"Sejatinya ajaran agama akan didudukkan pada posisi yang hakiki hanya ketika ia diterapkan secara sempurna. Bukan diambil sebagian-sebagian dan dicampuradukkan dengan prinsip lain yang sesungguhnya bertentangan secara diametral dengan prinsip Islam. Maka, makna jihad dan khilafah bukan hanya wajib dijauhkan dari stigma negatif, melainkan sebuah urgensitas untuk diterapkan."
Oleh. Yuliyati Sambas
(Pegiat Literasi Komunitas Penulis Bela Islam AMK)
NarasiPost.Com-Di saat seorang muslim menghendaki hidupnya diatur dengan aturan agamanya (syariat), maka itu sebuah hal yang wajar. Terlebih dorongan iman memunculkan kesadaran bahwa manusia itu bersifat terbatas, serba lemah dan membutuhkan sandaran yang kokoh dari Zat yang Maha Sempurna, yakni penciptanya. Maka, ketika syariat dan ajaran agama demikian gencar mendapatkan stigma negatif belakangan ini, para ulama sebagai representasi dari umat pun angkat bicara.
Sebagaimana dilansir dari republika.co.id (11/11-2021) bahwa hasil Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia ke VII merekomendasikan agar makna jihad dan khilafah tidak boleh distigmatisasi negatif karena termasuk ajaran Islam. Ijtima tersebut dilaksanakan oleh Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam memaknai jihad dan khilafah dalam konteks NKRI. MUI mengaku bahwa mereka tak sependapat ketika jihad hanya dimaknai dengan perang dan khilafah diyakini sebagai satu-satunya sistem pemerintahan dalam Islam.
Upaya yang dilakukan oleh Komisi Fatwa MUI tersebut tentu wajib diapresiasi. Dari sisi bahwa stigmatisasi negatif dari dua ajaran Islam berupa jihad dan khilafah itu sesuatu yang harus ditolak. Namun, ada beberapa hal dimana umat butuh untuk mendudukkan persoalan ini pada posisi yang hakiki, yaitu pemahaman murni yang diajarkan oleh Baginda Rasulullah Muhammad saw.
Pertama, umat tentu merasakan betapa beberapa dasawarsa terakhir tak sedikit ajaran agama yang direduksi maknanya bahkan distigma negatif. Bermunculan kabar miris, para ulama mukhlis dan pendakwah dikriminalisasi ketika mereka gencar menyampaikan ajakan untuk menegakkan khilafah sebagai institusi penerap syariat kaffah. Juga di saat sebagian dari mereka menjelaskan bahwa jihad adalah salah satu ajaran Islam. Padahal metode yang mereka gunakan sebatas dakwah pemikiran, sangat jauh jika dilekatkan dengan aktivitas terorisme.
Umat akhirnya banyak yang tak paham dengan ajaran agamanya yang utuh dan sempurna. Mereka pun merasa takut karena termakan opini sesat tersebut.
Kedua, adalah benar apa yang dijelaskan oleh Ketua MUI Bidang Fatwa, KH Asrorun Niam Sholeh, bahwa sistem kepemimpinan Islam itu memiliki dua fungsi: untuk menjaga keluhuran agama (hirasatu ad-diin) dan mengatur urusan dunia (siyasati ad-dunya). Namun jika bicara fakta, lihatlah, betapa umat tak lagi berada pada posisi terbaik (khairu ummah) sebagaimana yang dijanjikan Allah dalam Al-Qur'an. Banyak masyarakat yang menjalani kehidupannya dalam kondisi jauh dari kata sejahtera. Keadilan pun menjadi barang langka atas mereka. Umat Islam di Palestina, Uighur, Rohingya, India, Kashmir dan lainnya senantiasa diusir, dihina, dan ditindas tanpa ada satu pun kekuatan yang mampu membebaskan mereka dari derita. Jika begitu, apakah makna hirasatu ad-diin mampu diwujudkan dalam sistem kepemimpinan saat ini?
