"Fenomena generasi sandwich ini menjadikan ketakutan bagi sebagian pemuda untuk menikah dan punya anak. Tentu ini menjadi problem sosial baru, yaitu terancamnya lost generation. Inilah potret generasi yang dibesarkan oleh sistem sekuler-kapitalisme."
Oleh. Erdiya Indrarini
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Bagaikan roti sandwich, kehidupan generasi kian terjepit. Beban terus menekan seolah tak berkesudahan. Mengapa generasi sandwich terus bermunculan?
Dilansir dari mediaindonesia.com, istilah sandwich generation alias generasi sandwich diperkenalkan pertama kali pada tahun 1981 oleh seorang profesor sekaligus direktur praktikum University Kentucky, Lexington, Amerika Serikat bernama Dorothy A.Miller. Generasi sandwich adalah orang dewasa yang harus menanggung beban hidup tiga generasi sekaligus, yakni orang tua mereka, mereka sendiri, dan generasi anak-anaknya. Generasi sandwich ini akan mengalami berbagai tekanan, sebab mereka menjadi sumber utama penyokong hidup orang sekitarnya.
Drajat Tri Kartono selaku Sosiolog dari Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS) mengatakan bahwa hal ini lahir karena pergeseran sosial. Cepatnya perubahan ke arah digital menimbulkan kesenjangan generasi lama dan baru. Ketika generasi lama sulit beradaptasi, otomatis menjadi tidak produktif. Akibatnya, generasi baru yang harus menanggungnya. Banyak dari mereka yang menjauhkan diri dari tanggung jawab. Atau, mencari solusi dengan pinjaman online yang justru menambah beban. Tekanan hidup seperti inilah yang memunculkan sandwich generation pada generasi muda, yaitu generasi yang terjepit, layaknya roti sandwich. (kumparanNEWS, 3/12/2022)
Antara Kewajiban dan Beban
Sungguh berat, untuk memenuhi kebutuhan keluarga sendiri saja terasa susah, namun masih harus menanggung keluarga orang tua, mertua, juga anak-anaknya. Memang, tanggung jawab seperti ini sudah menjadi kewajiban bagi setiap individu. Yakni meriayah keluarganya sendiri, keluarga orang tuanya juga berbakti pada mereka dengan memenuhi segala kebutuhannya. Namun ketika semua itu dihadapi sendirian, tentu akan menimbulkan kelelahan, bahkan stres berkepanjangan. Ketika tulang punggung keluarga mengalami stres, niscaya akan berdampak pada psikologi seluruh anggota keluarganya. Jika sudah begitu, tentu akan melahirkan generasi-generasi yang stres pula.
Menghadapi keadaan pelik seperti itu, meninggalkan dan lari dari tanggung jawab adalah tindakan keliru. Mencari solusi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dengan pinjaman online pun justru menimbulkan masalah baru. Apalagi pinjaman online termasuk tindakan riba yang dilarang syariat agama. Dengan melakukan dosa riba, tentu pertolongan Allah akan semakin sirna.
Keadaan seperti ini menjadi lebih berat dengan berkembangnya budaya konsumtif masyarakat. Setiap orang berlomba-lomba menikmati dan bersaing untuk memiliki barang-barang keluaran terbaru. Merasa tidak percaya diri jika belum punya barang yang up to date. Pun merasa bosan ketika tidak berganti-ganti barang walau ternyata fungsinya sama. Padahal, barang-barang itu tidak terlalu dibutuhkan. Tak ayal, kebiasaan konsumtif ini makin menambah berat beban ekonomi dan sosial mereka.
Budaya konsumtif masyarakat ini tak lepas dari pengaruh budaya asing yang terus membanjiri generasi, baik melalui tontonan, makanan, maupun melalui fashion. Apalagi, pemerintah melakukan pembiaran. Bahkan memosisikan dan menawarkan diri menjadi sasaran empuk bagi negara-negara produsen atau industri dengan dalih investasi. Akibatnya, rakyat terbentuk menjadi generasi yang konsumtif. Sikap ini menjadikan beban mereka semakin berat.
Di Mana Peran Negara ?
Inilah potret bahwa negara tidak pernah hadir untuk problematik rakyatnya. Maka, apa gunanya pemerintah jika rakyat harus berjibaku sendirian menanggung segala kebutuhan hidupnya. Rakyat hanya dituntut kerja, kerja, dan kerja lebih keras lagi tanpa diperhatikan kesejahteraannya. Apalagi masih dibebani dengan berbagai pungutan seperti pajak. Faktanya kebutuhan hidup saat ini bukanlah sekadar sandang, pangan, papan, tapi juga kesehatan, pendidikan, keamanan. Ketika semua kebutuhan itu dibebankan pada individu, pasti akan kewalahan.
Bagi ibu rumah tangga, beban ini tentu akan terasa lebih berat lagi. Karena sesuai fitrahnya, seorang perempuan memiliki rasa kepedulian lebih terhadap keluarga. Ia tidak akan membiarkan begitu saja tugas-tugasnya untuk mendidik dan merawat anak-anak, suami maupun orang tuanya yang tak lagi berdaya. Pikiran dan hatinya akan tergerak untuk memberikan pelayanan maupun memenuhi kebutuhan anak-anak dan orang tuanya baik berupa materi maupun kasih sayang.
