"Pelayanan kesehatan harus bisa dinikmati oleh seluruh rakyat tanpa ada diskriminasi. Negara tidak membeda-bedakan dalam memberikan pelayanannya. Siapa saja yang membutuhkan pelayanan kesehatan, maka wajib diberikan. Tanpa memandang kedudukan, harta, jabatan, agama atau hal lainnya, pelayanan terbaik harus dirasakan oleh semuanya."
Oleh. Deena Noor
(Kontributor Tetap NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Sungguh malang nasib rakyat kecil di alam kapitalisme. Mereka selalu menjadi obyek penderita dalam sistem yang bertumpu pada kapital. Tak memiliki uang, maka jangan harap akan mampu bertahan, apalagi menikmati pelayanan.
Dilansir dari banten.suara.com (21/11/2021), seorang bayi terpaksa tertahan bersama sang ibu di Rumah Sakit Harapan Mulia, Tangerang. Adalah bayi dari Ayu Fitria dan Adut yang tak bisa pulang dari rumah sakit tersebut lantaran sang ayah tak bisa melunasi pembayaran biaya persalinan sebesar Rp12 juta. Ini dikarenakan BPJSnya yang sudah tidak aktif lagi. Menurut pihak rumah sakit, mereka boleh pulang bila BPJS sudah aktif kembali dan biaya persalinan telah dilunasi.
Inilah cerminan pelayanan kesehatan di sistem saat ini. Untuk bisa menikmati pelayanan yang dibutuhkan, rakyat harus mengeluarkan uang yang tidak sedikit. Semakin bagus pelayanan, maka semakin besar pula dana yang harus disediakan. Padahal tak semua orang memiliki kemampuan finansial yang memadai. Jadilah, yang berduit (banyak) saja yang mampu memiliki akses pada fasilitas kesehatan.
Salah dan Penuh Masalah
Kasus bayi Ayu Fitria yang ‘ditahan’ oleh rumah sakit karena masalah biaya merupakan satu dari sekian banyak fakta yang terjadi di masyarakat. Beragam permasalahan membelit sistem pelayanan publik di negeri ini, khususnya dalam bidang kesehatan. Apalagi yang menyangkut BPJS.
Sejak awal, BPJS memang telah bermasalah. Sistem jaminan kesehatan ala kapitalisme ini juga mendapat banyak tentangan karena dianggap memaksa. Rakyat diminta bergotong-royong dalam menjamin kesehatan bersama. Lazimnya, gotong-royong dilakukan dengan sukarela dan sesuai kemampuan masing-masing. Namun, pada faktanya rakyat diwajibkan untuk ikut dan harus membayar iuran tiap bulannya.
Agar bisa mendapatkan manfaat BPJS, yaitu ketika sakit atau membutuhkan pelayanan kesehatan, rakyat harus membayar premi sesuai dengan kelasnya masing-masing. Sanksi bila tidak atau telat membayarnya adalah bisa dikenai denda dan tidak mendapatkan pelayanan publik. Padahal sakit juga tidak setiap hari, namun pembayaran harus tetap dilakukan setiap bulannya.
BPJS juga dianggap diskriminatif karena membedakan pelayanannya sesuai kelas dan premi yang dibayarkan. Yang mendapat pelayanan terbaik adalah yang membayar paling mahal. Sedangkan yang iurannya paling kecil, maka harus puas dengan kualitas pelayanan yang ada. Di kelas terbawah inilah paling banyak pesertanya, bahkan menumpuk. Itulah gambaran kondisi masyarakat kita.
Terjadinya kebocoran data dan validasi peserta yang tidak akurat hingga defisitnya keuangan BPJS menjadi masalah serius yang menyusahkan rakyat. Ragam masalah ini menandakan ada yang salah dengan lembaga penyelenggara jaminan sosial. Bukan hanya karena salah kelola, namun pada akarnya, yakni keberadaan BPJS itu sendiri.