Berikutnya, apakah sistem kepemimpinan kini bisa menjadikan aturan agama sebagai siyasatu ad-dunya? Faktanya, di sistem kepemimpinan negara bangsa yang hari ini disepakati untuk diterapkan, aturan agama yang menyeluruh (kaffah) tidak bisa dijalankan secara sempurna. Ketika agama mengatakan bahwa riba adalah perkara yang haram, justru di negeri ini dan negeri-negeri muslim lainnya riba menjadi basis dalam berekonomi. Di saat agama menerangkan salat, shaum, zakat, berjilbab bagi wanita dan seterusnya adalah perkara yang wajib, nyatanya semua itu hanya serupa aturan mubah (pilihan). Bahkan di beberapa wilayah dan kondisi, umat justru sulit dalam menjalankannya. Terlebih untuk aturan yang berhubungan dengan sistem sanksi ('uqubat) kini justru dipahami sebatas teori yang mustahil dijalankan. Astaghfirullah al-adhiim.
Ketiga, berkaitan dengan jihad dimana dijelaskan Kiai Asrorun sebagai salah satu inti ajaran agama untuk meninggikan kalimat Allah (li i'laai kalimatillah). Hal ini tentu wajib diposisikan sebagaimana yang dimaksud oleh syara. Adalah benar bahwa makna secara bahasa dari jihad itu bersungguh-sungguh. Namun, secaya syar'i bahwa jihad senantiasa dikonotasikan dengan perang fisik (al-qital) dalam menerobos penghalang fisik dari dakwah Islam. Jihad pun bisa bermakna defensif dan ofensif. Defensif ketika ada kaum kafir penjajah (kafirul isti'mar) merongrong negara dan rakyat. Sementara offensif diberlakukan oleh institusi negara (penerap syariat) ketika upaya dakwah bertemu dengan ancaman fisik.
Semua itu sungguh terjadi karena umat terus disusupi dengan pemikiran kufur semisal sekularisme, pluralisme dan liberarisme (sepilis). Dengan sekularisme, agama direduksi hanya mengatur urusan ibadah mahdhah dan moralitas. Sebagian urusan muamalah memang bisa dijalankan, namun tak bermakna mengikat. Karena hal itu bertentangan dengan prinsip kufur lainnya, yakni liberalisme. Dimana siapa pun berhak untuk mengatur dirinya sendiri sebagaimana kebenaran yang dipahaminya. Akhirnya kesepakatan demi kesepakatan mampu menumbangkan prinsip syariat jika bertabrakan dengan suara mayoritas.
Pluralisme diagungkan di tengah-tengah umat sebagai bentuk toleransi. Padahal sejatinya pemahaman kufur tersebut akan menggerus akidah umat yang lurus. Umat justru diajak berpemahaman bahwa ajaran agamanya bukanlah satu-satunya sumber kebenaran hakiki. Sungguh kemalangan yang nyata.
Maka, sejatinya ajaran agama akan didudukkan pada posisi yang hakiki hanya ketika ia diterapkan secara sempurna. Bukan diambil sebagian-sebagian dan dicampuradukkan dengan prinsip lain yang sesungguhnya bertentangan secara diametral dengan prinsip Islam. Maka, makna jihad dan khilafah bukan hanya wajib dijauhkan dari stigma negatif, melainkan sebuah urgensitas untuk diterapkan. Karena dengan jihad dan khilafah, syariat mulia yang datang dari Zat yang Maha Pencipta akan menyolusikan setiap problematika kehidupan umat manusia, baik muslim maupun nonmuslim.
Hanya dengan sistem kepemimpinan khilafah fungsi hirasatu ad-diin dan siyasatu ad-dunya terbukti mampu diwujudkan. Hal itu bukan omong kosong. Namun, sudah terbukti dalam bentangan sejarah peradaban manusia bahwa syariat Islam kaffah di bawah naungan khilafah mampu melingkupi dunia dengan keadilan dan kesejahteraan yang hakiki.
Wallahu a'lam bi ash-shawwab.[]