"Tafsir ringkasan al-Azhar menjelaskan kata “raabithuw” bermakna kaum muslimin harus senantiasa bersiap siaga dan waspada, termasuk dengan mengawasi batas-batas negeri umat Islam agar tidak dimasuki oleh pihak kafir."
Oleh. Iranti Mantasari, BA.IR, M.Si
(Kontributor Tetap NarasiPost)
NarasiPost.Com-Sebagaimana yang diketahui, wilayah laut adalah salah satu aspek geografis yang krusial terkait keamanan dan pertahanan teritori sebuah negeri. Bila dibayangkan suatu negeri berada dalam status perang, maka kemungkinan besar wilayah udara dan lautlah yang menjadi jalan pertama datangnya para musuh. Lemah dan goyahnya keamanan wilayah laut ini, sama saja dengan melemahkan pertahanan lapis awal dari sebuah negeri.
Sebut saja Indonesia. Negeri ini dikenal luas oleh dunia sebagai negara kepulauan, yang bahkan luas wilayah perairannya lebih besar dibandingkan wilayah daratannya. Sebutan “negara maritim”, “negeri bahari” juga menandai bahwa Indonesia mem- branding diri sebagai negara yang berporos maritim. Namun paradoksnya, pihak asing bisa dengan mudah melakukan manuver agresif atas wilayah laut ini. Cina dikabarkan telah mengirim kapal surveinya yang juga dikawal oleh kapal coast guard ke perairan Natuna yang diduga kuat melakukan aktivitas riset ilmiah. (BBC Indonesia, 2/12/21)
Lebih lanjut, pihak Cina juga mengirim surat kepada otoritas Indonesia agar menghentikan aktivitas pengeboran minyak dan gas di Natuna, karena Indonesia disebut mengeksplorasi sumber daya alam tersebut di wilayah yang diklaim merupakan bagian dari wilayahnya. Bahkan dilansir oleh media internasional The Diplomat, aktivitas agresif Cina terhadap wilayah di sekitar Natuna ini sudah berjalan sejak beberapa tahun silam, bukan hanya baru-baru ini. Kapal-kapal milik Cina sering didapati tengah menangkapi ikan di perairan Natuna. Di balik itu semua, hal yang perlu digarisbawahi adalah meski posisi Indonesia secara legal lebih kuat dalam hal perairan Natuna dibandingkan Cina, mengapa Cina sampai bisa berani melakukan klaim dan menunjukkan agresivitasnya terhadap Indonesia?
Natuna, antara Potensi dan Agresi
Sebutan “Natuna” merujuk bukan hanya pada perairan semata, melainkan merupakan pulau yang ada di kabupaten di bawah Provinsi Kepulauan Riau. Letaknya yang berada pada jalur pelayaran internasional memberikan signifikansi wilayah ini pada Indonesia dan juga dunia internasional. Selain itu, wilayah Natuna juga berbatasan langsung dengan beberapa negara Asia Tenggara. Utaranya bertetangga dengan Vietnam dan Kamboja, sedangkan sisi baratnya berbatasan dengan Singapura dan Malaysia.
Selain itu, perairan Natuna juga berada sangat dekat dengan wilayah yang telah menjadi medan konflik strategis selama berdekade di Laut Cina Selatan. Perebutan wilayah di sekitar “9 garis putus-putus” atau nine dashlines sini melibatkan empat negara Asia Tenggara, yakni Malaysia, Brunei Darussalam, Vietnam, dan Filipina serta Taiwan dan Cina. Meski Natuna berada di sekitar daerah rebutan, Indonesia selama ini tidak pernah memosisikan sebagai pihak yang ikut merebutkan daerah tersebut.
Nilai strategis Natuna juga disebabkan karena Natuna berada di ALKI I (Alur Laut Kepulauan Indonesia) yang merupakan jalur di laut Indonesia yang bisa dilalui oleh berbagai kapal dan pesawat asing secara kontinyu, cepat, tanpa harus terhalangi oleh wilayah udara dan perairan teritorial Indonesia. Penetapan ALKI ini pun dilindungi oleh payung konvensi hukum laut internasional. Ditambah lagi, kekayaan sumber daya alam yang tersimpan di dalamnya, Natuna menjadi kian berharga bagi Indonesia, namun juga menyilaukan mata pihak asing.
Sebut saja minyak dan gas bumi. Sebagaimana yang dilansir oleh Kompas, perairan Natuna diestimasi memiliki cadangan minyak bumi lebih dari 14 juta barel dan bahkan gas bumi melebihi 112 juta barel. Terdapat 222 TCT (Trillion Cubic Feet) gas D-Alpha dan gas hidrokarbon sebanyak 46 TCT. Belum lagi potensi perikanan yang ada di perairan Natuna, yang sejauh ini bahkan baru termanfaatkan sebanyak 36% dari jumlah sesungguhnya.
