Kado Pahit Tahun Baru, Wacana Kenaikan TDL Bertalu-Talu

"Negara penganut kapitalisme enggan menanggung kerugian, terlebih melayani listrik untuk rakyat dengan diskonan apalagi gratis. Walhasil, negara tampil sebagai pedagang ulung, sementara rakyat sebagai konsumen yang mengemis pelayanan."

Oleh. Afiyah Rasyad
(Kontributor Tetap NarasiPost.com)

NarasiPost.Com-Sudah jatuh, tertimpa tangga pula. Itulah peribahasa yang cocok untuk disematkan pada bangsa yang bakir ini. Meski melimpah aset alam, termasuk bahan baku listrik, namun rakyat tercekik dengan TDL yang kian tak terengkuh. Meski banyak cerobong yang memproduksi listrik, fasilitas itu belum merata hingga pelosok dan tarifnya membuat kantong semakin terperosok.

Kado Pahit Tahun Baru

Wacana kenaikan tarif dasar listrik sudah bertalu-talu menyambut tahun baru. Kado pahit di tahun baru seakan disiapkan dengan wacana kenaikan tarif listrik. Hal ini diberitakan tribunnews.com, bahwa pemerintah berencana menaikkan tarif listrik untuk 13 golongan nonsubsidi pada 2022 mendatang dengan skema adjustment (3/12/2021).

Meski sekadar wacana, namun kabar kenaikan tarif listrik sudah membuat rakyat terbayang-bayang kesulitan yang akan mengimpit. Betapa tidak, biasanya kenaikan tarif dan harga akan membuat rakyat semakin dalam merogoh kocek saat menunaikannya. Kebutuhan makan sehari-hari saja sulit, apalagi jika sampai tarif listrik nonsubsidi benar-benar naik.

Diberitakan saat ini pemerintah sedang mengkaji kenaikan TDL golongan tertentu di tahun mendatang (2022). Pemerintah bersama Badan Anggaran (Banggar) DPR RI merencanakan tarif adjustmen (penyesuaian) di tahun 2022 nanti (banjarmasin.tribunnews.com, 10/12/2021).

Dalih atas wacana kenaikan tarif listrik karena belum ada pemutakhiran penyesuaian tarif sejak 2017. Bahkan, Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM Rida Mulyana merasa malu karena seolah mendapat subsidi tarif listrik. Menurutnya, kenaikan tarif listrik juga bergantung pada pertimbangan nilai rupiah, harga minyak mentah Indonesia (ICP), dan inflasi nasional (cnnindonesia.com, 6/12/2021).

Apa pun alasan yang dikemukakan, sungguh wacana penormalan ataupun peningkatan tarif golongan nonsubsidi adalah pil pahit yang harus ditelan rakyat. Keterbatasan rakyat dalam meraih kesejahteraan hidup kian sempurna tatkala segala harga dan tarif tak tergapai. Ekonomi sulit mewarnai kehidupan rakyat. Terlebih masa pandemi seperti saat ini, napas rakyat kembang kempis, sementara tak ada jaminan atas pemenuhan kebutuhan pokok dari negara.

Tak ada makan siang gratis sudah sangat terkenal dalam kehidupan kapitalisme. Kenaikan tarif pada golongan nonsubsidi ataupun subsidi tetap akan memberatkan rakyat. Pasalnya, kalaupun kenaikan menyasar golongan nonsubsidi dengan kategori industri, tetap akan memberi pengaruh pada kenaikan harga produknya. Jika TDL naik, biaya operasional produksi pun akan ikut naik. Sehingga, hal itu berimbas pada naiknya harga barang yang mereka produksi.

Ketika harga barang mulai merangkak naik, maka daya beli masyarakat akan melemah. Bagaimana tidak, mereka akan cenderung menahan diri untuk mengurangi pengeluaran, apalagi pemasukan tak jua meningkat. Sama saja jika kenaikan TDL nonsubsidi menyasar masyarakat dengan golongan yang ditentukan, maka semakin bengkaklah pengeluaran mereka tiap bulannya. Sedangkan pemasukan hanya Senin Kamis saja.

