Gurita Mafia Tanah, Berantas Tuntas dengan Syariat Kaffah

"Karut-marut urusan agraria dan mafia tanah mustahil dapat diberantas tuntas jika masih menggunakan paradigma sistem kapitalisme-sekuler yang liberal. Dibutuhkan langkah revolusioner dengan visi yang luas dan jauh ke depan berupa perubahan dari akar permasalahan yakni sistem yang menaunginya."

Oleh. Yuliyati Sambas
(Pegiat Literasi Komunitas Penulis Bela Islam AMK)

NarasiPost.Com-"Kita kejar mafia tanah sampai ke ujung langit." Ungkapan tegas sebagai bukti kegeraman Menteri Agraria Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional, Sofyan A. Djalil, mendapati gurita kasus mafia tanah. Betapa tidak, konflik yang kini mencoreng muka lembaga yang ada di bawah asuhannya itu telah menjadi problem nasional dimana skala terjadinya kasus demikian mencengangkan, 242 kasus tercatat oleh BPN dari 2018-2021 dengan satu kerugian kasusnya dilaporkan hingga miliaran rupiah. Itu baru yang tercatat, fakta sesungguhnya ibarat fenomena gunung es.

Korban atas sengketa lahan yang terendus sebagai aksi mafia tanah pun beragam. Ada dari kalangan personal warga, semisal kasus artis Nirina Zubir, pejabat negara seperti Dino Patti Djalal, pengusaha/perusahaan, hingga lembaga negara semisal sengketa lahan TNI AL di Kelapa Gading Barat-Jakarta Utara.

Banyak kalangan bereaksi keras dengan kasus-kasus tersebut. Mulai dari Jaksa Agung, Sekretaris Jendral Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) dan pihak terkait lainnya, hingga tuntutan bagi DPR untuk memanggil Menteri ATR/BPN dan Kapolri pun mengemuka. (Liputan6.com, 11/11/2021)

Upaya yang dilakukan oleh pemerintah dalam hal ini tak jua membuahkan hasil. Terhitung sejak tim pencegahan dan pemberantasan mafia tanah yang berasal dari Kementerian ATR/BPN dan Polri dibentuk pada tahun 2018, ditambah lagi personil untuk memperkuat tim dengan memasukkan Kejaksaan Agung di tahun 2020. Dan kini menambah skala koordinasinya bersama komisi yudisial dan juga KPK. Namun hingga kini, oknum-oknum yang terlibat kasus mafia tanah seolah sakti mandraguna, demikian licin dalam aksinya dan tentunya kian meresahkan.

Muncul beragam analisis terkait faktor penyebab mengguritanya kasus mafia tanah,mulai dari tak adanya transparansi terkait urusan administrasi juga keterbukaan informasi pertanahan. Sampai faktor minimnya data terkait pertanahan menyebabkan demikian sulitnya proses pembuktian. Itu dari sisi buruknya birokrasi.

Buruknya birokrasi serta adanya oknum-oknum dalam Kementerian ATR/BPN adalah pelaku utama proses pengurusan perkara pertanahan. Diperparah dengan pernyataan Direktorat Jendral Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan (Dirjen PSKP), Raden Bagus Agus Widjayanto, bahwa ada sinyalemen backing dari oknum Aparat Penegak Hukum (APH) dan oknum pejabat pengadilan. Bahkan diakui pula main mata dalam lingkaran mafia tanah itu bisa menyeret aparatur pemerintahan hingga level terbawah. Betapa kuat, solid dan mengerikannya pusaran aksi mafia tanah.

Sejauh ini Panja Mafia Tanah Komisi II DPR berjanji akan fokus dalam pemberantasan mafia tanah. Dengan memanggil semua lembaga terkait dan membentuk tim khusus dalam penangan dan pemberantasan mafia tanah. Begitupun dengan Kementerian ATR/BPN dalam membenahi internal lembaganya. Di antaranya dengan memberlakukan sanksi tegas bagi pegawai yang terbukti terlibat kasus mafia tanah. Sanksi berupa peneguran keras, penurunan jabatan hingga pemberhentian.

Namun, mengikuti fakta betapa licinnya aksi dari komplotan mafia tanah selama ini, tak berlebihan kiranya ketika optimisme terselesaikannya dengan tuntas kasus yang sangat meresahkan itu dirasa demikian kecil. Bahkan aura pesimisme itu muncul dari ungkapan Dirjen PSKP. Secara tersirat Pak Dirjen berkata dalam wawancara yang disiarkan oleh kanal YouTube CNN Indonesia (22/11/2021), bahwa kejahatan/sengketa itu akan senantiasa ada dan yang terpenting untuk dilakukan adalah dengan mengurangi dan melakukan proses pencegahan. Hanya itu.

Hal itu menjadi masuk akal dikarenakan basis dari kasus bukan sekadar permasalahan buruknya birokrasi dan perilaku oknum nakal petugas pemerintah. Namun, ada hal lain yang lebih serius berkenaan dengan sistem buruk yang menaungi urusan agraria di negeri ini. Sehingga proses penyelesaian tak cukup dengan perbaikan teknis birokrasi, memoles akhlak individu pegawai pemerintah dan memberi sanksi atas oknum petugas. Sistem Kapitalisme-sekulerlah biangnya.

Sistem Kapitalisme telah menjadikan kebebasan dalam berkepemilikan menjadi sebuah hal yang dipelihara. Maka, tak heran dalam urusan agraria pun, siapa saja berkesempatan untuk bisa menguasai lahan dalam beragam bentuk (lahan perumahan, perkebunan, pesawahan, lembah, gunung dan seterusnya), baik bagi pribadi warga, kalangan pengusaha hingga negara. Seberapa pun luasnya aset lahan, bisa dikuasakan kepada pihak yang kuat dalam hal kapital. Negara dalam hal ini melalui tangan-tangan pejabat terkait berhak mendistribusikan kepada siapa tanah tersebut dikuasakan. Sertifikat Hak Milik (SHM) menjadi secarik surat sakti terkait kepemilikan sah tanah dan/atau bangunan. Dimana dengan bantuan komplotan mafia tanah, maka surat sakti tersebut dapat dengan mudah berpindah kepemilikan atau berstatus kepemilikan ganda.

Sistem Kapitalisme dengan kebebasan berkepemilikannya melahirkan undang-undang agraria yang jauh dari pemaknaan keadilan. Berdasarkan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Pasal 7 UU No.5 Tahun 1960 dimana hak kepemilikan tanah akan terhapus jika ditelantarkan selama tiga tahun dan otomatis akan menjadi milik negara. Pasal ini justru menjadi bumerang ketika di sistem sekuler, pribadi-pribadi pejabat pemerintahnya minim keimanannya, jauh dari rasa takut pada dosa. Yang melekat dalam benak justru prinsip kapitalistik yang demikian mengedepankan peraihan materi. Tak heran pasal tersebut menjadi celah bagi mereka dalam membisniskan lahan-lahan yang dianggap telantar tersebut kepada siapa pun yang memiliki uang. Sementara dalam waktu yang bersamaan didapati tak sedikit rakyat kecil yang homeless. Bahkan sekadar untuk menggarap sepetak lahan demi usaha pertanian/perkebunan atau jenis usaha lainnya untuk memenuhi kebutuhan perut, mereka tak mampu.

Maka dari itu, karut-marut urusan agraria dan mafia tanah mustahil dapat diberantas tuntas jika masih menggunakan paradigma sistem kapitalisme-sekuler yang liberal. Dibutuhkan langkah revolusioner dengan visi yang luas dan jauh ke depan berupa perubahan dari akar permasalahan yakni sistem yang menaunginya.

Sungguh Islam sebagai agama paripurna, memiliki seperangkat aturan menyeluruh dan komprehensif (syariat kaffah) terkait semua urusan kehidupan. Termasuk di dalamnya perkara agraria. Sistem aturan Islam bersandar pada asas yang kuat yakni akidah Islam, pondasinya adalah ketaatan pada perintah Allah Al-Khaliq Al-Mudabbir.

Syariat kaffah tersebut hanya bisa terjamin penerapannya dalam sistem pemerintahan khas bernama Daulah (negara) Khilafah Islamiyah. Sebagaimana apa yang diteladani Sahabat khulafaur rasyidin terhadap contoh yang mereka dapatkan dari sosok Baginda Rasulullah saw. Bahkan kecemerlangan peradaban yang terbangun olehnya menjadikan negara mampu mempersembahkan kesejahteraan dan keadilan hakiki atas semua individu rakyat. Hal itu tercatat dalam bentangan sejarah hingga hampir 1400 tahun lamanya. Satu pencapaian yang mustahil bisa diungguli oleh sistem pemerintahan lain selainnya.

