"Impitan dan tekanan yang dialami generasi sandwich bisa saja meledak menjadi frustasi sosial, terutama bagi yang berpendapatan rendah. Sungguh sangat memprihatinkan, mereka dipaksa oleh keadaan untuk bekerja keras, namun hasil yang diperoleh ternyata belum mampu mencapai tingkat kesejahteraan karena penghasilannya habis untuk memenuhi kebutuhan pokok saja."
Oleh. Muthiah Al Fath
(Tim Penulis Inti Narasipost.com)
NarasiPost.Com-Istilah “generasi sandwich” mulai populer di kalangan masyarakat, khususnya bagi kalangan anak muda. Namun, realitasnya tidak seenak rasa sandwich, sebaliknya fenomena ini adalah istilah bagi generasi muda yang terimpit beban ekonomi. Di satu sisi, mereka merasa bertanggung jawab atas beban normatif sebagai anak, di satu sisi ia juga ingin hidup sejahtera bersama keluarga kecilnya.
Berdasarkan Sensus Penduduk 2022, jumlah generasi sandwich mencapai 71.621.318 jiwa atau 26,5% dari jumlah penduduk Indonesia, dengan usia 20-54 tahun.
Menurut Dosen Politeknik STIS (Sekolah Tinggi Ilmu Statistik), Margaretha Ari Anggorowati, bahwa banyak kelompok usia produktif yang dapat terhambat potensinya karena harus menanggung hidup anak, orang tua, dan anggota keluarga lainnya. Fenomena ini jika tidak disikapi dengan baik, maka dapat menimbulkan kesenjangan dan berdampak pada kemiskinan. (KompasTV, 14/11/2022)
Mengapa generasi sandwich ini dapat terjadi? Banyak pihak menilai bahwa akar masalah dari lahirnya generasi sandwich ini akibat kegagalan finansial orang tua, dan masalah ini dapat selesai hanya dengan menyiapkan jaminan untuk generasi tua. Lantas, apakah benar demikian? Bagaimana cara memutus rantai generasi sandwich?
Akar Masalah
Sangat disayangkan, jika beberapa pakar keuangan menyebut penyebab generasi sandwich karena kegagalan generasi sebelumnya dalam merencanakan keamanan finansial. Analisis seperti ini akan berpotensi menimbulkan sentimen negatif akibat saling menyalahkan antargenerasi. Padahal, penyebabnya tidak bisa berhenti di tataran keluarga saja, melainkan lebih luas dan mendasar, yakni kehadiran peran negara.
Jika kita amati lebih dalam, penyebab fenomena generasi sandwich diakibatkan oleh beberapa hal, antara lain:
Pertama, disfungsi peran negara sebagai pelayan rakyat. Sistem kapitalisme menjadikan peran negara hanya sekadar berperan sebagai regulator dan fasilitator, sehingga negara tidak berkewajiban memenuhi kebutuhan pokok rakyat dengan baik.
Padahal, Jika negara benar-benar menjalankan tugas dan fungsinya secara optimal, maka beban hidup rakyat akan berkurang, dan generasi muda tidak akan mengalami beban ekonomi yang sangat berat sebagaimana hari ini. Para pencari nafkah, termasuk generasi sandwich tidak akan bersusah payah dan berkeluh kesah dalam bekerja.
Kedua, impitan ekonomi akibat penerapan sistem ekonomi kapitalisme. Sistem kufur ini telah memaksa banyak keluarga muslim untuk fokus hanya pada perjuangan memenuhi kebutuhan dasar keluarga, akibat ketegangan dan kemiskinan yang terus dipelihara.
Ketiga, gaya hidup konsumtif yang dipengaruhi oleh tatanan nilai sekularisme-materialisme. Nilai-nilai ini memengaruhi kualitas interaksi sosial hubungan keluarga muslim menjadi serba transaksional. Akibatnya, anak hanya sebatas menjadi investasi dunia, sedangkan orang tua adalah mesin ATM.
Tabiat transaksional dari gaya hidup sekularisme telah meracuni banyak keluarga muslim. Mahalnya biaya hidup dan pendidikan anak ternyata memicu beban moral bagi generasi sandwich. Menjadikan paradigma harus “balik modal” dari penghasilan telah tertanam di benak mereka. Paradigma ini sangat berbahaya karena pada akhirnya orang tua akan dianggap sebagai beban oleh sang anak. Bahkan, terkadang terjadi hitung-hitungan atas modal yang telah dikeluarkan.
