Waspadai Kasus Pelecehan Dijadikan Tunggangan Pelolosan RUU TPKS

Kasus pelecehan seksual di satu sisi memunculkan perasaan empati sebab apa yang menimpa mereka adalah sebuah tragedi. Namun sayangnya, adanya kasus tersebut malah dijadikan sebagai tunggangan untuk memuluskan RUU TPKS yang menjadi pro-kontra.

Oleh. Dia Dwi Arista
(Kontributor Tetap Narasipost.Com)

NarasiPost.Com-Beberapa tahun terakhir aktivis liberal dan feminis gencar menyuarakan tentang Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) terhadap tindak kekerasan seksual. Pelegalisasian RUU yang semula direncanakan pada tahun 2018 terpaksa harus ditunda sebab terdapat pro-kontra di tengah masyarakat. Timbulnya pro-kontra, disebabkan adanya pasal dengan makna ganda, yakni pelegalan seks dan LBGT.

Angka kekerasan seksual yang semakin tinggi, membuat gerah Komnas Perempuan, sebab sebagian besar korban tidak mendapat keadilan yang setimpal. Bahkan, sebagian malah berakhir menjadi tersangka, sedangkan pelaku sesungguhnya bebas di alam terbuka. Kondisi inilah yang menjadi awal tercetusnya Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS).

Sejarah RUU TPKS

Pada tahun 2012, Komnas Perempuan menginisiasi terbentuknya payung hukum bagi korban kekerasan seksual. Hal ini didasari pada tingginya data kekerasan seksual yang menimpa perempuan dan anak per tahunnya. Komnas PA pun mulai membujuk DPR untuk melegalkan undang-undang sebagai perlindungam korban kekerasan seksual.

Gayung bersambut, DPR pun menyetujui adanya Rancangan Undang-Undang setelah perjuangan panjang Komnas PA selama empat tahun. DPR dan pemerintah kemudian memasukkan RUU ini pada Prolegnas Prioritas tahun 2016. Bahkan dukungan dari orang nomor satu pun didapat. Kemudian pada April 2017, RUU tersebut disepakati sebagai inisiatif DPR dengan rencana awal akan digawangi oleh Pansus di Komisi III, namun akhirnya beralih ke tangan KomisI VIII.

Pembahasan pun sampai pada tahun 2018 dengan menjaring pendapat pada sejumlah elemen masyarakat. Namun, akhirnya nasib RUU ini harus ditunda kembali hingga selesainya pemilu tahun 2019. Tak beruntung, RUU ini menyebabkan pro-kontra dalam pembahasannya. Hingga akhirnya RUU PKS dimasukkan dalam 'RUU Kontroversial' yang menarik perhatian khalayak.

Menjelang tahun 2020, ketika Baleg DPR RI melakukan evaluasi Prolegnas Prioritas Tahun 2020, Marwan Dasopang yang menjabat sebagai Wakil Ketua komisi VIII DPR RI mengajukan pencabutan RUU PKS. Dan saat ini, RUU PKS kembali menjadi topik hangat untuk dibahas, semenjak adanya kontra di balik kata 'kekerasan', pihak terkait dalam perencanaan RUU tersebut berusaha mengotak-atik judul untuk mengakomodasi seluruh pendapat elemen masyarakat. Hingga akhirnya tercetuslah Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS). Namun kontra masih tetap bergulir, sebab sebagian pakar menyatakan bahwa RUU ini lahir dengan cangkang baru namun isi tak jauh berbeda dari sebelumnya. (cnnindonesia.com, 2/7/2021)

RUU TPKS Kembali Mendapat Jalan

Pro-konta yang terjadi di tengah masyarakat tak menyurutkan langkah pendukung RUU ini untuk disahkan. Bahkan dalam dua minggu terakhir, kasus pelecehan yang terjadi bagai di blow up di berbagai media. Sebut saja, kasus bunuh diri Novia Widyasari, mahasiswa Universitas Brawijaya Malang, yang beritanya ramai mengisi kolom berita, baik cetak, televisi, maupun berita online. Begitu pula dengan kasus pelecehan seksual yang terjadi di Bandung. Seorang pendidik mencabuli belasan santrinya hingga melahirkan.

Berita-berita ini, di satu sisi memunculkan perasaan empati sebab apa yang menimpa mereka adalah sebuah tragedi. Namun sayangnya, adanya kasus tersebut malah dijadikan sebagai tunggangan untuk memuluskan RUU TPKS yang menjadi pro-kontra.

