihak swasta, yaitu PT Leadership Islands Indonesia (LII), yang telah memiliki izin pengelolaan dari pemerintah setempat sejak 27 Juni 2015. Namun, berdasarkan laporan perusahaan tersebut belum banyak melakukan pembangunan di kawasan tersebut. (detikfinance.com, 5/12/2022)
PT LII pun angkat bicara terkait pemberitaan tersebut, LII membantah kabar pelelangan Kepulauan Widi. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa Kepulauan Widi merupakan kawasan yang dikelola PT LII dan belum banyak pembangunan di kawasan tersebut. Atas dasar inilah LII berupaya untuk mengembangkan Kepulauan Widi, dengan cara menjalin kerja sama dengan Sotheby's Concierge Auctions. LII berharap dengan menjalin kerja sama dengan pihak SCO bisa membantu menemukan mitra kerja sama atau investor bagi pembangunan di wilayah Kepulauan Widi, khususnya dalam sektor pariwisata dan konservasi serta pemberdayaan masyarakat. (cnnindonesia.com, 5/12/2022)
Beginilah Aturan Mainnya!
Sungguh miris, lagi-lagi dengan alasan mencari investor, 100 pulau Indonesia sampai terpampang "Dijual" di situs lelang Amerika Serikat. Dan mirisnya, hal ini bukan dilakukan pemerintah Indonesia sebagai wakil rakyat sang pemilik aset, tetapi dilakukan pihak swasta yaitu PT LII sendiri. Kepemilikan Kepulauan Widi tersebut memang atas nama Indonesia, namun yang sangat disayangkan kepulauan ini dipercayakan untuk dikelola pihak swasta. Bahkan, tidak ada hukum yang melarang mereka untuk mengelolanya. Ini artinya, dalam segi pemanfaatan, potensi serta keuntungannya lebih banyak didapatkan pihak swasta dibandingkan masyarakat atau negara. Negara hanya mendapatkan sebagian kecilnya saja, berupa pembayaran pajak dan beberapa kewajiban pembayaran lainnya, tetapi untuk hasil keuntungan sebagian besar adalah milik pihak swasta. Ya, suka tidak suka, mau tidak mau, inilah aturan mainnya! Padahal, jika kembali merujuk pada UUD 1945 pasal 33 ayat 3 yang berbunyi, "Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat." Faktanya, pulau-pulau kecil yang ada di Indonesia banyak dikelola oleh pihak swasta, dan tentu saja mereka pasti mencari keuntungan untuk pribadi bukan untuk rakyat.
Hanya dengan bermodalkan surat izin dari pemerintah, pihak swasta ini justru menyalahgunakannya dengan mencari pihak asing untuk diajak bekerja sama dan atau membeli pulau tersebut. Bahkan, sampai mengeluarkan persyaratan dengan memberikan deposit Rp1,5 miliar sebagai tanda keseriusan. Miris bukan? Tanah ibu pertiwi dalam pandangan mereka hanya seperti jualan di pasaran yang dapat diobral. Tanah ibu pertiwi, tanah kelahiran, dijual begitu saja, tanpa merasa bersalah apalagi berdosa. Bukankah ini suatu bentuk pengkhianatan dan kedurhakaan terhadap ibu pertiwi? Lantas, ke manakah mereka yang mengaku mencintai tanah airnya? Tidakkah mereka melihat ibu pertiwi sedang menangis, dijajah dan dijarah oleh asing karena kesalahan anak-anaknya sendiri.
Tidak Ada Makan Siang Gratis!
Selama suatu negara menjadikan urusan duniawi atau asas manfaat menjadi tujuan utamanya, maka kejadian seperti ini, bukan tidak mungkin akan terjadi secara berulang-ulang. Buktinya, sebelum kasus Kepulauan Widi, sudah pernah terjadi kasus yang sama. Ada beberapa pulau di Indonesia yang pernah dijual secara online di situs asing. Dirangkum dari berbagai sumber berikut beberapa pulau yang pernah dijual di situs asing:
- Pulau Sumba, NTT.
- Pulau Ajab di Bintan, Kepulauan Riau.
- Tiga pulau di Kepulauan Mentawai.