Ketiga, pengaruh kehidupan sekuler-liberal yang memicu gaya hidup konsumtif dan hedonis menjadi tak terkendali. Di mana paradigma sejahtera tidak lagi dipandang sekadar memenuhi kebutuhan pokok seperti sandang, pangan, papan, pendidikan dan kesehatan.
Ditambah lagi, demi menebarkan virus 3f (food, fun, fashion), segala sesuatu yang bersifat kesenangan materi senantiasa diproduksi industri kapitalis dan masif ditampilkan oleh media. Akibatnya, virus 3f mudah menyerang kehidupan generasi muda, dan menjadikan kesenangan materi dunia melalaikan identitas serta hakikatnya sebagai hamba Allah Swt.
Dampak Fenomena Generasi Sandwich
Sederhananya, generasi sandwich adalah istilah yang menggambarkan posisi finansial seseorang yang terimpit antara generasi atas (orang tua atau mertua) dan generasi bawah (anak). Tentu saja, tidak mudah menjalani kehidupan dengan menanggung hidup tiga generasi, apalagi di era sistem kapitalisme.
Ditambah lagi, momok menakutkan sering mengancam kelompok usia produktif akibat dihadapkan pada ancaman PHK massal. Alhasil, tahun 2020, di Indonesia, jumlah pengangguran usia muda hampir menyentuh angka 20%, dan tertinggi se-Asia Tenggara. Fenomena impitan dan beban ekonomi yang tinggi berpotensi membuat generasi sandwich mudah lelah secara fisik dan mental karena waktunya habis untuk bekerja.
Ketidakseimbangan antara jumlah penduduk dan lapangan pekerjaan yang tersedia dan kesempatan menempuh pendidikan yang tidak merata menyebabkan banyak dari mereka terpaksa mencari pinjaman online berbasis ribawi sebagai solusi. Meskipun faktanya tidak dapat meringankan beban mereka, melainkan hanya menambah masalah baru.
Impitan dan tekanan yang dialami generasi sandwich bisa saja meledak menjadi frustasi sosial, terutama bagi yang berpendapatan rendah. Sungguh sangat memprihatinkan, mereka dipaksa oleh keadaan untuk bekerja keras, namun hasil yang diperoleh ternyata belum mampu mencapai tingkat kesejahteraan karena penghasilannya habis untuk memenuhi kebutuhan pokok saja. Ditambah lagi, mereka menyaksikan pameran gaya hidup mewah di media sosial yang senantiasa menstimulus pada gaya hidup hedonisme.
Selanjutnya, hal ini menimbulkan perasaan bersalah apabila mereka belum mampu menyejahterakan keluarga. Pengaruh sekularisme menjadikan sejahtera jika seseorang mampu memenuhi kebutuhan sekunder dan tersier bukan lagi primer. Hal ini berimbas kepada generasi sandwich untuk selalu memaksakan diri memenuhi tuntutan kebutuhan tersebut. Akibatnya, fenomena tuntutan gaya hidup lebih tinggi ketimbang penghasilan sudah sering kita saksikan. Jika hal ini terus terjadi dapat berdampak pada kondisi psikologis yang menyebabkan insecure, depresi, bahkan bunuh diri. Bukankah sudah banyak kasus bunuh diri lantaran impitan ekonomi?
Cara Meminimalisasi Dampak Generasi Sandwich
Ada beberapa cara yang bisa dilakukan untuk meminimalisasi dampak dari fenomena generasi sandwich, antara lain:
Pertama, bagi seorang muslim harus menjadikan Islam sebagai landasan berpikir dalam menyelesaikan segala masalah kehidupan, termasuk masalah impitan beban ekonomi. Akidah keislaman yang kuat akan membekali seorang muslim untuk mampu menangkal setiap serangan pemikiran kufur sekuler dan gaya hidup hedonis.
Selain itu, pemahaman agama yang benar akan menjadikan generasi muda beriman, bertakwa, dan berakhlak mulia kepada setiap orang terlebih lagi terhadap orang tuanya. Wujud berbakti kepada orang tua dilakukan dengan ikhlas, dan bukan karena orang tuanya telah mengeluarkan biaya untuk hidupnya.