Andai RUU tersebut tak menyiratkan kebolehan zina, tentu RUU ini akan didukung oleh segenap elemen masyarakat. Namun, dalam draf yang terbaru pun RUU yang mengakui empat kekerasan ini (1. Pelecehan seksual baik fisik atau nonfisik, 2. Pemaksaan kontrasepsi, 3. Pemaksaan hubungan seksual, 4. Eksploitasi seksual) masih tetap menyiratkan kebolehan dalam berhubungan badan jika dilandasi suka sama suka.

Akar Kekerasan Seksual

Harus benar-benar disadari, bahwa menyelesaikan sebuah masalah perlu mengetahui akar persoalannya. Sebab ketika menyelesaikan masalah bukan dengan membasmi akar permasalahannya, dipastikan masalah tersebut akan terus tumbuh. Seperti memotong rumput tanpa mencabut akarnya, akan tumbuh dengan cepat dalam sekejap.

Maka, permasalahan kekerasan seksual yang terus berulang bukan hanya disebabkan pemakaian rok mini maupun mata laki-laki yang memandang. Namun aturan pergaulan liberallah yang menjadi sumbu dari segala permasalahan kekerasan seksual. Dengan pelegalan liberal sebagai salah satu paham di negeri ini, dari sisi pergaulan tentu akan terkena dampaknya. Mulai dari pakaian yang bebas tanpa etika, berduaan dan berbaur antara laki-laki dan perempuan, hingga pacaran yang menjadi pemantik api seksual.

Padahal jelas sekali bahwa laki-laki dan perempuan bagai ujung magnet yang saling tarik-menarik. Ketika dibebaskan dalam berperilaku, maka sangat tipis garis yang menjadi penghalang. Mengingat paham sekuler pun juga diterapkan di negeri ini, menganggap urusan dunia adalah keahlian manusia, sedangkan agama memiliki ranah berbeda. Bertambah suburlah paham liberalisme mengikis rasa malu dan iman yang tertanam. Naluri seksual manusia yang dibebaskan dari segala aturan, menjadi tak terkendali dan liar, hingga seks di luar pernikahan dan kekerasan seksual mudah untuk terjadi.

Hal ini senada dengan pendapat dari almarhumah Ustazah Pratma Julia Sunjandari yang diwartakan gontornews.com dalam acara Bincang Hangat Ummi Irene Handono di Jakarta, beliau berpendapat bahwa akar masalah kejahatan seksual terjadi karena beberapa faktor, seperti kebebasan kepemilikan, kebebasan berpendapat, kebebasan berperilaku, dan kebebasan berakidah.

Islam Solusi Sempurna

Sebagai seorang muslim sudah sewajarnya menjadikan syariat Islam sebagai rujukan dalam setiap permasalahan. Demikian pula dengan masalah kekerasan seksual. Syeikh Taqiyuddin An-Nabhani, dalam kitabnya yang berjudul An-Nizham Al-Ijtima'i fi Al-Islam menjelaskan bahwa terdapat dua faktor yang bisa membangkitkan naluri, yakni fakta yang terindera dan pikiran yang dapat mengundang bayangan. Naluri seksual yang melekat pada manusia, akan bangkit ketika terdapat rangsangan dari luar yang membutuhkan pemuasan.

Maka, ketika lingkungan dengan mudah menyediakan faktor yang dapat membangkitkan naluri seksual, semisal rok mini atau gambar wanita dengan pakaian terbuka, sewajarnya naluri yang terpendam akan mudah bangkit. Lingkungan yang seperti ini, pasti juga akan menimbulkan bayangan-bayangan atau fantasi-fantasi yang ingin diperoleh untuk memuaskan hasratnya. Bahayanya, ketika tidak ada pasangan halal, maka pasangan haram atau bahkan orang yang tak dikenal bisa menjadi korban. Dan hal ini terbukti tak hanya terjadi pada wanita dewasa saja, namun anak-anak maupun lansia bisa menjadi korban kebejatan dari nafsu yang tak terkendali.

Oleh karena itu, Islam mengatur adanya kehidupan terpisah antara laki-laki dan perempuan, melarang khalwat dan ikhtilat, memerintahkan menutup aurat dan menjaga pandangan mata. Semua itu semata-mata merupakan penjagaan agar naluri seksual yang dibutuhkan untuk melestarikan keturunan tidak sembarang bisa diumbar. Namun, harus dibingkai dalam sebuah ikatan bernama pernikahan.

Allah pun telah mengingatkan manusia dengan perintah tegas yang termaktub dalam surah Al-Isra ayat 32, yang berbunyi "Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk."
Allahu a'lam bis-showwab[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Tim Redaksi NarasiPost.Com
Dia Dwi Arista Tim Redaksi NarasiPost.Com
Previous
Potret Pilu Muslim Anak Benua, Derita Umat yang Tak Berjunnah
Next
Kediktatoran Kapitalisme Timur di Laut Natuna, Mampukah Indonesia Melawan?
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram