"Inilah sesungguhnya wajah dari sistem demokrasi kapitalis sekuler. Sebuah sistem kehidupan yang mengagung-agungkan nilai materi dan kebebasan. Maka, tidak heran jika kebijakan dikeluarkan hanya untuk memuluskan bisnis para pemodal."
Oleh.Ummi Nissa
(Penulis dan Member Komunitas Rindu Surga)
NarasiPost.Com-Keadilan saat ini tampaknya menjadi hal yang sulit untuk dirasakan oleh rakyat negeri ini. Terbukti dari putusan hakim Mahkamah Konstitusi (MK) pada sidang uji formal UU Ciptaker yang menuai polemik serta tidak memihak pada kepentingan rakyat. Sejak awal rancangan UU ini dibuat sampai berakhir di majelis Mahkamah Konstitusi (MK) tetap saja menuai permasalahan. Dalam sidang putusannya, Majelis Hakim MK menegaskan bahwa Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Ciptaker cacat secara formal dan dinyatakan inkonstitusional bersyarat. Hakim ketua MK Anwar Usman membacakan putusannya bahwa UU Ciptaker ini tetap berlaku, sampai pemerintah dan DPR melakukan perbaikan dalam kurun waktu 2 tahun.
Baru kali ini selama sejarah berdirinya, Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian permohonan uji formal. Namun demikian, putusan MK ini banyak menuai kritikan dari berbagai kalangan. Pasalnya putusan ini tidak tegas membatalkan UU Ciptaker sehingga dinilai setengah hati, ambigu, dan hanya memihak pada kalangan pengusaha.
Menurut Guru Besar Hukum Tata Negara, Denny Indrayana, MK berupaya mengakomodasi pihak-pihak yang berkepentingan sehingga mengambil jalan tengah yang menjadikan putusan menjadi ambigu. Ia pun menilai bahwa MK melakukan uji formal UU Ciptaker untuk menilai keabsahan prosedur pembuatan UU, bukan berkaitan dengan isinya. (cnnindonesia.com, 27/11/2021)
Pendapat senada juga disampaikan oleh politikus Gerindra, Fadli Zon. Dalam akun Twitternya ia menyampaikan seharusnya UU ini dibatalkan sebab bertentangan dengan UUD 1945. Jika harus diperbaiki selama dua tahun terlalu banyak invisble hand. (detik.com, 27/11/2021)
Mahkamah Konstitusi Bagian dari Sitem Demokrasi
MK sebagai lembaga peradilan seharusnya dapat memenuhi rasa keadilan bagi seluruh rakyat. Bukan sebaliknya, keputusan yang dikeluarkan hanya berpihak para kepentingan para pengusaha (kapitalis). Inilah sesungguhnya wajah dari sistem demokrasi kapitalis sekuler. Sebuah sistem kehidupan yang mengagung-agungkan nilai materi dan kebebasan. Maka, tidak heran jika kebijakan dikeluarkan hanya untuk memuluskan bisnis para pemodal. Produk UU seperti Omnibus Law atau dikenal dengan UU sapu jagat menjadi bukti keberpihakan penguasa kepada para konglomerat.
Produk-produk hukum yang lahir dari rahim demokrasi memang sarat kepentingan penguasa dan pengusaha. Hal ini dipengaruhi ide dasar sistem sekularisme yang menihilkan aturan Pencipta dalam mengatur kehidupan. Manusia berposisi sebagai sumber hukum yang akhirnya peraturan dapat diubah-ubah sesuai kepentingan pembuatnya.
Begitu pula keberadaan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga peradilan dalam sistem ini, tidak dapat diharapkan sebagai tempat bergantung untuk mendapat keadilan. Sebab keberadaan lembaga ini pun adalah bagian yang tak terpisahkan dari sistem demokrasi kapitalisme sekuler. Dimana keberadaannya mengokohkan sistem yang ada, menjadikan para pengusaha sebagai pihak yang mengendalikan penguasa. Dengan demikian, sistem kehidupan demokrasi kapitalisme sekuler hanya menjadi polemik dan permasalahan manusia. Alih-alih menjadi solusi, yang ada justru menambah ruwet permasalahan. Oleh sebab itu, tidak selayaknya kita berharap pada hukum demokrasi sekuler yang telah gagal mewujudkan keadilan untuk semua. Hal ini berbeda dengan sistem peradilan Islam. Ketika penguasa dituntut, maka hakim akan memutuskan berdasarkan landasan syariat Islam, tidak akan condong pada pihak mana pun.
Mahkamah Peradilan Islam
Sebagai agama yang sempurna, Islam memilki aturan yang komprehensif dalam mengtaur tatanan kehidupan manusia. Terkait peradilan, Islam membaginya menjadi tiga kategori sesuai objek yang dihukumi. Pertama, peradilan hisbah yang menghukumi siapa pun yang melanggar hak-hak umum masyarakat. Kedua, peradilan khusumat, yang mengadili perselisihan antara rakyat dengan rakyat. Ketiga, peradilan mazhalim yang mengadili persengketaan antara rakyat dan penguasa.
Dengan demikian, peradilan mazhalimlah yang akan mengadili setiap kezaliman yang dilakukan penguasa kepada rakyat yang ada di bawah kekuasaannya, baik dilakukan oleh pemimpin negara atau pejabatnya termasuk pegawai negara.
Proses peradilan mazhalim telah dilakukan sejak masa pemerintahan Rasulullah saw.. Adapun dalil mengenai peradilan ini adalah riwayat Nabi saw. yang menetapkan tentang perbuatan seorang penguasa ketika memutuskan perkara atau mengeluarkan kebijakan untuk rakyat tidak sesuai dengan arahan kebenaran maka terkategori kezaliman. Anas menyatakan bahwa pernah suatu ketika di masa Rasulullah saw. harga-harga demikian melambung tinggi, lalu para sahabat berkata, ” Wahai Rasulullah, andai saja anda mematok harga (agar harga tidak melambung).” Kemudian Nabi bersabda:“Sungguh hanya Allah yang menciptakan, memegang, dan melapangkan, yang Maha Pemberi rezeki dan yang Menentukan harga. Aku tidak berharap akan berjumpa dengan Allah kelak sementara ada seseorang yang menuntutku karena kezaliman yang aku perbuat kepada dia dalam perkara yang berkaitan dengan darah dan harta.” (HR. Ahmad)
Dengan demikian, setiap bentuk kezaliman yang menimpa seseorang yang berasal dari penguasa, baik dari pengaturan atau kebijakan yang dikeluarkan negara, dinilai sebagai mazhlimah (kezaliman). Hal ini dapat disampaikan kepada pemimpin negara atau diselesaikan di mahkamah mazhlim.
Sementara, Qodhi Mazhalim adalah orang yang diangkat oleh pemimpin negara untuk mengadili setiap mazhlimah yang berlandaskan pada syariat Islam. Keputusan yang ditetapkan tidak akan condong atau berpihak pada penguasa, meskipun yang dituntut adalah pejabat atau penguasa. Namun, peradilan Islam yang memberikan keadilan hakiki ini hanya akan dapat diwujudkan manakala aturan syariat lainnya juga diterapkan. Sebab aturan Islam yang satu berkaitan dengan yang lainnya. Oleh sebab itu, saat ini yang dibutuhkan adalah kesadaran umat terhadap penerapan aturan Islam secara sempurna. Hanya Islamlah yang menjadi harapan sebagai tempat bergantung rakyat untuk mendapat keadilan. Wallahu a’lam bish shawab[]