Selanjutnya, membekali pemahaman tentang muamalah syar’i atau ekonomi Islam. Hal ini membuat generasi muda mustahil terlibat dalam investasi digital maupun pinjol yang berbasis riba. Menanamkan ilmu agama pada generasi muda akan membentuk pola sikap Islami yang membuat mereka untuk bersikap hati-hati dalam setiap perbuatan.
Kedua, mengelola keuangan dengan bijak. Mencatat pemasukan dan juga pengeluaran kebutuhan sehari-hari untuk mengontrol pengeluaran agar tidak membengkak pada hal-hal yang tidak penting. Artinya, senantiasa menahan diri untuk tidak membeli barang-barang yang tidak dibutuhkan.
Ketiga, senantiasa belajar ilmu agama dan ilmu dunia agar menjadi generasi yang mampu beradaptasi dengan kemajuan zaman. Kecerdasan inilah yang membuat generasi muda mampu menemukan peluang dan potensi untuk dapat beradaptasi dengan perubahan zaman, demi mencapai kualitas hidup dan kemajuan umat Islam.
Cara Memutus Rantai Generasi Sandwich
Sistem ekonomi kapitalisme menjadikan negara abai dalam memenuhi kebutuhan pokok rakyatnya. Sebaliknya, justru memberi karpet merah pada sektor privat dan asing untuk mengurusi layanan publik. Di saat yang sama, produk hukum Islam dilecehkan, dan lebih senang dengan hukum buatan manusia yang dipenuhi kebebasan syahwat. Akibatnya, ekonomi berbasis ribawi menjadi solusi yang justru memperburuk kondisi hidup saat ini.
Sebaliknya, sistem ekonomi Islam sangat menekankan peran negara dalam pemenuhan kebutuhan dasar setiap rakyatnya. Sebab hal ini menjadi kunci sehatnya sebuah peradaban, dan menjadi penentu dalam pembangunan manusia, serta akan membuka kualitas generasi muda secara berkelanjutan. Oleh karena itu, jika kebutuhan dasar sudah terpenuhi dengan baik maka manusia bisa bertumbuh, berkembang, mengeksplorasi potensi akalnya, dan senantiasa memberi perhatian besar kepada masalah-masalah umat. Generasi muda fokus untuk mengukir prestasi gemilang, berkarya, dan memberi sumbangsih bagi kemajuan teknologi. Sebaliknya, jika kebutuhan pokok tidak terpenuhi maka perhatian akan terkuras pada seputar persoalan pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan pokok, dan biaya hidup lainnya.
Inilah perbedaan mendasar antara sistem pemerintahan Islam dengan sistem pemerintahan sekuler. Dalam sistem pemerintahan Islam, generasi muda harus produktif menjalankan visi dan misi politik, dan menjadikan Islam sebagai way of life atas solusi setiap masalah kehidupan. Masyarakat dan negara berperan penting menjaga umat agar tidak terjebak dengan arus kehidupan sekuler-hedonis yang mengikis akidah, dan jati diri seorang muslim. Oleh karena itu, sistem Islam kaffah akan menjadikan pemimpin negara amanat, dan menjadikan rakyat sehat secara mental, serta generasi pun selamat.
Di bawah naungan Daulah Islam akan menjadikan generasi muda mampu mengukir peradaban gemilang. Hal ini sebagai balasan dari Allah Swt. dalam surat An-Nahl ayat 97, “Barang siapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik, dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.”
Khatimah
Fenomena generasi sandwich disebabkan oleh gaya hidup konsumtif yang hedonis-materialis, dan lemahnya peran negara dalam menjamin kebutuhan pokok rakyatnya akibat penerapan sistem ekonomi kapitalisme. Seharusnya, hal ini menjadi peringatan bagi umat muslim, bahwa sempitnya hidup hari ini akibat berpalingnya manusia dari peringatan Allah Swt.
Sebagaimana Allah Swt. berfirman dalam surat Thoha ayat 124, “Dan barang siapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sungguh, ia akan menjalani kehidupan yang sempit, dan Kami akan mengumpulkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta.”
Kesempitan hidup yang dirasakan umat hari ini adalah akibat dari penjajahan ekonomi modern ala Barat, dan akibat kelalaian kita meninggalkan aturan Islam kaffah dalam seluruh aspek kehidupan. Wallahu a’lam bishawwab.[]