"Inilah standar yang lahir dari sudut pandang kapitalisme. Utang dianggap sebuah pencapaian. Geliat pertumbuhan ekonomi dan pembangunan pun tak sedikit ditakar dari jumlah/nominal utang yang diterbitkan. Hal ini dilandaskan pada sebuah paradigma di dalam sistem ini bahwa suatu negeri hanya akan bisa membangun jika dengan jalan berutang."
Oleh. Aina Syahidah
NarasiPost.Com-Utang merupakan sesuatu yang seolah tak pernah bisa lekang dari proses pembangunan di negara-negara berkembang. Adagium ini seolah telah lumrah bahwa membangun harus berutang terlebih dulu.
Berbicara soal utang, pada kuartal ketiga tahun 2021 ini, Bank Indonesia merilis laporan utang luar negeri Indonesia yang jumlahnya telah mencapai US$ 423,1 miliar atau sekitar Rp6.008 triliun. Angka ini dikatakan naik sebanyak 3,7 persen dari tahun lalu. Lantaran, diterbitkannya Global Bonds, Sustainable Development Goals (SDG) Bond sebesar 500 juta euro.
Tak tanggung-tanggung, ini merupakan salah satu penerbitan SDG Bond konvensional pertama di Asia (katadata.co.id, 15/11/2021).
Surat Utang Terbit, untuk Apa?
Naiknya utang luar negeri Indonesia disinyalir oleh karena diterbitkannya surat utang dalam mata uang asing, yakni euro dan dolar Amerika Serikat.
Dilansir dari IFR (14/9/2021), satu dari tiga seri (tranches) obligasi dengan nilai ekuivalen US$ 1,84 miliar, berdominasi euro senilai EUR 500 juta yang merupakan obligasi untuk pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development Goals) dengan tenor 12 tahun. Dan akan jatuh tempo pada 23 Maret 2034 mendatang.
Hal ini dilakukan guna membiayai proyek-proyek sosial dan lingkungan hidup, yakni sebuah proyek jangka panjang dan berkelanjutan guna mewujudkan agenda di tahun 2030 nanti. (kontan.co.id, 14/9/2021)
Utang, Jerat Penjajahan dari para Kapitalis
Walau utang luar negeri naik, sejumlah pihak seolah tak begitu mempersoalkan. Bahkan dengan angka yang tembus Rp6.000 triliun ini dinilai masih terkendali.
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Tauhid Ahmad, menilai peningkatan ini mengisyaratkan geliat ekonomi sektor swasta yang dahulu terdampak pandemi kini mulai membaik. (Tempo.co.id, 17/11/2021)
Inilah standar yang lahir dari sudut pandang kapitalisme. Utang dianggap sebuah pencapaian. Geliat pertumbuhan ekonomi dan pembangunan pun tak sedikit ditakar dari jumlah/nominal utang yang diterbitkan. Hal ini dilandaskan pada sebuah paradigma di dalam sistem ini bahwa suatu negeri hanya akan bisa membangun jika dengan jalan berutang.
Dan cara pandang ini menggerogoti negeri-negeri berkembang hari ini. Mereka tak lagi memikirkan bagaimana cara agar biaya pembangunan sejumlah proyek itu didapat dari hasil pengelolaan SDA. Yang mereka pahami, hanya dengan berutang maka geliat pembangunan bisa terjadi.
Inilah yang dikehendaki oleh sistem kapitalisme hari ini demi melanggengkan kekuasaan para adidaya kapitalis di tanah jajahan mereka. Padahal, aktivitas ini justru semakin mendegradasi kedaulatan negeri penerima utang. Ia menjadi tidak digdaya karena terus bergantung kepada para kapitalis raksasa. Sampai pada suatu masa negeri itu akan lebih mudah untuk diarahkan dan didikte oleh para pemberi utang. Dan hari ini sebenarnya kita tidak kekurangan contoh, kita dapat belajar dari beberapa negara di dunia yang harus melepas sejumlah infrastruktur vital negerinya kepada sang pemberi utang akibat tak bisa lagi membayar pinjamannya. Tentu kita pun tak mau bila harus begitu. Maka, tiada jalan lain selain mencoba untuk berdiri di atas kaki sendiri.
Kesimpulan
Indonesia merupakan negeri yang terlahir dengan membawa potensi sumber daya alam yang melimpah. Tentu ini sebuah anugerah yang patut kita syukuri. Dan dari sinilah harusnya negeri ini bisa memutar roda kehidupannya. Sayangnya hari ini, hasil SDA lebih banyak mengalir ke kas-kas para kapitalis raksasa ketimbang menunjang kehidupan ekonomi dan pembangunan suatu negara.
Ya, meski kita memiliki banyak kandungan mineral berharga di dalam perut bumi, pajak menjadi sumber pendapatan terbesar negeri ini. Lantas, ke mana hasil SDA yang melimpah itu? Kita bukan lagi penikmat tunggal atasnya. Inilah yang terjadi dewasa ini.
Fenomena ini bila ditakar di dalam sudut pandang syariat tentu ini amat berkebalikan. SDA harus dikuasai dan dikelola sepenuhnya oleh negara dan hasilnya dipergunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat. Dan ini terwujud dalam proses kehidupan yang tidak perlu bergantung (baca: berutang) pada pihak lain.
Apalagi ketika utang itu berbasis riba, tentu akan semakin membuat suatu negeri terhimpit. Sudahlah terpasung oleh asing akibat dari kuatnya dominasi mereka lewat utang yang terus diberikan. Berkah dari Yang Mahakuasa juga ikut terkikis habis. Maka tak heran bila pembangunan megah tapi kerusakan terus terjadi baik itu alam dan moral berkelindan di mana-mana.
Negeri muslim dituntut harus digdaya. Mampu mengupayakan segalah kebutuhannya sendiri. Tanpa harus bergantung kepada pihak mana pun itu. Menggantungkan hidup kepada pihak lain hanya akan menjadi bumerang bagi kehidupan negeri itu sendiri. Kedaulatan mereka akan mudah diganggu. Apalagi sang pelaku adalah dari pihak pemberi pinjaman. Wallahu'alam[]