Kesalahan mendasar dari persoalan ini adalah bahwa adanya BPJS merupakan bentuk pengalihan tanggung jawab negara pada rakyatnya. Pelayanan yang harusnya dilakukan pemerintah malah rakyat yang disuruh menjalankannya sendiri. Hak rakyat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan berubah menjadi kewajiban yang harus ditanggung melalui iuran yang dibayarkan. Inilah bukti bahwa negara lepas tangan dalam memenuhi kebutuhan rakyatnya. Dan dengan sendirinya menunjukkan bahwa negara tidak mampu menyediakan layanan kesehatan yang baik untuk rakyat. Kegagalan negara menjalankan fungsinya membuat rakyat semakin kesulitan dan terbebani di tengah himpitan kehidupan dari segala sisi.
Liberalisasi Pelayanan Publik
Jaminan kesehatan yang menjadi kebutuhan dasar manusia tak mampu dinikmati oleh seluruh rakyat. BPJS yang digadang-gadang bisa menolong rakyat ketika sedang mengalami masalah kesehatan, nyatanya tak seindah bayangan.
BPJS sendiri merupakan amanat dari UU nomor 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional. Kemudian diimplementasikan melalui UU nomor 24 tahun 2011 yang mewajibkan rakyat untuk menjadi peserta BPJS. Kedua produk hukum tersebut sarat dengan kepentingan asing kapitalis yang tentunya merugikan rakyat banyak. Konsep jaminan kesehatan semacam itu sesungguhnya berasal dari asing, yakni WTO (World Trade Organization). Indonesia yang menjadi anggota WTO harus tunduk pada ketentuan yang mewajibkannya untuk memasukkan layanan kesehatan sebagai salah satu kesepakatan perdagangan jasa global yang disebut GATS (General Agreements Trade in Services).
Dengan begitu, kesehatan dipandang sebagai sektor jasa yang harus diliberalisasi. Artinya, peran pemerintah harus diminimalkan dalam mengelola pelayanan kesehatan untuk rakyat. Sebaliknya, biarkan mekanisme pasar yang mengatur bagaimana pelayanan publik itu berjalan.
Di situlah peran swasta dengan kekuatan kapitalnya menjadi sangat dominan. Bila swasta telah berkuasa, maka kepentingan bisnis yang berbicara. Pelayanan kesehatan untuk publik menjadi layaknya barang komersil. Ia bukan lagi pelayanan yang gratis bagi seluruh rakyat, melainkan jasa yang diperjualbelikan. Sektor kesehatan menjadi ajang bisnis untuk mendulang materi. Prinsip untung-rugi menjadi landasan pelayanan kesehatan bagi rakyat. Pelayanan tak diberikan secara cuma-cuma, melainkan harus membayar biayanya.
Dengan mengeluarkan sejumlah uang (bahkan dalam jumlah yang besar), rakyat baru bisa mendapatkan pelayanan kesehatan yang dibutuhkan. Sementara, tak semua rakyat memiliki kemampuan finansial yang kuat. Akibatnya yang tak punya uang hanya bisa pasrah dengan keadaan atau menanti uluran tangan dari dermawan.
Pelayanan kesehatan ala kapitalisme memang tak manusiawi. Sistem kesehatan yang bertumpu pada kapital membahayakan keselamatan manusia. Nyawa menjadi tak berarti di hadapan materi.
Pelayanan Terbaik Hanya dalam Islam
Dalam Islam, pelayanan untuk rakyat adalah sepenuhnya tanggung jawab negara yang dipimpin oleh seorang khalifah. Negara wajib memberikan pelayanan terbaik bagi seluruh rakyat. Tidak boleh menyerahkannya pada swasta, individu, atau pihak mana pun. Sebagaimana Rasulullah telah menegaskan bahwa: “Imam (khalifah) yang menjadi pemimpin manusia adalah (laksana) penggembala. Dan hanya dialah yang bertanggung jawab terhadap urusan rakyatnya.” (HR. Bukhari)
Dari situ jelas bahwa pengaturan urusan rakyat merupakan tanggung jawab pemimpin. Setiap yang menjadi kebutuhan rakyat wajib dipenuhi oleh negara. Kesehatan, keamanan dan pendidikan merupakan kebutuhan primer rakyat yang harus disediakan oleh negara. Tidak boleh bagi negara mengabaikannya, apalagi meninggalkan dan melimpahkan urusan tersebut kepada pihak lain. Negara wajib menyediakan segala sarana dan prasarana penunjang pelayanan kesehatan. Sama halnya ini wajib diupayakan secara maksimal guna menghindarkan bahaya yang bisa menimpa rakyat. Segala yang mengancam keselamatan rakyat wajib dihilangkan oleh negara. Karena setiap nyawa adalah berharga, sehingga penjagaan atasnya wajib untuk dilakukan.