- Pulau Tojo Una-Una, Sulawesi Tengah.
- Pulau Kelor Labuan Bajo, NTT.
- Pulau Pendek di Buton, Sulawesi Tenggara. Dan masih banyak lagi pulau lainnya yang pernah terpampang dijual dalam situs online.
Beginilah penampakan dari sistem kapitalis, aset-aset negara yang seharusnya dikelola oleh negara untuk kemaslahatan umat justru dengan mudahnya diberikan dan dipercayakan pengelolaannya kepada pihak swasta dan asing. Dengan iming-iming investor dan kerja sama, perjanjian pun dibuat dan ditandatangani. Katanya untuk kepentingan rakyat, namun pada faktanya sampai hari ini masyarakat masih jauh dari kata makmur. Lihatlah, sudah berapa banyak investor yang masuk ke negeri ini, adakah mereka benar-benar serius dan ikhlas membantu demi terwujudnya kesejahteraan masyarakat? Tentu saja tidak, karena apa yang mereka berikan untuk negeri ini pasti ada maksud dan tujuannya. Ya, tidak ada makan siang gratis, apa yang mereka berikan tentu harus dibalas dengan hal yang memberikan manfaat bagi mereka, khususnya terkait materi. Mereka tidak pernah memikirkan dampak dan risiko apa yang akan terjadi bagi masyarakat dan lingkungan sekitar, selama izin telah didapatkan dan selama itu bernilai materi maka segala macam cara akan menjadi halal bagi mereka untuk dilakukan.
Lantas, bagaimana pemerintah menyikapi kasus ini?
Tito Karnavian selaku Menteri Dalam Negeri, angkat suara perihal pemberitaan ini. Menurut Tito, LII tidak ada maksud sama sekali menjual Kepulauan Widi, mereka hanya berupaya menarik investor asing untuk membantu pengembangan di wilayah tersebut. Selain itu Tito juga mengatakan selama pihak swasta tersebut tidak melanggar hukum, maka tujuan PT LII boleh-boleh saja dilakukan untuk menarik investor. (suara.com, 5/12/2022)
Pertanyaannya, apakah pemerintah tidak sanggup atau tidak mampu mengelola sendiri kepulauan tersebut? Sampai harus memberikan izin kepada siapa pun yang memiliki modal untuk mengelola pulau kecil tersebut. Apakah pemerintah bisa menjamin, para pihak swasta maupun asing tidak akan melakukan eksploitasi secara berlebihan terhadap wilayah yang mereka berikan izin untuk dikelola? Apakah pemerintah tidak memikirkan dampak dan risikonya bagi masyarakat dan lingkungan sekitarnya? Akankah memberikan dampak yang baik atau malah sebaliknya? Namun, jika itu memberikan dampak yang baik, lalu mengapa Kepulauan Raja Ampat, di mana pihak swasta pun ikut bekerja sama dengan pemerintah untuk mengelola dan mengembangkan kawasan tersebut, tidak membawa pengaruh yang baik bagi perekonomian masyarakat di sekitarnya? Padahal kepulauan ini sangat terkenal sampai ke mancanegara, kepulauan yang terkenal dengan julukan "Surganya Indonesia". Namun, di balik keindahannya ternyata masih banyak warga miskin di wilayah tersebut yang berjuang untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Masih banyak anak-anak yang harus mengarungi lautan demi mendapatkan pendidikan. Jika penampakannya seperti ini, apalah artinya terkenal di mata dunia jika di balik keindahannya ternyata masih ada masyarakatnya hidup dalam kemiskinan. Inikah yang dimaksud dengan "Surganya Indonesia?"
Walaupun Hanya Sejengkal Tidak akan Dilepaskan!
