"Omicron ini diprediksi memiliki tingkat kecepatan penularan hingga 500 persen lebih cepat dibanding Covid-19 awal. Pertanyaanya, kapan pandemi akan berakhir, jika kemunculan kasus atau varian baru berangsur tak terkendali?"
Oleh. Ahsani Ashri, S.Tr.Gz.
NarasiPost.Com-Pandemi Covid-19 belum usai, namun dunia telah digegerkan kembali dengan varian baru. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), menamakan varian baru virus Covid-19 yang teridentifikasi di Afrika Selatan pada 9 November lalu, sebagai Omicron. Varian baru ini masuk ke dalam daftar perhatian WHO. Jumlah kasus positif akibat varian baru ini mengalami peningkatan hampir di semua provinsi di Afrika Selatan.
Hal ini menimbulkan pertanyaan, seberapa besar efikasi vaksin Covid-19? dilansir dari ABCNews, (30/11/2021) Profesor Tony Cunningham mengatakan bahwa varian Omicron dapat menginfeksi orang-orang yang telah di vaksinasi. Para pakar berpendapat, vaksinasi yang ada hampir dipastikan masih belum bisa efektif menghadapi varian baru ini. Kelihaian virus ini bermutasi, membuat manusia kebingungan sebab wujudnya tak kasat mata.
Di sisi lain, dr. Francis Collins, selaku Direktur Nasional Institutes of Health, memperingatkan bahwa omicron memiliki begitu banyak mutasi dan lebih dari 50 varian yang membuatnya berbeda dari virus aslinya, seperti dilansir di laman Eat This Not That, Rabu (1/12). Kemunculan virus Covid-19 varian baru ini mendorong sejumlah negara mengambil langkah dalam upaya pencegahan, termasuk Pemerintah Indonesia akhirnya mengambil langkah pengetatan kedatangan dari luar negeri. (Bbc.com, 27/11/2021)
Dikutip dari Tribunnews.com (28/11/2021), omicron bisa meningkatkan postivity rate dalam kurun waktu tiga minggu. Bahkan dalam kurun waktu dua minggu, varian baru ini, bisa mendominasi transmisi kasus 75 persen di tengah kasus varian delta. Omicron ini diprediksi memiliki tingkat kecepatan penularan hingga 500 persen lebih cepat dibanding Covid-19 awal. Pertanyaanya, kapan pandemi akan berakhir, jika kemunculan kasus atau varian baru berangsur tak terkendali?
Akar Masalah yang Pelik
Jika ideologi kapitalisme dijadikan sebagai landasan penanganan masalah pandemi yang
mengedepankan nilai materi atau ekonomi, maka keselamatan jiwa manusia akan sangat tergantung pada perhitungan ekonomi untung - rugi. Tak heran, masalah semakin berlarut larut dan memicu kemunculan varian virus yang berbahaya. Semakin beragamnya virus Covid 19 dan sulitnya mengendalikan penyebaran virus, agar tidak menginfeksi dan menyengsarakan lebih banyak lagi nyawa, menjadi bukti kegagalan rezim global kapitalis. Kebijakan yang diambil pun tidak mampu mengatasi hingga ke akarnya.
Target kurva pelandaian angka kasus Covid 19 belum konsisten. Tumpang tindih sistem pendataan, layanan kesehatan kurang memadai, layanan kesehatan primer tidak pernah menjadi prioritas pelaksanaan surveilans berbasis masyarakat, yang menjamin test, trace, dan isolate berjalan atas dasar yang solid. (Liputan6.com)
Pemerintah pun membuat kebijakan maju-mundur. Dektor ekonomi menjadi prioritas utama, padahal wabah merupakan ancaman yang sangat serius sehingga dibutuhkan birokrasi, kerangka regulasi, dan anggaran yang kuat untuk menghadapinya. Pernyataan ini tercantum dalam Health Outlock 2021.
Jakarta Center for Indonesia's Strategic Development Intitiatives (CISDI) menyebut pemerintah memilih jalan yang berujung pada ledakan wabah Covid-19 yang tak kunjung usai dan menyebabkan hilangnya nyawa manusia.
