"Kita semua patut menyadari bahwa ada kesalahan mendasar pada tata nilai yang mengatur kehidupan bernegara kita yang menyebabkan korupsi tak jua sirna, bukan hanya soal sanksi hukumnya. Wabah korupsi yang menjangkiti negeri ini adalah gejala yang melekat pada peradaban Barat sekuler, yang diekspor ke negeri-negeri muslim dan menulari masyarakat muslim."
Oleh. Pipit Agustine
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Hari Antikorupsi Sedunia (Hakordia) diperingati setiap 9 Desember. Hakordia dicetuskan pada Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang digelar pada tanggal 31 Oktober 2003 silam. Pada sidang tersebut, PBB menyetujui United Nations Convention Againts Corruption-UNCAC (Konvensi PBB Antikorupsi) sekaligus menetapkan tanggal 9 Desember sebagai Hari Antikorupsi Internasional yang kemudian dikenal sebagai Hari Antikorupsi Sedunia (Hakordia). Artinya, peringatan Hakordia telah berjalan hampir dua dekade lamanya.
Namun, apa yang kita saksikan hari ini, kasus korupsi kian bervariasi dan tak terkendali. Komisi Pemberantasan Korupsi mencatat, sepanjang 2004 hingga 3 Januari 2022 terdapat 1261 kasus korupsi yang terjadi di negeri ini. KPK mengungkap bahwa korupsi paling banyak terjadi di pemerintah pusat, yakni sebanyak 409 kasus. Sementara itu, jenis perkara tindak pidana korupsi yang terbanyak adalah penyuapan. Tahun 2021 saja sebanyak 775 kasus suap. Pelaku korupsi pun beragam dan hampir ada di setiap bagian lembaga negara, baik eksekutif, legislatif, bahkan yudikatif. Perilaku korupsi juga menjangkiti insan akademisi seperti yang menjerat Rektor Universitas Lampung beberapa bulan lalu. Kesimpulannya, kasus korupsi telah menjelma menjadi wabah yang menggerogoti muru'ah bangsa dan negara. Lantas, bagaimana cara penanggulangan wabah korupsi ini?
Langkah Pemerintah
Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Firli Bahuri, menyebut pentingnya trisula pemberantasan korupsi yang menekankan pada tiga upaya yakni pencegahan, pendidikan, dan penindakan. Trisula pemberantasan korupsi merupakan program besutan KPK dalam upayanya menekan angka korupsi di Indonesia. Upaya pencegahan dilakukan dalam bentuk perbaikan sistem. Menurut KPK, hal ini telah berjalan. Begitu juga upaya melalui strategi pendidikan antikorupsi dan berbagai upaya penindakan melalui operasi tangkap tangan (OTT). Pada peringatan Hakordia 2021 lalu, Menteri Keuangan, Sri Mulyani, pernah mengungkapkan, ada tiga dasar untuk menumbuhkan budaya antirasuah, antara lain akuntabilitas, kompetensi, dan etika. Namun demikian, korupsi masih saja eksis dengan beragam penjelmaan. Di mana letak kesalahannya?
Semua pasti sepakat bahwa korupsi dapat membahayakan hidup suatu bangsa dan negara. Bahkan dalam perspektif sekuler sekalipun, selain bertentangan dengan hukum dan etika, perilaku korup adalah hal yang kontra dengan hak asasi manusia dan mengusik rasa keadilan. Wajar apabila upaya pemberantasan korupsi di negeri ini merupakan isu strategis. Betapa tidak, upaya ini membutuhkan supporting system dan dukungan kokoh dari seluruh pemangku kepentingan.
Waktunya Introspeksi
Kita semua patut menyadari bahwa ada kesalahan mendasar pada tata nilai yang mengatur kehidupan bernegara kita yang menyebabkan korupsi tak jua sirna, bukan hanya soal sanksi hukumnya. Wabah korupsi yang menjangkiti negeri ini adalah gejala yang melekat pada peradaban Barat sekuler, yang diekspor ke negeri-negeri muslim dan menulari masyarakat muslim.
Sungguh, ideologi kapitalisme sekuler telah menyebarkan wabah korupsi ini dari Barat ke Timur. Nilai-nilai sekuler, liberal, materialistik, dan hedonis telah melumpuhkan dan mendehumanisasi bangunan bernegara. Semua ini berpangkal dari cara pandang kehidupan yang tidak sesuai dengan fitrah manusia. Cara pandang mereka tentang kebahagiaan, misalnya, bisa dipenuhi semata-mata dari terpenuhinya ‘keinginan’ manusia atas suatu materi. Dalam hal ini, tidak boleh ‘membawa Tuhan’ untuk pengaturannya. Bukti nyata nilai-nilai rusak tersebut di antaranya, gaya hidup mewah para pejabat yang tecermin dalam kendaraan, hunian, hingga barang-barang branded yang dikenakan.