Kapitalisme membuat kehidupan masyarakat babak belur. Kesempitan ekonomi seakan didesain bagi segenap rakyat. Pasalnya, negara diceraikan dengan tugas utamanya untuk melayani dan menjamin urusan rakyat. Listrik sekalipun bersubsidi, tapi nilainya cenderung menurun dari tahun ke tahun. Ditambah selentingan kabar, wacana kenaikan TDL 2022 karena pemerintah hendak memangkas subsidi lagi.

Dalam cengkeraman kapitalisme, negara hadir sebagai pedagang ataupun agen para pengusaha. Transaksi jual beli yang digelar berorientasi pada keuntungan materi. Negara penganut kapitalisme enggan menanggung kerugian, terlebih melayani listrik untuk rakyat dengan diskonan apalagi gratis. Walhasil, negara tampil sebagai pedagang ulung, sementara rakyat sebagai konsumen yang mengemis pelayanan.

Kado pahit tahun baru sepertinya tak kan bisa dihindari jika wacana yang bertalu-talu itu terealisasi. Embusan angin kenaikan listrik begitu kuat merasuki nadi-nadi kehidupan rakyat.

Listrik adalah Harta Milik Umum

Amboi, kaya nian bumi pertiwi. Sayang, kekayaan alam yang melimpah telah terjarah. Segelintir korporat telah mengeksploitasi kekayaan alam tanpa ampun. Padahal, kekayaan alam dalam pandangan Islam adalah harta milik umum, termasuk listrik. Bahan bakar pembangkit listrik melimpah ruah, sangat cukup untuk memenuhi dan melayani kebutuhan listrik rakyat.

Dalam Islam, bahan baku pembangkit listrik, yakni batu bara akan dikelola oleh negara. Haram hukumnya negara asing ataupun korporasi swasta mengeksploitasinya. Listrik yang telah dihasilkan dari pengelolaan itu akan didistribusikan untuk individu rakyat. Maka dalam hal ini, listrik termasuk harta milik umum. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad berikut:

"Manusia berserikat dalam tiga hal: padang rumput, air, dan api." (HR Abu Dawud dan Ahmad)

Negara akan menjamin pemerataan fasilitas listrik ke seluruh pelosok dengan biaya sangat murah, bahkan gratis. Adapun mekanisme pemenuhan kebutuhan listrik dalam Islam, ada beberapa kebijakan yang bisa diterapkan, antara lain:

  1. Negara wajib membangun fasilitas dan sarana pembangkit listrik yang memadai.
  2. Negara wajib melakukan eksplorasi bahan bakar listrik secara mandiri agar berdaulat.
  3. Negara wajib menjamin pasokan listrik untuk seluruh rakyat dengan murah atau gratis.
  4. Negara boleh mengambil keuntungan dari pengelolaan energi listrik atau kekayaan alam lainnya untuk memenuhi kebutuhan rakyat yang lain seperti sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, keamanan, modal kerja untuk laki-laki, dan lainnya.

Pengelolaan listrik berdasarkan syariat Islam tentu akan menyejahterakan rakyat. Tentu saja kondisi sejahtera tanpa dikejar biaya tarif tinggi diimpikan seluruh rakyat. Hal ini hanya bisa dilakukan oleh negara yang menerapkan Islam secara kaffah, yakni Khilafah Islamiah.

Wallahu a'lam bishowab.[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Penulis Inti NarasiPost.Com
Afiyah Rasyad Penulis Inti NarasiPost.Com dan penulis buku Solitude
Previous
Varian Omicron: Butuh Kesungguhan Tangani Pandemi
Next
Fatamorgana di Balik Kata Cantik, Sebuah Pendalaman Fakta
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle

You cannot copy content of this page

linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram