"Ada beberapa bahaya utang luar negeri. Pertama, sebagai jalan untuk menjajah suatu negara. Kedua, negara peminjam tetap miskin, bergantung dan terjerat utang yang kian membengkak. Ketiga, utang luar negeri yang diberikan pada dasarnya merupakan senjata politik (as-silah as-siyasah)_ para kapitalis kepada negara-negara lain untuk memaksakan kebijakan politik dan ekonomi.
Oleh. Trisna Ab
(Aktivis Muslimah)
NarasiPost.Com-Sudah menjadi rahasia umum utang pemerintah Indonesia kian tahun kian melambung. Dilansir dari kontan.co.id (4/11/2021) utang pemerintah per akhir September 2021 mencapai Rp6.711,52 triliun, bertambah sekitar Rp86 triliun dibandingkan sebulan sebelumnya.
Menanggapi bertambahnya utang negara terlebih dalam kondisi Covid-19, Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, menyatakan utang sangat diperlukan untuk menambal defisit yang semakin membengkak karena besarnya pengeluaran pemerintah untuk penangan pandemi. Di samping lonjakan anggaran kesehatan, pemerintah juga harus menggelontorkan dana besar untuk sejumlah program jaring pengaman sosial. Sehingga konsekuensi dari pengeluaran tambahan tersebut membuat defisit APBN semakin naik dan menurut Sri menambah utang negara adalah jalan keluarnya. (kompas.com, 25/7/2021)
Sayangnya, utang yang dilakukan oleh pemerintah tidak hanya digunakan untuk penangan masalah serius, seperti alokasi penanganan wabah dan membantu pemenuhan kebutuhan rakyat, melainkan utang juga dilakukan guna menggenjot pembangunan infrastuktur. Hal ini dipertegas dengan sikap pemerintah dan DPR yang menyepakati Penyertaan Modal Negara (PMN) ke belasan BUMN dengan total Rp72,499 triliun pada tahun 2022, sedangkan jamak diketahui tidak sedikit pengerjaan proyek infrastruktur yang nilainya fantastis terancam mubazir. Sementara sumber dana yang digelontorkan sebagian besar berasal dari utang.
Padahal pembiayaan lewat utang dapat dipastikan akan berdampak buruk pada keuangan negara. Anggaran APBN untuk membayar bunga utang pun juga semakin besar. Alhasil, untuk menutupi beban utang, rakyat akan menjadi tumbal dengan pungutan pajak maupun nonpajak.
Lebih parahnya lagi, utang yang menjerat suatu negara terlebih disertai riba, dari negara asing atau lembaga keuangan global sangatlah berbahaya. Bahkan efeknya dapat menghancurkan suatu negara. Rasulullah pun jauh-jauh hari telah mengingatkan: “Hindarilah tujuh hal yang membinasakan, salah satunya adalah memakan riba. ” (HR. Muslim)
Terbukti saat ini tidak sedikit negara yang berada di ambang kehancuran akibat utang ribawi, semisal Uganda. Negara yang terletak di benua hitam tersebut mengalami gagal bayar utang yang memungkinkannya kehilangan salah satu bandara internasionalnya. Selain itu juga ada Zimbabwe yang harus mengganti mata uangnya dengan mata uang Yuan sebagai kompensasi penghapusan utang.
Berdasarakan fenomena negara-negara gagal bayar utang tersebut, dapat disimpulkan bahwa setidaknya ada beberapa bahaya utang luar negeri. Pertama, sebagai jalan untuk menjajah suatu negara. Kedua, negara peminjam tetap miskin, bergantung dan terjerat utang yang kian membengkak. Ketiga, utang luar negeri yang diberikan pada dasarnya merupakan senjata politik (as-silah as-siyasah) para kapitalis kepada negara-negara lain untuk memaksakan kebijakan politik dan ekonomi. Tujuan mereka memberi utang bukanlah untuk membantu negara lain, melainkan untuk keuntungan dan eksistensi mereka sendiri.
Oleh karena itu, satu-satunya cara agar negeri ini terlepas dari bahaya utang adalah dengan berhenti berutang dan melakukan revolusi sistem keuangan negara. Islam memiliki sistem ekonomi berbasis sistem keuangan Baitul Mal. Disertai pula dengan pembenahan kepemilikan aset Sumber Daya Alam (SDA) sebagai harta kepemilikan umum yang wajib dimanfaatkan secara optimal untuk kepentingan rakyat. Sementara itu, kepemilikan di tangan swasta asing akan ditarik dan ditata ulang.
Lebih detil, sumber keuangan Baitul Mal dalam Islam berasal dari tiga pos. Pertama, kepemilikan umum. Yakni harta yang kaum muslimin berserikat atasnya dan tidak boleh dikuasai oleh segelintir orang. Sebab itu harta kepemilikan umum, maka wajib dikelola oleh negara secara mutlak dan seluruh hasilnya dikembalikan untuk menjamin kemaslahatan umat.
Kedua, pos kepemilikan negara yang berasal dari harta ghanimah, anfal, fai, khumus, jizyah, ushur dan lain sebagainya. Dana ini digunakan untuk membiayai tentara, pegawai negara, hakim, guru, dan semua pihak yang memberikan kontribusi kepada negara dalam mengurus kemaslahatan umat.
Ketiga, pos zakat yang berasal dari harta zakat, shadaqoh, dan wakaf kaum muslimin. Dana ini hanya akan diberikan untuk delapan ashnaf.
Kemudian tentulah kebiasaan berutang dalam negara kapitalis-liberal dengan dalih inventasi akan dihentikan dalam kerangka negara Islam yang sahih, Daulah Khilafah Islamiah. Dimana kekhilafahan Islam justru akan mengoptimalkan kapasitas Sumber Daya Manusia (SDM) dalam negeri untuk memandirikan ekonomi.
Kemandirian dan ketangguhan ekonomi Islam sendiri telah terbukti dalam penerapannya pada kekhilafahan Islam lebih dari 13 abad lamanya yang menjadi mercusuar ekonomi dunia. Andai saja pemerintah mau berbenah diri, menggunakan akal sehat dalam menghukumi urgensitas dan akibat yang ditimbulkan oleh utang serta beralih menerapkan sistem ekonomi Islam di bawah naungan khlafah, maka tidak ada cerita negeri kaya dengan limpahan Sumber Daya Alam (SDA) terlilit utang demi mengangkat perekonomian. Wallahu’alam bishowab[]