Pelayanan kesehatan harus bisa dinikmati oleh seluruh rakyat tanpa ada diskriminasi. Negara tidak membeda-bedakan dalam memberikan pelayanannya. Siapa saja yang membutuhkan pelayanan kesehatan, maka wajib diberikan. Tanpa memandang kedudukan, harta, jabatan, agama atau hal lainnya, pelayanan terbaik harus dirasakan oleh semuanya.
Pelayanan kesehatan juga diberikan secara cuma-cuma alias gratis. Negara tidak boleh memungut sepeser pun dari rakyat dalam memberikan layanan kesehatan. Tidak boleh bagi negara untuk membebani, apalagi memaksa rakyat untuk membayar sejumlah uang guna mendapatkan pelayanan kesehatan dari negara. Rasulullah telah mencontohkannya sebagaimana yang dituturkan oleh Jabir ra.: “Rasulullah saw. pernah mengirimkan seorang dokter untuk Ubay bin Kaab (yang sedang sakit). Ia kemudian memotong salah satu urat Ubay bin Kaab, lalu melakukan kay (pengecapan dengan besi panas) pada urat itu.” (HR. Abu Dawud)
Karena itulah, pelayanan kesehatan tidak boleh untuk dikomersilkan. Kesehatan bukanlah ajang bisnis bagi negara untuk mengeruk keuntungan atau menarik uang dari rakyatnya sendiri. Adapun individu atau swasta boleh melakukan pelayanan dalam bidang kesehatan selama tidak bertentangan dengan aturan syara’ dan mengambil alih tugas negara dalam hal itu. Diperbolehkan pula bagi rakyat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan dengan mengeluarkan sejumlah uang sebagai kompensasi atasnya. Ini tidak lantas meniadakan kewajiban negara dalam melayani kebutuhan masyarakat atas kesehatan. Jadi, tetap tanggung jawab penyediaan pelayanan kesehatan ada pada negara.
Sumber Dana Pelayanan Kesehatan
Seluruh pelayanan kesehatan yang dilaksanakan oleh negara, dananya berasal dari Baitul Mal, kas negara khilafah. Di dalam Baitul Mal terdapat dua bagian pokok, yakni pemasukan dan pengeluaran. Sumber pemasukan Baitul Mal ada tiga. Pertama, bagian fai’ dan kharaj yang meliputi anfal, ghanimah, fai’, kharaj, khumus, usyur, jizyah dan dlaribah (pajak).
Kedua, bagian kepemilikan atau harta milik umum yang berupa sumber daya alam dan energi yang melimpah. Harta milik umum ini ditetapkan oleh Allah untuk bisa dimanfaatkan bersama-sama. Kepemilikan umum menjadi sesuatu yang vital bagi rakyat banyak dan tidak boleh dimiliki atau dikuasai oleh individu atau swasta. Harta ini dikelola oleh negara untuk kemudian hasilnya dikembalikan kepada rakyat. Yang termasuk harta milik umum adalah minyak bumi, batu bara, gas bumi, listrik, pertambangan, sungai, laut, air, perairan, mata air, hutan dan aset-aset lainnya yang dikuasai negara.
Ketiga, bagian zakat atau shadaqah. Bagian ini meliputi zakat uang dan perdagangan, zakat pertanian dan buah-buahan, serta zakat binatang ternak.