Syariat mengamanatkan bahwa pemimpin dan seluruh penyelenggara pemerintahan adalah sosok-sosok yang mengemban tanggung jawab untuk mengatur dan memastikan semua urusan rakyat dapat teraih dan terselenggara dengan baik. Sabda Rasulullah saw.: “Pemimpin yang memimpin rakyat adalah pengurus (rain) dan ia bertanggung jawab atas rakyat yang dia urus.” (HR. al-Bukhari).

Jika amanat tersebut tak dijalankan dengan sebaik-baiknya, mereka wajib bersiap dengan pengadilan Allah di yaumil akhir yang teramat pedih siksanya. Mereka pun berharap rida dan kasih sayang Allah tercurah dengan tertunaikannya amanah.

Maka proses fit and proper test untuk menjaring para pejabat pemerintahan adalah dengan memperhatikan seberapa kuat ketundukan mereka terhadap syariat, selain dari sisi kecakapan dalam mengemban amanah jabatan. Hal itu akan menjamin bahwa mereka tak akan terbuai bujuk rayu nafsu duniawi ketika menjalankan tugas mengurus rakyat.

Terkait urusan pertanahan, syariat memandang bahwa tanah beserta segala sesuatu yang ada di langit dan bumi adalah milik Allah Swt. Sebagaimana firman-Nya dalam Al-Qur’an surat An-Nuur ayat 42, “Dan kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi dan kepada Allah-lah kembali (semua makhluk).”

Allah Swt. Sebagai pemilik hakiki telah memberikan kuasa kepada manusia sebagai makhluk untuk menggunakannya sebagaimana aturan yang Dia tetapkan. Bahwa Allah menetapkan sistem kepemilikan itu menjadi tiga jenis: kepemilikan umum (al-milkiyah aammah), kepemilikan individu (al-milkiyah fardhiyah), dan kepemilikan negara (al-milkiyah daulah). Apa-apa yang merupakan harta bersama (umum) tak layak untuk dikuasakan kepada pihak mana pun baik individu maupun negara. Hal itu termasuk bidang-bidang tanah di mana di atas permukaannya terbentang semua hal yang dibutuhkan oleh komunitas masyarakat seperti jalan, sungai, danau, hutan, lautan. Juga jika di permukaan bawah tanah tersebut terdapat deposit melimpah dari barang tambang.

Adapun kepemilikan individu maka perolehannya itu berasal dari enam cara: hasil jual beli, hibah, waris, menghidupkan tanah mati (ihya al-mawat), membuat batas pada tanah mati (tahjir), pemberian negara kepada rakyat (iqtha).

Kekhasan dari sistem syariat dalam memandang status kepemilikan tanah adalah dari sisi produksi. Artinya bahwa siapa pun individu yang mampu menjadikan suatu tanah produktif, maka ia tetap dengan kepemilikannya. Ketika kondisi sebaliknya, maka kepemilikan pun secara otomatis hilang untuk berganti pada pribadi lain yang mampu menghidupkannya. Dari sini, maka tidak akan didapati dalam sistem Islam individu yang rakus dengan kepemilikan. Ia menguasai tanah yang demikian luas namun ditelantarkan hingga menjadi tanah mati.

Adapun dari sisi rakyat, dengan penerapan syariat kaffah akan terbentuk individu-individu rakyat yang mantap akidah, ketakwaan dan akhlaknya. Mereka pantang melakukan penyerobotan atas hak pihak lain juga dikarenakan hajat hidup mereka pun demikian dijaga keberlangsungannya oleh negara. Jikalah semua kalangan umat memahami dan tergerak untuk memperjuangkan tegaknya institusi penerap syariat kaffah, niscaya karut-marut urusan agraria dan gurita mafia tanah bisa diberantas hingga tuntas.[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Kontributor NarasiPost.Com Dan Pegiat Pena Banua
Yuliyati Sambas Kontributor NarasiPost.Com
Previous
Wacana "Robotisasi PNS", Solusi untuk Birokrasi?
Next
Kezaliman Sistem Pengupahan dalam Kapitalisme. Bandingkan dengan Islam!
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

2 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram