"Sungguh adanya regulasi yang melemahkan KPK tentu menjadikan pemberantasan korupsi di negara ini tidak bisa dilakukan maksimal. Di samping itu, telah bisa dimungkiri bahwa sistem demokrasi telah menyuburkan kasus korupsi."
Oleh. Sri Retno Ningrum
(Kontributor Narasipost.Com)
NarasiPost.Com-Baru-baru ini telah diselenggarakan kegiatan penutupan Hakordia (Hari Antikorupsi Sedunia) 2022 di Gedung Bung Karno, Jakarta Pusat yang bertema "Indonesia Pulih, Bersatu Berantas Korupsi". Dalam penutupan tersebut, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Firli Bahuri, juga menekankan pentingnya trisula pemberantasan korupsi. Seperti yang diketahui trisula yang digencarkan KPK meliputi penindakan, pencegahan dan pendidikan. Dalam acara tersebut Ketua KPK juga mengajak seluruh elemen masyarakat untuk bahu-membahu dalam memberantas korupsi di Indonesia. (detiknews, 11/12/2022)
Peringatan Hari Antikorupsi sedunia diperingati sejak tanggal 9 Desember 2003. Pada waktu itu, PBB mulai menyadari dampak kerugian tindakan korupsi sehingga perlu merumuskan instrumen hukum Internasional terkait pemberantasan korupsi di tingkat global agar lebih efektif. Kemudian digelar konvensi PBB untuk menentang korupsi pada tanggal 31 Oktober 2003. PBB pun menyetujui perjanjian antikorupsi yang ditandatangani di Merida, Meksiko pada tanggal 9 Desember 2003. Sejak saat itulah seluruh negara di dunia memperingati hari antikorupsi. (CNN Indonesia 9/12/2021)
Di negara ini, kasus korupsi menjadi “PR" dari KPK untuk memberantasnya. Pemerintah pun berharap KPK sebagai wadah pemberantasan korupsi mampu membasmi kasus korupsi yang terus menggurita di negara ini. Akan tetapi, pemberantasan korupsi di Indonesia hanyalah ilusi, karena di sisi lain, pemerintah malah mengeluarkan regulasi yang melemahkan wewenang KPK.
Adapun regulasi dari pemerintah yang melemahkan KPK adalah revisi UU Nomor 19 tahun 2019 tentang perubahan UU KPK yang disahkan pemerintah bersama DPR pada tanggal 17 September 2019. Isi revisi UU tersebut antara lain :
a. Kedudukan KPK berada pada cabang eksekutif. Padahal status KPK sebelumnya merupakan lembaga independen. Perubahan tersebut menjadikan KPK menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN).
b. Pembentukan Dewan yang mengawasi KPK. Pengawas bertugas memberikan izin atau tidak dalam penyadapan, penggeledahan atau penyitaan.
c. Izin menyadap. KPK sudah tidak lagi bebas menyadap terhadap terduga tindakan korupsi karena harus ijin terlebih dahulu.
d. Penerbitan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) untuk perkara tindak pidana korupsi yang sudah lebih dari setahun. Dari revisi UU KPK tersebut, maka dapat disimpulkan KPK tidak bebas dalam menjalankan wewenangnya dan upaya menindak tindakan korupsi dan tidak boleh mengusut kasus lebih setahun. Sehingga ketika sebuah kasus lebih dari setahun maka akan mangkrak atau tidak lagi ditindak KPK.
Sungguh adanya regulasi yang melemahkan KPK tentu menjadikan pemberantasan korupsi di negara ini tidak bisa dilakukan maksimal. Di samping itu, telah bisa dimungkiri bahwa sistem demokrasi telah menyuburkan kasus korupsi. Ya, biaya kampanye yang berbiaya mahal menjadikan penguasa terpilih melakukan korupsi dengan kekuasaan yang dipegangnya. Selain itu, gaya hidup hedonis telah menggerogoti penguasa di sistem demokrasi. Gaji dan tunjangan yang banyak pun tidak mampu mencukupi gaya hidup yang terlampau tinggi. Walhasil, korupsi menjadi satu-satunya cara untuk memenuhinya.
Dalam pandangan Islam, tindakan korupsi disebut dengan perbuatan khianat. Sedangkan pelakunya disebut khoa’in. Sanksi yang diberikan kepada koruptor adalah ta’zir. Bentuk sanksi bisa berupa nasihat, penjara, pengenaan denda (gharamah), pengumuman pelaku di depan publik atau media massa dan cambuk hingga mati (Abdurrahman Al Maliki, Mizhamul Uqubat). Hukum yang diberikan dilakukan secara terbuka sehingga membuat jera orang lain untuk melakukan hal yang serupa.
Pada masa kejayaan Islam, para pemimpinnya memiliki sifat yang sederhana. Misalnya, pada masa Khalifah Abu Bakar As-Shiddiq ketika mendapatkan santunan dari Baitulmal, dana tersebut digunakan dengan cara sederhana, bahkan sebelum meninggal beliau mengembalikan santunan 6.000 dirham karena takut memakan harta rakyat, padahal sudah menjadi miliknya. Pada masa Umar bin Al-Khattab, Beliau sangat berhati –hati dalam mengelola Baitulmal. Beliau pun memeriksa harta para Wali dan Amil sebelum menjabat dan sesudah menjabat posisi tersebut.
Oleh karena itu, sudah selayaknya kita melirik sistem Islam yang para pemimpinnya amanah terhadap harta yang dikelolanya. Sebaliknya, marilah kita meninggalkan sistem kapitalisme yang justru melahirkan para pemimpin yang suka berbuat korupsi. Wallahu’alam Bissawab.[]