Dari ketiga sumber pemasukan tersebut, negara kemudian mengalokasikan dana untuk menyediakan pelayanan kesehatan publik. Mereka yang sakit bisa berobat ke rumah sakit yang disediakan secara gratis oleh negara. Dana dari Baitul Mal juga dipakai untuk membayar dokter, perawat atau tenaga kesehatan lainnya. Dengan dana dari Baitul Mal, negara menyediakan obat-obatan dan peralatan kesehatan, membangun berbagai fasilitas kesehatan seperti rumah sakit, laboratorium, tempat menginap bagi keluarga yang sakit, akomodasi, dan prasarana lainnya.
Rumah Sakit di Masa Kejayaan Islam
Di masa kejayaan Khilafah Islam, kesehatan sangat diperhatikan. Ini terbukti dari adanya berbagai rumah sakit yang didirikan di wilayah daulah Islam. Rumah sakit tempat mengobati mereka yang sakit secara gratis, bahkan pasien pun diberi pegangan uang supaya tidak langsung bekerja hingga pulih total. Ini terjadi di masa Khalifah Dinasti Umayyah, Walid bin Abdul Malik, yang merupakan orang pertama yang mendirikan rumah sakit (Bimaristan) dalam sejarah umat Islam. Bimaristan ini terletak di kota Damaskus, Suriah dan didirikan pada tahun 707 M (88 H).
Rumah sakit pada masa kejayaan Islam dahulu bukan hanya untuk mengobati dan merawat orang sakit saja, tetapi juga tempat untuk mengadakan penelitian. Rumah sakit juga sebagai sekolah kedokteran yang mencetak dokter-dokter Islam. Para dokter di rumah sakit juga berperan sebagai tenaga pengajarnya. Rumah sakit juga dilengkapi dengan perpustakaan yang berisi buku-buku farmakologi, anatomi, fisiologi, dan buku-buku terkait kedokteran lainnya. Rumah sakit dengan fungsinya yang amat bermanfaat tersebut menjadi bukti besarnya perhatian negara pada rakyat. Semua dilakukan dengan sungguh-sungguh karena prinsip ketakwaan pada Allah semata. Penguasa takut pada Allah bila lalai akan amanahnya dalam mengatur urusan rakyatnya.
Di sisi lain, rakyat tak khawatir ketika sakit karena sudah ada jaminan pelayanan kesehatan yang mantap. Para dokter, perawat dan tenaga kesehatan lainnya juga bisa memberikan pelayanan terbaiknya tanpa perlu mengkhawatirkan masalah biaya karena negara mendukung dengan sepenuhnya. Ini tak terlepas dari pengelolaan keuangan negara yang baik. Pengelolaan ini menjadi bagian dari tata kelola negara secara sistemis sesuai syariat Islam.
Sistem yang baik pasti menghasilkan yang baik pula. Demikian adanya sistem Islam yang bersumber dari Sang Khalik. Tak perlu basa-basi, polesan sana-sini, atau pencitraan tiada henti, Islam telah memberikan bukti pelayanan publik terbaik dan telah diakui dunia. Will Durrant, seorang sejarawan Amerika, mengakui bahwa pada masa kejayaan Khilafah Islam, pengobatan diberikan secara gratis bagi semuanya dari berbagai macam kalangan, pria dan wanita, kaya dan miskin, budak dan merdeka. Pasien yang sudah bisa pulang dari tempat pengobatan juga diberikan sejumlah uang agar mereka tidak perlu segera bekerja. (W. Durrant: The Age of Faith; op cit, pp 330-1)
Sebagai muslim kita tentunya ingin meraih kemuliaan sebagaimana dulu ketika Khilafah Islamiyyah memimpin dunia. Bukan hanya kemuliaan, tetapi juga kebaikan yang diliputi keberkahan. Sudah sewajarnya bila kita ingin mewujudkannya kembali saat ini. Bukan hanya untuk mendapatkan kejayaan Islam kembali, tetapi juga demi meraih rida Illahi. Maka, berjuang untuk menegakkan kembali Khilafah Rosyidah adalah sebuah keharusan bagi hamba beriman yang yakin pada janji-Nya.
Wallahu a’lam bish-shawwab[]