Selain itu, lembaga kesehatan dunia, WHO, mengakui tindakan kesehatan masyarakat dan sosial (PHSM, Public Health and Social Measures) efektif untuk pembatasan penularan dan pengurangan kematian, tetapi mengabaikan tindakan penguncian (lockdown) itu sendiri. Demikian juga, rezim demokrasi kapitalisme di negeri ini, mengakui lockdown sebagai tindakan lebih efektif, namun tetap diabaikan, dengan alasan berdampak pada pertumbuhan ekonomi. Pada akhirnya, penanganan mengabaikan kunci tersebut dan mengandalkan pada teknologi. Alhasil, persoalan waktu makin tanpa ujung dan mobilitas semakin difasilitasi.
Vaksinasi Covid-19 yang digencarkan untuk membentuk kekebalan komunitas atau herd immunity,diharapkan dapat memutus rantai penularan virus. Padahal sejak awal, vaksin dirancang untuk tindakan klinis individual, mencegah agar orang yang terinfeksi tidak sakit, dan bila sakit, tidak begitu parah. Bukan sebagai tindakan komunal, pemutus rantai penularan. Persoalan makin pelik, hingga muncul varian baru. Besar kemungkinan, Indonesia akan mengalami pandemi gelombang ketiga jika pemerintah tetap bertahan dengan kebijakan- kebijakan kapiltalistik.
Metode Islam Melibas Wabah
Islam hadir sebagai solusi untuk setiap persoalan, tidak terkecuali masalah pandemi. Islam memiliki metode dan prinsip- prinsip yang jelas dalam penanganan pandemi. Metode lockdown adalah tindakan yang disyariatkan oleh Allah Swt, sebagaimana ditegaskan oleh Rasullulah saw : "Apabila kalian mendengar wabah di suatu tempat, maka janganlah memasuki tempat itu, dan apabila terjadi wabah, sedangkan kamu sedang berada di tempat itu, maka janganlah keluar darinya. " (HR. Imam Muslim)
Tindakan penguncian ini harus dilakukan segera tanpa harus mengukur waktu untuk keperluan teknologi, seperti alat pengetesan virus dan penyediaan vaksin.
Bersamaan dengan itu, arus mobilitas manusia dari, ke, dan di area wabah akan dihentikan. Di sinilah terletak hikmah dari lockdown, ketika dilaksanakan dengan sungguh-sungguh oleh penguasa, rakyat tak perlu terpaksa bertaruh nyawa di tengah pandemi demi memenuhi kebutuhan ekonomi mereka. Selama lockdown, kebutuhan ekonomi rakyat akan dipenuhi oleh penguasa, karena dalam Islam, penguasa memiliki tanggung jawab untuk mengurus rakyatnya, sebagaimana sabda Rasulullah saw : "Imam atau Khalifah adalah pengurus dan ia bertanggung jawab terhadap rakyat yang diurusnya." (HR. Muslim dan Ahmad).
Sementara itu, area yang terjadi wabah akan diisolasi, ada pemisahan orang sehat dari yang terinfeksi, termasuk yang tanpa gejala.
Diriwayatkan dalam Sahih Bukhari, hadis Abu Hurairah dari Nabi Muhammad bahwa beliau bersabda: "Hindarilah orang yang terkena lepra seperti halnya kalian menghindari seekor singa."
Dalam riwayat lain,
"Janganlah (unta) yang sakit itu didekatkan dengan (unta) yang sehat." (Sahih Bukhari dan Muslim)
Kemudian penanganan bagi orang yang sakit atau terinfeksi, Islam menganjurkan harus segera diobati agar tidak bisa menularkan,sebagimana suatu hadis : "Sesungguhnya Allah menurunkan penyakit dan obatnya dan menjadikan bagi setiap penyakit ada obatnya. Maka berobatlah kalian, dan jangan kalian berobat dengan yang haram." (HR. Abu Dawud dari Abu Darda)
Di sisi lain, imunitas seseorang di area wabah juga perlu ditingkatkan, dengan pola hidup sehat, aktivitas fisik yang benar, serta penyehatan psikis sesuai tuntunan syariat Islam. Seorang pemimpin dalam Islam (red : Khalifah), memiliki kapasitas sebagai raa'in atau pengurus urusan umat yang akan menjamin melakukan upaya menangani wabah dengan tepat, sesuai dengan kepempimpinan politik dalam Islam yakni Khilafah, sebuah institusi kaum muslimin yang akan hadir pada abad ini atas izin Allah Swt. Wallahu'alam.[]
Photo :Skynews