Dengan potensi strategis yang dimiliki Natuna, pengelolaan yang baik akan sangat mampu memberikan manfaat untuk Indonesia. Sebaliknya, jika pertahanan dan pengelolaan atas Natuna tidak mumpuni, maka agresi dari pihak asinglah yang justru kita dapatkan. Selain itu, posisinya yang demikian juga sangat memiliki kemungkinan menyeret Indonesia ke dalam konflik di Laut Cina Selatan yang belum tampak ujungnya.
Siapa Murabithun Natuna?
Jika selama ini jihad di medan perang dikenal sebagai amalan tertinggi yang dapat dilakukan oleh kaum muslimin, maka ribath tak kalah penting untuk ditegakkan oleh umat Islam. Ribath adalah menjaga perbatasan wilayah negeri Islam dari serangan musuh-musuh Islam, yang jika dikontekstualisasikan dengan hari ini, maka wilayah lautan juga sejatinya termasuk dalam medan ribath. Rasulullah pernah bersabda, “Ribath sehari semalam lebih baik daripada puasa sunah dan salat sunah sebulan penuh, dan jika seorang murabith mati di tengah ia melakukan ribath, maka amal perbuatannya itu akan terus berpahala, dan ia diberikan rizkinya di surga kelak, serta tidak ditanya di dalam kubur (oleh malaikat Munkar dan Nakir).” (HR. Muslim)
Mengingat posisi Natuna yang merupakan perbatasan, maka di dalam Islam, setiap jengkal tanah kaum muslimin harus dipertahankan dengan segenap jiwa dan raga. Tidak seperti saat ini, berbagai wilayah perbatasan baru “diributkan” hak kedaulatannya jika ada pihak asing yang berusaha mengklaim perbatasan tersebut. Tak hanya sabda mulia baginda Nabi saw., Allah swt. menunjukkan urgensi penjagaan perbatasan ini di dalam Al-Qur’an surat Ali ‘Imran ayat 200, yang artinya “Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negerimu) dan bertakwalah kepada Allah, supaya kamu beruntung. ”
Tafsir ringkasan al-Azhar menjelaskan kata “raabithuw” bermakna kaum muslimin harus senantiasa bersiap siaga dan waspada, termasuk dengan mengawasi batas-batas negeri umat Islam agar tidak dimasuki oleh pihak kafir. Kondisi Natuna yang terancam oleh klaim dan agresivitas Cina saat ini menjadi pertanda bahwa ribath tidaklah terlaksana. Sebagai bagian dari negeri kaum muslimin, Natuna haruslah dijaga oleh para murabithun yang senantiasa bersiaga dan memastikan setipa inci wilayah muslim tidak dirongrong oleh kaum kafir.
Penjagaan yang sempurna akan setiap perbatasan yang dimiliki oleh negeri kaum muslimin hanya akan dapat dilakukan oleh negara yang memiliki visi maritim islami, yang berangkat dari pemahaman geopolitik Islam para pemangku kuasa dan kaum muslimin secara umum. Visi maritim Islam bukan hanya berbicara mengenai aspek ofensif, yakni yang berkaitan dengan penaklukan dan penyerangan wilayah kufur agar menjadi bagian dari wilayah yang menauhidkan Allah. Namun, visi maritim Islam juga berbicara mengenai aspek defensif, termasuk di dalamnya adalah setiap aktivitas penjagaan perbatasan wilayah kaum muslimin.
Kepemilikan visi ini agaknya sulit terwujud pada penguasa dan masyarakat yang jauh dari pengadopsian akidah Islam yang menyeluruh dalam lini kehidupan, termasuk dalam hal pertahanan dan keamanan. Paradigma pragmatis yang tertancap kuat di jajaran kuasa negeri hanya akan semakin menjauhkan visi maritim Islam itu terwujud, yang lebih jauh akan berdampak pada tidak sempurnanya penjagaan terhadap batas-batas teritorial.
Para murabithun Natuna akan lahir dari negeri yang menjadikan Al-Qur’an sebagai landasan aktivitasnya, yang akan bergegas mengamalkan ayat 200 dari surat Ali ‘Imran, yang penguasanya tidak dikooptasi kepentingan pragmatis. Penjaga perbatasan di Natuna adalah mereka yang secara terpercaya senantiasa menjaga Islam dan implementasinya dalam setiap sendi kehidupan, bukan mereka yang meletakkan Islam di pinggiran dan hanya mengambil Islam sesuai apa yang dia inginkan. Wallahu a’lam bisshawwab.[]
Masya Allah, keren tulisannya mba Anti Mantasari