Bernaung pada Ideologi Penjajah
Namun, itulah risiko kehidupan manusia yang bernaung dalam aturan sistem yang berasal dari penjajah yaitu ideologi kapitalisme. Memang, negeri ini disebut sebagai negara yang berideologi Pancasila. Namun kenyataannya, justru menerapkan sistem pemerintahan dari ideologi kapitalisme. Dalam ideologi kapitalisme, negara diharuskan penerapan sistem demokrasi, yakni suara rakyat disamakan dengan suara Tuhan. Liberalisme, yaitu kebebasan berkehendak tak peduli halal haram. Juga sekularisme, yaitu syariat Islam dilarang mencampuri urusan politik, ekonomi, budaya, pendidikan, dan sebagainya. Serta paham-paham lain seperti feminisme, pluralisme dan semacamnya.
Dalam sistem ideologi kapitalisme ini, negara hanya berperan sebagai regulator saja, yaitu membuat peraturan-peraturan yang sehaluan dengan kepentingan kaum kapitalis atau korporat. Sementara, terhadap rakyat bersikap layaknya pedagang, dan rakyat dipaksa untuk membeli. Sama sekali tak ada periayahan terhadap rakyat. Karena yang dianggap rakyat bagi ideologi ini adalah para kapitalis, yaitu para pemilik modal, seperti cukong, pejabat, maupun publik figur. Sementara, rakyat jelata hanya disuruh mencari solusi sendiri atas segala permasalahan hidupnya.
Maka tak heran, ketika rakyat mengalami yang disebut sebagai sandwich generation alias generasi yang tertekan beban hidup, mereka hanya memberi saran yang sifatnya individual. Yaitu berupa anjuran bahwa setiap orang harus cermat mengelola keuangan. Atau, setiap orang harus menabung untuk hari tua. Padahal, apanya yang akan ditabung ketika pendapatan pun tak mencukupi untuk segala kebutuhan? Sementara negara yang harusnya menjadi pengayom justru lepas tangan.
Mirisnya, fenomena generasi sandwich ini menjadikan ketakutan bagi sebagian pemuda untuk menikah dan punya anak. Tentu ini menjadi problem sosial baru, yaitu terancamnya lost generation. Inilah potret generasi yang dibesarkan oleh sistem sekuler-kapitalisme. Sistem ini telah gagal dalam menjalankan tanggung jawab terhadap rakyatnya.
Bernaung pada Syariat Islam
Keadaan ini sangat jauh berbeda kala rakyat hidup di bawah naungan Islam. Di mana, syariat Islam diterapkan dalam mengatur pemerintahan. Perlu kita ketahui, Islam tidak sekadar agama ritual semata. Namun, Islam adalah sebuah sistem kehidupan yang di dalamnya ada peraturan dan hukum-hukum. Ketika sistem Islam diterapkan secara keseluruhan, niscaya akan menyejahterakan seluruh rakyatnya baik muslim maupun nonmuslim, bahkan pada seluruh alam. Inilah janji Allah Swt..
"Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan." (QS Al-A'raf : 96)
Dalam perekonomian Islam, terbagi menjadi dua kebutuhan pokok, yaitu pertama, yang bersifat individu seperti sandang, pangan, papan. Pada kebutuhan ini, negara akan menjamin secara tidak langsung dengan memberikan lapangan kerja bagi siapa pun yang membutuhkan. Sehingga, setiap kepala keluarga mampu memberikan nafkah yang cukup untuk keluarganya. Negara juga akan menjaga kestabilan ekonomi sehingga tidak terus menerus terjadi inflasi, dan harga-harga barang tetap terjangkau oleh rakyat.
Kedua, kebutuhan pokok yang bersifat publik, seperti pendidikan, kesehatan, juga keamanan. Pada kebutuhan publik ini, negara wajib menyediakan dengan jumlah dan kualitas yang terbaik. Semua kebutuhan publik ini, rakyat bisa menikmatinya tanpa mengeluarkan biaya alias gratis. Para perempuan pun tidak dituntut untuk bekerja mencari materi. Karena sampai kapan pun, kebutuhan perempuan akan ditanggung oleh walinya. Ketika walinya tidak ada, maka ditanggung oleh negara.
Dengan demikian, tak akan ada generasi penuh beban dan terjepit layaknya generasi sandwich seperti saat ini. Karena, sistem Islam memberikan kemudahan dan keringanan. Sehingga tidak perlu ada beban yang berlebihan. Setiap orang akan memiliki waktu lebih banyak yang bisa digunakan untuk beribadah, melakukan amar makruf nahi mungkar guna mempersiapkan kehidupan akhiratnya. Pun dengan senang menjalankan tugas mendidik anak-anaknya, sekaligus menjalankan kewajiban terhadap orang tua. Sebagaimana perintah Allah dalam firman-Nya yg artinya :
"Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya…." (QS. Al-Isra : 23)
Dengan demikian jelaslah bahwa kala negara menerapkan sistem Islam, maka tak akan lahir generasi yang hidupnya terjepit layaknya roti sandwich. Maka, masih akankah mempertahankan sistem pemerintahan yang diadopsi dari penjajah ?
Wallahua'lam bisshowab[]
Photo : Canva