"Gencarnya agenda moderasi agama pun menghinggapi isi cerita film Yuni. Bahwa pemikiran dan perilaku seorang muslim diseret agar sesuai cara pandang Barat."
Oleh. Ageng Kartika
NarasiPost.Com-Perfilman di Provinsi Banten berbangga hati karena film dengan judul Yuni mendapat apresiasi berupa penghargaan Platform Prize di Toronto International Film Festival 2021 pada Minggu (19/9). Telah tayang perdana di bioskop-bioskop Indonesia pada 9 Desember 2021, setelah penayangan di sejumlah festival film internasional (Kompas.com, 9/12).
Mengangkat cerita tentang remaja yang dipaksa untuk menikah ketika usia sekolah di sebuah desa di Serang, Banten. Berbagai alasan menuntut Yuni sebagai perwakilan remaja tersebut untuk menikah dini, antara lain faktor ekonomi, menjaga martabat keluarga, dan menghindari hamil di luar nikah yang dianggap membawa aib keluarga. Akhirnya Yuni bangkit melawan tekanan keluarga dan masyarakat sekitar dengan caranya sendiri.
Inilah wujud patriarki yang dianut masyarakat dari dahulu hingga sekarang, terkhusus di daerah-daerah. Kentalnya ketaatan akan agama dan budaya timur menjadi alasan diterapkannya pernikahan dini, berikut kepatuhan anak terhadap orang tua dan istri terhadap suami. Tetapi sering kali penerapannya salah kaprah. Yang tampak justru kediktatoran atas kekuasaan orang tua terhadap anaknya atau suami terhadap istrinya.
Perempuan ditempatkan untuk tidak memilih ambisinya mencapai cita-cita demi kebaikan di dalam keluarga dan lingkungan sekitar. Dan ketaatan istri dibalas dengan kesewenang-wenangan suami dalam memperlakukannya di dalam rumah. Akhirnya, menikah dini seperti mimpi terburuk bagi para gadis yang menginginkan kebahagiaan dalam berkeluarga.
Sayangnya, salah satu wujud aktualisasi perlawanan Yuni terhadap pemikiran patriarki dan tuntutan lingkungan desa untuk menikah dini adalah melalui adegan hubungan di luar nikah atas dasar persetujuan dari Yuni sendiri. Hal ini dianggap sebagai bentuk pengendalian atas dirinya agar terbebas dari tuntutan ketidakadilan dan ketidaksetaraan gender yang mendarah daging terutama di desanya.
Tentu saja perlawanannya dari ketidakadilan ini bukan dengan persetujuan atas hubungan yang dilarang agama dan merusak tatanan sosial yang masih menjunjung tinggi norma agama di tengah masyarakat. Apabila remaja-remaja pencinta film memaknainya dengan menyetujui bentuk persetujuan atas tubuh sendiri walaupun merusak masa depannya, tentu ini menjadi bumerang bagi perlawanan atas patriarki tersebut. Seharusnya, film ini meniadakan adegan yang justru merusak pola pikir generasi perempuan. Bagaimanapun sekarang para generasi telah dirusak oleh pergaulan bebas yang semakin hari semakin memprihatinkan.
Sistem yang sedang mencengkeram pemahaman generasi bangsa yaitu sekularisme (pemisahan aturan agama dari kehidupan), kapitalisme, dan liberalisme menjadi landasan dalam membuat film yang mampu bersaing di kompetisi internasional. Cerita dibuat selain mewakili visi yang diemban atas kebebasan dalam mewujudkan pemikiran (liberalisasi), Yuni juga menjadi agen dalam menampilkan wujud sekuler pada perlawanan atas tuntutan sosial di film tersebut. Tentu saja isi cerita yang ditampilkan mengikuti kemauan pasar penikmat film, agar mampu meraup keuntungan besar.
Tak dimungkiri, gencarnya agenda moderasi agama pun menghinggapi isi cerita film Yuni. Bahwa pemikiran dan perilaku seorang muslim diseret agar sesuai cara pandang Barat. Layaknya Yuni yang mengambil salah satu solusi dalam mendobrak habit di lingkungannya melalui kedaulatan atas dirinya sendiri yang justru mengantarkan pada kemaksiatan baik dalam pandangan Islam mau pun budaya sekitar. Bagaimana mungkin bangsa ini bisa terbebas dari perilaku seks bebas, aborsi, prostitusi, dan lainnya, jika perfilman yang disuguhkan ke masyarakat menampilkan keleluasaan atas pemanfaatan tubuh dan kebebasan berpikir yang menganut sistem barat.
Melihat gambaran besar film ini, berharap masyarakat mampu mencerna dengan baik atas film yang telah tayang ini. Consent (izin/persetujuan) atas bentuk kemaksiatan bukanlah pembenaran atas tuntutan menikah dini. Banyak cara dan jalan yang benar dalam mewujudkan cita-cita seorang perempuan di tengah gejolak patriarki masyarakat. Mengaktualisasikan diri, mengubah pemikiran dan pemahaman masyarakat sekitar dengan menanamkan perempuan pedesaan atau daerah, mampu bergerak maju dan bermanfaat dalam meningkatkan perekonomian masyarakat. Memotivasi masyarakat untuk mengkaji Islam dengan sebaik-baiknya.
Islam justru memuliakan perempuan (muslimah) karena memiliki koridor jelas dan tegas dalam menempatkan muslimah sebagai generasi gemilang. Islam memperbolehkan muslimah berpendidikan tinggi sesuai dengan kemampuannya. Karena kelak merekalah calon ibu yang akan mendidik generasi Islam berikutnya. Bekerja di luar rumah pun diperbolehkan. Tetapi ada aturan yang mengikutinya agar kemuliaan muslimah tetap terjaga.
Muslimah di dalam Islam harus menjaga pergaulannya dengan lawan jenis, ada batasan berinteraksi baik dalam ruang keluarga (aturan mahram) mau pun ruang publik. Sehingga, hal ini menjadi benteng pertahanan bagi generasi terhindar dari pergaulan bebas. Kemuliaan muslimah diwujudkan juga dengan menutup auratnya secara keseluruhan sesuai aturan Islam. Sehingga, terjaga pandangan dari syahwat.
Ketika muslimah dalam lingkup pernikahan, membangun keluarga, Islam telah mengatur agar kemuliaannya tidak diganggu gugat. Ketaatan istri dibalas dengan perlakuan yang baik dari suami. Sungguh ini adalah hubungan yang harmonis dan mampu mematahkan anggapan patriarki.
Mencari solusi tepat dalam menyelesaikan permasalahan di tengah masyarakat justru harus mengedepankan aturan agama. Sebagai negara dengan mayoritas muslim, sebaiknya mengangkat tema yang berkaitan dengan penyelesaian secara Islam dan sesuai norma masyarakat yang berlaku. Agar tujuan untuk memperbaiki pola pikir generasi melalui perfilman dapat terwujud dengan tepat.[]