Di sisi lain, ideologi kapitalisme menggunakan demokrasi sebagai kendaraan tetap untuk mengangkut sejumlah aturan main sekaligus mengangkut pemain yang diinginkan. Ada pemilu periodik yang sifatnya wajib. Namun, demokrasi sendiri juga rentan ditumpangi oligarki. Mereka bisa saja mengubah aturan main lima tahunan, dua kali periode, dan sebagainya menjadi semau mereka. Kekuatan yang mem- backingi mereka adalah materi (uang), karena mereka bermitra dengan investor politik yang mengendalikan kinerja pemerintahan.
Sifat tamak harta, kekuasaan, dan jabatan menjadi karakter yang melekat pada diri manusia-manusia sekuler yang lalim, yang tidak lagi merasa diawasi Tuhan. Didukung oleh sistem kapitalisme yang tidak memiliki konsep sahih dalam mengatur kepemilikan, sehingga pengelolaan harta kekayaan hanya terkonsentrasi di tangan segelintir orang pemilik modal.
Masalah bertambah pelik ketika lembaga yang bertugas untuk ‘bersih-bersih’ korupsi justru dilemahkan melalui sejumlah regulasi. Sudah jatuh tertimpa tangga. Sudahlah dilemahkan, KPK juga semakin kehilangan trust dari banyak kalangan. Akhirnya, jalan pemberantasan korupsi berada dalam labirin yang penuh kebuntuan.
Ideologi Alternatif
Harus ada perubahan mendasar untuk keluar dari labirin pemberantasan korupsi di negeri ini. Perubahan itu adalah mengganti cara pandang atas hakikat dunia, kehidupan, dan manusia. Cara pandang alternatif ini juga harus memiliki asas pada seluruh aturan main di atasnya. Dalam bahasa islam ia adalah akidah. Akidah Islam telah memenuhi syarat sebagai ideologi alternatif dari kapitalisme sekuler itu. Islam memiliki asas yang kuat, yakni akidah, serta memiliki aturan main yang komprehensif, yakni syariat. Sebenarnya, Islamlah satu-satunya ideologi yang sahih bagi seluruh manusia. Ia selaras dengan penciptaan manusia dan alam semesta. Sebelum kapitalisme yang hari ini gagal, Islam telah lebih dahulu memberikan bukti konkret sukses membawa peradaban manusia yang gemilang dan luhur belasan abad.
Islam memandang bahwa kekuasaan adalah amanah. Kekuatan yang dimiliki para penguasa digunakan untuk menunaikan amanah mengatur urusan rakyat, bukan untuk menjadi kekuatan pengumpul modal. Akidah Islam yang kuat akan melahirkan individu dan masyarakat yang takwa kepada Allah Swt sehingga ketakwaan inilah yang akan menjadi kontrol alami seseorang dari tindak penyimpangan seperti korupsi. Ketakwaan juga menjadi perisai dari sifat tamak, hedonis, dan materialis. Seseorang akan memilih bersifat qona'ah (merasa cukup) dengan pemberian Allah. Keinginan untuk melakukan pelanggaran terhadap syariat akan diminimalisir oleh ketakwaan. Sistem Islam (Khilafah) akan memberikan atmosfer yang sejuk bagi bersemainya ketakwaan individu.
Allah Swt berfirman dalam surat Al-A’raf ayat 96, ”Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, niscaya kami melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka kami siksa mereka sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan.”
Sayangnya, Islam ideologis itu telah dicekal laju dan geraknya sehingga umat manusia terhalang dari memperoleh sosialisasi yang efektif tentang Islam dan syariatnya. Bahkan tak jarang dari kalangan umat Islam sendiri merasa fobia terhadap Islam ideologis. Kalangan inilah yang harus dibuka mata fisik dan batinnya agar sadar akan kebobrokan kapitalisme dan sadar akan kemuliaan agamanya. Hanya dengan Islamlah kaum muslim akan mampu membangun peradaban sehat tanpa korupsi melalui tegaknya institusi khilafah. Dan dengan khilafahlah, dakwah islam bisa efektif tersebar ke seluruh alam sehingga manusia merasakan keadilan dan kesejahteraan yang sesungguhnya. Wallahua’lam.[]