Saat ini, layanan pendidikan dikapitalisasi, sehingga biaya pendidikan melangit. Namun, kesejahteraan guru tak kunjung membaik. Bahkan beban hidupnya makin berat dengan kondisi ekonomi yang serba bayar dan serba mahal.
Gaji yang minim harus dibagi untuk biaya sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan anak, BBM, gas, dan lain-lain. Walhasil, guru honorer menjadi pahlawan tanpa kesejahteraan.
Oleh. Ragil Rahayu, SE
NarasiPost.Com-Janji kesejahteraan guru kembali digaungkan pada peringatan Hari Guru tahun ini. "Pemerintah akan terus memperbaiki kualitas pendidikan, termasuk meningkatkan kesejahteraan guru," ujar Wakil Presiden, Ma'ruf Amin, dalam video ucapan selamat dalam rangka Peringatan Hari Guru Nasional 2021, Kamis (25/11).
Janji ini menyeruak di tengah penantian panjang para honorer untuk diangkat menjadi ASN. Akankah penantian ini segera usai?
Tumpuan Harapan
Pentingnya guru bagi sebuah bangsa tentu tak terbantahkan lagi. Sayangnya jumlah ASN guru tak mencukupi kebutuhan tenaga pengajar.
Jumlah guru ASN yang mengajar di sekolah negeri hingga tahun 2021 berjumlah 1.236.112 orang. Sedangkan guru honorer yang mengajar di sekolah negeri ada sebanyak 742.459 orang guru atau 36 persen. Walhasil, guru honorer menjadi tumpuan harapan negara dalam proses pendidikan.
Namun posisi penting guru honorer tak sebanding dengan kesejahteraan yang mereka peroleh. Sebagai contoh, Sutardi (58), guru honorer di Tasikmalaya, Jawa Barat. Selama 18 tahun mengajar di SDN, Sutardi hanya mendapatkan gaji Rp150.000 sampai Rp300.000 per bulan (kompas.com, 22/9/2021). Gaji sejumlah itu tentu tak cukup, sehingga Sutardi harus nyambi menjadi kuli.
Sebenarnya, semua guru adalah tenaga pengajar. Mereka sama-sama bekerja mencerdaskan anak bangsa. Namun, perbedaan status menjadikan kesejahteraan yang mereka peroleh tak sama. Hal ini tidak seharusnya terjadi. Semua guru berhak mendapatkan gaji sesuai dengan hasil pekerjaannya.
Sistem Penggajian yang Adil
Islam mengatur masalah gaji guru secara adil. Semua guru yang bekerja pada negara adalah pegawai negara. Tidak ada dikotomi ASN vs honorer. Negara wajib menggaji para guru tersebut sesuai dengan hasil kerja mereka. Pada masa Khilafah, gaji guru sangat besar. Sebagai gambaran, pada masa Khalifah Umar bin Khaththab r a., gaji guru sebesar 15 dinar atau sekitar Rp48 juta.
Sistem penggajian yang menyejahterakan ini terus terjadi selama masa Khilafah. JW Draper dalam History of the Conflict menyebutkan bahwa di Madrasah (Perguruan) Nizamiyah yang didirikan pada masa Khalifah Malik Syah, seorang profesor di bidang hukum menerima gaji sebesar 40 dinar atau sekitar Rp128 juta.
Sementara profesor yang mengajar di sekolah lainnya di Mesir pada masa yang sama, mendapatkan bayaran sebesar 60 dirham, sedangkan asistennya mendapatkan gaji 40 dirham. Bahkan, pada masa itu ada seorang pengajar yang menerima gaji sebesar seribu dirham. (Republika, 8/8/2019)
Dukungan Sistem
Selain mendapatkan gaji yang besar, para guru juga mendapatkan berbagai fasilitas sebagai warga negara, yaitu jaminan pendidikan, kesehatan, dan keamanan secara gratis. Layanan yang terkait kepemilikan umum dan pelayanan publik seperti listrik dan gas juga gratis.
Berbagai jaminan ini menjadikan para guru bisa mengalokasikan gajinya untuk kebutuhan sandang, pangan, dan papan secara optimal. Para guru tidak dipusingkan dengan urusan bayar listrik, gas, BBM, sekolah anak, biaya berobat, dan iuran keamanan.
Demikianlah gambaran kesejahteraan para guru di dalam sistem Khilafah. Kondisi demikian tidak terwujud dalam sistem kapitalisme seperti saat ini, dimana segala hal dikapitalisasi, termasuk pendidikan. Saat ini, layanan pendidikan dikapitalisasi, sehingga biaya pendidikan melangit. Namun, kesejahteraan guru tak kunjung membaik. Bahkan beban hidupnya makin berat dengan kondisi ekonomi yang serba bayar dan serba mahal.
Gaji yang minim harus dibagi untuk biaya sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan anak, BBM, gas, dan lain-lain. Walhasil, guru honorer menjadi pahlawan tanpa kesejahteraan.
Pendidikan adalah Prioritas
Kesejahteraan guru akan terwujud dengan sistem Islam, yakni Khilafah. Karena Khilafah memosisikan ilmu pada posisi yang tinggi. Menuntut ilmu adalah wajib bagi setiap muslim. Sedangkan guru adalah profesi yang mulia karena termasuk menyampaikan ilmu yang bermanfaat yang berpahala tak putus-putus.
Negara Khilafah sangat memprioritaskan pendidikan. Khilafah mengalokasikan dana yang besar untuk pendidikan. Dana tersebut digunakan untuk menyediakan sekolah, asrama, laboratorium, seragam, buku, perlengkapan mengajar, dan tentunya gaji tenaga pengajar (guru). Hebatnya, semua itu disediakan secara gratis bagi seluruh rakyat. Hasilnya adalah kemajuan tsaqafah, ilmu pengetahuan, dan teknologi yang luar biasa. Khilafah bahkan menjadi kiblat ilmu dunia. Pada masa Khilafah Abbasiyah, bahkan orang-orang Eropa, termasuk para putri dan pangeran, dikirim untuk belajar di Daulah Islam. Sungguh luar biasa, Khilafah menjadi mercusuar ilmu pengetahuan dunia.
Inilah sistem dambaan kita semua. Dambaan para orang tua yang menginginkan pendidikan kualitas terbaik untuk anaknya. Juga sistem dambaan para guru yang ingin mengabdi tanpa dibebani masalah kesejahteraan. Menjadi tugas kita bersama, termasuk para guru, untuk berjuang mewujudkan sistem yang disyariatkan Allah Swt. ini. Wallahu a'lam. []
Photo : Pixels