Wacana "Robotisasi PNS", Solusi untuk Birokrasi?

"Tidak sedikit yang mengkhawatirkan bahwa di balik rencana penggunaan robot dalam birokrasi akan mengurangi lapangan pekerjaan bagi manusia, karena “lahan” yang diambil oleh mesin buatan ini, alias angka pegawai yang harus dirumahkan tentu akan meningkat."

Oleh. Iranti Mantasari, BA.IR, M.Si
(Kontributor Tetap NarasiPost)

NarasiPost.Com-Suatu ketika, baginda Rasulullah saw. mengutus dua orang sahabat beliau, yakni Mu’adz bin Jabbal r.a. dan Abu Musa al-Asy’ari r.a. untuk berdakwah ke Yaman. Dalam kesempatan tersebut, Rasulullah saw. bersabda kepada keduanya, “yassiruu wa laa tu’assiru wa basysyiru wa laa tunaffiruu” yang berarti “permudahlah, jangan dipersulit. Dan berikanlah kabar gembira, dan jangan buat mereka lari”. Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim ini mengindikasikan pentingnya untuk memberikan kemudahan dalam mengatur urusan orang lain, bukan malah dipersulit.

Ironisnya, di negeri yang penduduknya mayoritas mengakui kerasulan Nabi Muhammad saw, justru sudah masyhur diakui oleh rakyatnya sebagai negeri yang berprinsip “jika bisa dipersulit, mengapa dipermudah?” Ya, dalam hal yang terkait birokrasi antara pemerintah dengan rakyat, Indonesia dikenal dengan keruwetannya ketika mengatur banyak urusan yang sifatnya administratif. Penyelesaian masalah yang tidak to the point menjadi hal yang sering terjadi. Dari fakta inilah, kontradiksinya dengan hadis Nabi di atas kian jelas.

Pada tahun 2013, eks wakil Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Eko Prasojo, pernah mengungkap beberapa penyebab umum keruwetan birokrasi di Indonesia. Disebutkan bahwa orientasi budaya kerja para pegawai terbilang lemah; banyaknya ketidakharmonisan peraturan perundang-undangan; banyaknya birokrat yang tidak sesuai antara posisi dan kemampuannya; adanya overlapping atau tumpang tindih dalam kewenangan, yang tentu memberikan kecenderungan pada birokrat untuk menyalahgunakan kewenangan; serta buruknya pelayanan publik. Di luar hal-hal tersebut, fakta di lapangan juga menunjukkan bahwa jalan untuk pungutan liar (pungli) terbuka lebih lebar dalam keruwetan birokrasi yang ada. Semakin ruwet dan bertele-tele birokrasi, maka celah pungli pun semakin besar.

Atas dasar beragam masalah birokrasi itulah, sejak lama diwacanakan agar dilakukan pemangkasan birokrasi sehingga bisa lebih efektif, efisien dan memudahkan berbagai proses administratif. Sebagaimana yang diwartakan oleh Republika, salah satunya diwacanakan agar PNS di beberapa bidang akan diganti dengan PNS “robot”. Tentu saja, saat wacana dari pemerintah ini mencuat ke tengah publik, berbagai respons pro dan kontra tak terelakkan.

Skeptisisme Seputar Wacana “PNS Robot”

Era modern konon disebut sebagai era robotisasi, di mana berbagai tugas dalam kehidupan dianggap lebih mudah dikerjakan dengan robot yang didesain khusus untuk tugas tertentu. Sejak munculnya “petugas-petugas robot” ini, sudah banyak pihak yang mengkritisi terkait eksistensinya, tak terkecuali tentang merambahnya tugas robot dalam peran yang diampu oleh PNS. Tidak sedikit yang mengkhawatirkan bahwa di balik rencana penggunaan robot dalam birokrasi akan mengurangi lapangan pekerjaan bagi manusia, karena “lahan” yang diambil oleh mesin buatan ini, alias angka pegawai yang harus dirumahkan tentu akan meningkat.