Jika sistem pemerintahan saat ini begitu mudahnya memberikan izin terhadap pihak swasta maupun asing untuk mengelola aset milik masyarakat, lain halnya dalam sistem pemerintahan Islam. Semua aset milik rakyat dikelola sendiri tanpa mengharapkan bantuan dari pihak swasta maupun asing. Jikalau pun ada pihak swasta yang membantu, maka ia lakukan semata-mata hanya untuk mengejar keuntungan surgawi, untuk mendapatkan rida Allah Swt., bukan untuk mengejar keuntungan duniawi yang hanya sementara. Selain itu, semua sumber daya alam termasuk pulau-pulau kecil adalah harta kepemilikan umum yang harus dikelola oleh negara atau daulah. Di mana hasilnya pun dikembalikan untuk kesejahteraan umat baik dalam bidang perekonomian, infrastruktur, pendidikan, kesehatan dan lain-lain. Sehingga dalam sistem pemerintahan Islam, Khalifah tidak akan melepaskan atau memberikan tanahnya dikelola pihak asing maupun swasta yang berpaham kapitalis. Walaupun dibayar tinggi sekalipun, Khalifah tidak akan melepaskan tanah milik umat walaupun hanya sejengkal.
Hal ini pun pernah dilakukan Sultan Abdul Hamid ll, para Zionis Israel terus menerus berupaya meminta kepada Sultan Abdul Hamid ll, agar memberikan sebagian wilayah Palestina. Tetapi, Sultan Abdul Hamid ll selalu menolak permintaan mereka. Hingga suatu ketika para Zionis Israel semakin gencar melakukan aksinya, untuk mendapatkan sebagian wilayah Palestina. Maka, pada 1900 Sultan Hamid ll mengeluarkan keputusan pelarangan terhadap para peziarah Yahudi di Palestina. Mereka dilarang melakukan ziarah di Palestina lebih dari tiga bulan, serta para peziarah harus memiliki paspor dan diserahkan kepada petugas Daulah Khilafah. Lalu pada 1901, Sultan mengeluarkan keputusan pelarangan menjual tanah kepada kaum Yahudi.
Tidak berhenti begitu saja, pada 1902 Zionis Israel kembali menemui Sultan Abdul Hamid ll. Kali ini mereka melakukan aksinya dengan cara menyogok Sultan, yaitu dengan menyodorkan harta duniawi seperti uang, membangun kapal induk dan universitas, serta bersedia memberikan utang tanpa bunga bagi Kesultanan Turki Usmani. Namun, Sultan Abdul Hamid ll menolak semua itu dengan tegas. Sultan mengatakan bahwa ia tidak akan melepaskan tanah Palestina walaupun hanya sejengkal, karena tanah Palestina adalah tanah milik umat Islam yang tidak boleh diperjualbelikan. Umat Islam telah berjihad untuk kepentingan Palestina, telah banyak darah yang tertumpah demi mempertahankan tanah Palestina. Untuk itulah Sultan Abdul Hamid ll tidak mau melepaskan tanah Palestina walaupun hanya sejengkal.
Ini berbanding terbalik dengan sistem pemerintahan saat ini, di mana para pemimpinnya justru yang mencari dan mengundang para pemimpin negara-negara adidaya dan oligarki yang siap bekerja sama mengelola kekayaan negeri milik umat. Lantas, Sampai kapankah ini akan terus terjadi? Selama negeri ini tidak berislam secara kaffah atau keseluruhan, maka kasus penjualan pulau dan pengelolaan kekayaan negeri oleh pihak swasta dan asing akan terus terjadi. Bukankah Allah Swt. berfirman yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhan dan janganlah kamu ikuti langkah-langkah setan. Sungguh, setan itu musuh yang nyata bagimu.” (TQS. Al-Baqarah ayat 208). Ini berarti berislam secara kaffah itu bukan hanya menjalankan syariat Islam dalam ranah individu saja, melainkan dalam hal bernegara pun syariat Islam sangat perlu ditegakkan. Apa pun alasannya, baik dalam urusan individu maupun bernegara, seorang pemimpin tidak boleh memilih-milih syariat Islam mana yang ingin dijalankannya dan mana yang tidak, termasuk dalam hal mengatur harta kepemilikan umum. Untuk itulah dengan berislam secara kaffah dalam naungan Daulah Khilafah Islamiah, kekayaan negeri akan dikelola dengan baik untuk kemaslahatan umat dan seluruh tanahnya akan terjaga dari para penjajah yang haus materi dan kekuasaan. Wallahu a'lam bish-shawab.[]