Ada pula yang gusar jika robot ini masif digunakan untuk menggantikan tugas PNS, maka rakyat kalangan bawah yang “gagap teknologi” akan semakin sulit untuk mengurus berbagai administrasi yang memang ribet di negeri ini. Selain itu, pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti juga mengungkap bahwa kemampuan ahli dan tenaga kerja di Indonesia untuk memproduksi robot sendiri masih belum mumpuni, sehingga akan menyulitkan pemenuhan kebutuhan akan robot. Bila disimpulkan dari satu fakta ini saja, maka tidak menutup kemungkinan opsi impor lagi-lagi dianggap sebagai pilihan yang mentereng.

Tak sampai di situ, kegelisahan terkait keamanan privasi data pribadi rakyat juga mencuat ke permukaan. Memakai mesin buatan untuk menggantikan tugas manusia, dapat dipastikan akan menggunakan Artificial Intelligence (AI) atau kecerdasan buatan dan big data. Dua hal ini juga tak lepas dari sorotan, mengingat saat ini saja berbagai penyalahgunaan data pribadi masyarakat tidak sedikit yang bocor dan terancam dengan praktik monetisasi, pembajakan, hingga penipuan. Maka sebelum memantapkan penggunaan robot, pemerintah agaknya jauh lebih utama untuk menangani masalah keamanan data publik terlebih dahulu.

Robotisasi Bukan Obat Manjur Problematik Publik

Sekarang memang sudah zamannya mesin buatan manusia mengambil alih tugas manusia itu sendiri. Hanya saja, berbagai masalah publik tidak seharusnya ditangani oleh mesin, tak terkecuali dalam urusan birokrasi. Memercayakan robot untuk meringkas birokrasi ruwet ala negeri ini sama saja dengan memalingkan diri dari kunci masalah sebenarnya. Apabila kembali ke poin problematik birokrasi, benang merahnya terlihat pada kelemahan dan keterbatasan regulasi yang dihasilkan dari akal manusia yang memarjinalkan peran agama. Keterbatasan aturan ini juga berdampak pada lemahnya etos kerja dari tidak sedikit pegawai, asal setiap bulan gaji cair, tak peduli pekerjaannya tuntas maksimal atau tidak. Sungguh masalah yang khas dalam sistem sekuler yang sarat nuansa materialistis.

Berbeda dengan Islam, bahkan dengan satu prinsip yang terinspirasi dari sabda baginda Nabi saw, “yassiru wa laa tu’assiru” atau dorongan agar memudahkan urusan orang banyak, maka seyogianya berbagai urusan administratif yang melibatkan jajaran pemerintah dengan rakyat dipermudah, bukan justru dipersulit. Meneladani Rasulullah saw. sebagai sebaik-baik pengatur urusan rakyat sebetulnya sudah amat sangat cukup, terlebih bagi seorang muslim.

Selain itu, semangat berislam yang benar juga sebenarnya akan bisa memunculkan etos kerja yang baik pada diri pegawai. Hal ini tentu disebabkan karena Islam mengajarkan pada umatnya untuk maksimal dan totalitas dalam menunaikan berbagai tugas dan pekerjaan yang diamanahkan di undaknya. Islam tidak mendorong para pegawai menjadi orang yang materialistis, namun mendorong setiap orang menjadi pribadi yang bertanggung jawab. Dengan demikian, wacana robotisasi PNS ini pun akhirnya tidak bebas dari kritik dan lebih jauh lagi, wacana ini belum menuntaskan masalah birokrasi yang sudah mengakar di negeri tercinta tersebab konsekuensi penerapan aturan yang luput dari teladan Islam. Wallahu a’lam bisshawwab.[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Iranti Mantasari BA.IR M.Si Penulis Inti NarasiPost.Com
Previous
Tersandera Ekonomi Neoliberal, Harga Minyak Goreng Naik, Indonesia Tak Berkutik
Next
Gurita Mafia Tanah, Berantas Tuntas dengan Syariat Kaffah
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram